DI situs-situs sumber air purba Bali seperti Tirta Empul dan Mangening, ada tempat khusus dengan lima pancuran yang disebut dengan Pancaka Tirta. Tidak hanya itu, di dekat Pura Pangastan, Belayu tempat seorang kawi-wiku Ida Padanda Ngurah menggelar yoga sastra juga ada situs Pancaka Tirta. Apa makna Pancaka Tirta yang tidak boleh sembarangan dimasuki oleh masyarakat tersebut?
Mari kita mulai dengan merujuk kisah pertama Mahabrata India yang digubah ke dalam bahasa Jawa Kuna, yaitu Adi Parwa.
Pustaka Adi Parwa sebagai parwa pertama dari delapan belas parwa memuat kisah menarik mengenai air. Dikisahkan Parasurama yang hidup di antara zaman Traitia dan Dwapara Yuga berperang melawan Arjuna Sahasrabahu. Peperangan yang terjadi di tanah Bharatawarsa dimenangkan oleh Parasurama. Peperangan itu ternyata dibalas oleh para ksatria di tanah Bharatawarsa dengan membunuh ayah Parasurama yang bernama Bhagawan Jamadagni. Kematian Bhagawan Jamadagni ini menyebabkan Parasurama murka dan berjanji untuk mempersembahkan darah dua puluh satu raja kepa leluhurnya.
Ucapan seorang pertapa seperti Bhagawan Parasurama ternyata menjadi kenyataan. Dua puluh satu kesatria tewas, termasuk, gajah dan kuda keretanya. Darah kesatria itu seketika berubah menjadi lautan (rudira arnawa) lalu menyusut menjadi lima telaga.
Sesuai janji, darah itu dipersembahkan kepada para leluhurnya melalui upacara Tarpana Wipala Raktasna Pananjali. Namun sayang, darah persembahan dua puluh satu raja tersebut tidak menyebabkan para leluhur bahagia. Persembahan darah itu ditolak. Oleh sebab itu, para leluhur datang menemui Parasurama, termasuk Bhawagan Jamadagni ayahnya. Para leluhur menyatakan sebagai berikut :
Anak Rama Parasu tan yogya kadi kita brahmana magawe rudira tarpana, kunêng yogya tarpaņaknanta ikang tirta pawitra juga. Hana pwa sadhanantamūja ri kami kabeh, ikang tirtha, wastwa temahana tirta limang talaga kwehnya, wênanga panghilanga kleśa rah ning samantanrêpa sang mating raņa denta.
Terjemahan.
Anakku Rama Parasu. Tidak pantas seorang brahmana seperti anakku ini melangsungkan korban darah, seyogianya air suci (tirta pawitra) sajalah yang anakku persembahkan. Sekarang ini juga, itulah syaratmu memuja kami. Terjadilah demikian, lima buah telaga tercipta, sakti dapat menyucikan darah para raja yang gugur di medan perang.
Kutipan fragmen teks Adi Parwa di atas menyebutkan bahwa syarat untuk memuja para leluhur adalah menggunakan air penyucian (tirta pawitra). Pesan leluhur kepada Sang Brahmana muda itu menegaskan bahwa airlah sarana penyucian. Pernyataan itu dapat dipahami bahwa air bukan hanya sarana kesucian, tapi kesucian itu sendiri. Karena hanya kesucian yang dapat menyucikan. Apabila air dimaknai sebagai percik kesucian, apalah air samudra selain kumpulan kesucian.
Pancaka Tirta yang telah diuraikan dalam kisah Bhagawan Ramaparasu juga disinggung dalam salah satu karya sastra geguritan yang berjudul Japatuan. Karya sastra yang menceritakan mengenai pencarian Japatuan terhadap istrinya Ratnaning Rat ke sorga karena dijadikan penari legong oleh Dewa Indra tersebut membahas fragmen Pancaka Tirta.
Uraian mengenai Pancaka Tirta dan fungsi-fungsinya dengan cukup rinci dimuat dalam adegan ketika Japatuan yang atas anugrah Siwa menuju sorga. Setelah ia menuntaskan tapa selama 42 hari di sungai Serayu, Dewa Wisnupun memberikannya jalan untuk bertemu dengan istri yang baru dinikahinya selama 3 bulan itu. Dalam perjalanannya, Japatuan bertemu dengan saudara mistisnya yang berwujud buaya (malan smara bapa), raksasa (meme), macan (getih), anjing hitam (yeh nyom), dan empat raksasa yang juga manifestasi saudara mistisnya. Sebelum bertemu dengan Indra, saudara-saudaranya menyuruh untuk melakukan penyucian di Pancaka Tirta. Pancaka Tirta diuraikan sebagai berikut.
Sampun rauh ring beji pancake tirta, toyannyane manca warna, toyagni aran beli, wetan petak, kidul abang, kulon kuning, lor hulung neki, ring tengah mancawarna.
Terjemahan.
Telah sampai di permandian Pancaka Tirta. Airnya berwarna lima warna, air api namanya Kanda. Di timur berwarna putih, di selatan merah, di barat kuning, di utara berwarna hitam, di tengah lima warna.
Teks Geguritan Japatuan mendeskripsikan bahwa Japatuan mulai melakukan penyucian dari selatan ke utara, lalu ke tengah, selanjutnya dari timur ke barat. Tirta yang ada di selatan berwarna merah, yang utara berwarna hitam, di tengah berwarna panca warna, lalu di timur berwarna putih, di barat berwarna kuning. Melalui tokoh yang bernama Japatuan, pengarang memberikan informasi penting mengenia keberadaan Pancaka Tirta.
Beji Pancaka Tirta, Dekat Pura Pangastan, Tabanan | Foto: Ida Bagus Anom Wisnu Pujana
Tirta yang berada di Selatan berwarna merah ditempati oleh Brahma, sebagai penyucian bagi orang-orang yang berperilaku jahat (wong muat mait, salahe mandang mandung, laksasana hala). Tirta yang berada di Barat adalah api kuning ditempati oleh Mahadewa, sebagai penyucian orang-orang yang berdosa terhadap orang tua (alpaka ring guru rabya), angkara kepada suami (angkara ring laki). Tirta yang berada di utara ditempati oleh Sang Hyang Ari berwujud api hitam, sebagai penyucian bagi orang yang bisa ilmu hitam seperti ngeleak (wong nluh ngleyak), orang selingkuh (maro sih tkening lakinia). Tirta yang ada di timur berwujud api putih stana Sang Hyang Iswara, sebagai penyucian bagi orang yang suka berbohong (munyi mauk). Tirta yang berada di tengah, berwujud api lima warna milik Batara Siwa sebagai penyucian bagi orang yang terkena berbagai penyakit (sasar gring) serta peleburan segala dosa dan papa.
Sampai di sini, pembaca barangkali bertanya, mana mungkin ada unsur api di dalam air? Kalau kita membaca teks tattwa seperti Wrehaspati Tattwa kita akan menemukan hubungan di antara lima elemen besar pembentuk alam semesta yang disebut Panca Maha Bhuta. Panca Maha Bhuta terdiri atas unsur akasa (udara), bayu (angin), teja (api), apah (air), dan pertiwi (zat padat/tanah).
Rumusnya, unsur yang di atas selalu ada di bawahnya. Dengan demikian, di dalam angin pasti ada udara (ether). Di dalam api (teja) pasti ada udara (akasa) dan angin (angin). Itu sebabnya orang pada masa lalu selalu menyuruh ketika memasuki suatu gua atau arungan seseorang mesti membawa obor. Tujuannya bukan hanya sebagai penerang, tetapi sekaligus mengukur keadaan udara dan angin di dalamnya. Selanjutnya, di dalam air (apah) pasti ada udara (akasa), angin (bayu), dan api (teja). Karena ada unsur udara dan anginlah air dapat mengalir dan bergerak memenuhi siklus hidrologi. Untuk membuktikan bahwa ada unsur api di dalam air, sampai hari ini kita masih bisa mengunjungi air hangat di Toya Bungkah-Kintamani, dan Angsri-Tabanan. Terakhir, di dalam tanah (pertiwi), ada empat unsur lainnya yaitu udara, angin, api, dan air. Keberadaan api di dalam tanah tak perlu diragukan lagi. Itu bisa dilihat dengan jelas apabila suatu gunung erupsi atau meletus. Api di dalam tanah ini disebut dengan pawaka.
Demikianlah uraian teks Geguritan Japatuan mengenai Pancaka Tirta sebagai lima air yang memiliki unsur api. Dalam realitasnya, Pancaka Tirta masih ada di sejumlah situs air penting di Bali seperti Tirta Empul dan Pura Mangening. Sampai saat ini, tirta-tirta tersebut masih difungsikan sebagai sarana penyucian. Oleh sebab itulah, air dalam konteks Pancaka Tirta dapat dimaknai sebagai sarana penyucian dengan kekuatan peleburan dahsyat dalam baik sakala maupun niskala dalam kehidupan masyarakat Bali.
Mari kita jaga Pancaka Tirta bukan hanya dengan ritus, tetapi gerak nyata melindungi kebersihan dan kesuciannya dengan hati yang tulus. [T]
BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA