PEMBICARAAN mengenai air tak akan pernah usai. Sama seperti keberadaan air di dunia ini sebagai bagian dari unsur alam yang tak akan pernah habis. Meskipun demikian, belum ada yang menjamin kuantitas air akan sama di setiap daerah, pun tak ada yang dapat memastikan kualitas air akan sama di setiap zaman.
Yang pasti, air memiliki dwirupa. Dalam wujud tenang ‘shanta rupa’, air adalah kebutuhan pokok manusia untuk menghilangkan dahaga tubuh dan membasuh ruh dari segala kekotoran. Sementara air dalam wujud menakutkan ‘ugra rupa’ dapat meluluhlantahkan tatanan fisik maupun mengacaukan kehidupan sosial manusia.
Masih segar dalam ingatan, di penghujung tahun 2018 hanya dalam satu hari hujan, banyak wilayah di Bali yang banjir dan longsor di bilangan wilayah Gianyar memakan korban satu keluarga. Tidak hanya itu, gempa bumi di Sulawesi yang memicu Tsunami memakan ribuan korban. Termasuk pula erupsi Gunung Krakatau yang menyebabkan Tsunami di wilayah Selat Sunda meluluhlantahkan wilayah pesisir Selat Sunda.
Citra keganasan air dalam realitas di atas mengingatkan kita pada kisah Yadhu Parwa dalam kesusastraan Jawa Kuno. Dalam karya sastra itu, seluruh wangsa Yadhu tenggelam akibat kutukan Dewi Gandari atas kematian seluruh anaknya ketika perang Bharata Yuddha terjadi. Gandari, seorang ibu yang menyaksikan kepedihan atas kematian seratus putranya tidak merealisasikan sumpahnya secara langsung. Air lautlah yang mengeksekusi sumpah Gandari untuk membinasakan seluruh keturunan Krisna.
Dalam fragmen kisah ini, air seolah-olah tunduk dengan sumpah seorang ibu yang kehilangan belahan hatinya. Apa yang terjadi jika ibu para ikan kehilangan tempat hidup untuk anak-anaknya tatkala manusia membuang sampah sembarangan, termasuk mencemari air dengan berbagai bahan kimia? Jangan tanyakan kepada manusia! Sebab alasan pembenaran atas sikapnya bisa lebih banyak dari taburan bintang di malam kelam.
Apabila bertanya pada sastra, gagasan ideal manusia tentang airlah yang akan didapatkan. Ada sejumlah sastra yang membahas air dalam dalam konteks amerta seperti Adi Parwa, Dewa Ruci, dan Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul. Berdasarkan beberapa pustaka tersebut, air sebagai amerta berpusat di laut dan gunung.
Tidak banyak karya sastra yang membahas tentang sungai sebagai penghubung antara mata air di pegunungan dengan laut. Padahal posisinya sebagai perantara menjadi sangat penting. Tanpa sungai, tujuan mata air untuk bersatu dengan samudra luas tak akan tercapai. Sama seperti manusia yang mengidealkan pembebasan akhir ‘moksa’ tanpa melalui proses pergulatan terhadap suka-duka kehidupan. Dari suka-duka kehidupan yang menjajah manusia sejak awal membuka mata sampai akhir tak bisa membuka mata itulah pembebasan final menjadi istimewa.
Lalu apakah pandangan sastra tentang sungai? Dari sejumlah karya sastra yang sempat diperiksa, teks Tantu Panggelaran memberikan refleksi yang menarik tentang sungai. Dikisahkan keadaan Pulau Jawa dalam keadaan tidak stabil karena belum adanya manusia dan gunung sebagai tiang pancang pulau itu. Menyadari hal itu, Batara Brahma dan Wisnu diutus ke dunia untuk menciptakan manusia pertama.
Manusia tersebut lalu diajari langsung oleh para dewa berbagai keterampilan seperti Dewa Wisnu mengajarkan ilmu kepemimpinan, Sang Hyang Citrakara mengajarkan kesenian, Bhagawan Wiswakarma mengajarkan ilmu tata ruang dan arsitektur, dan yang lainnya. Meski manusia telah memiliki berbagai keterampilan untuk menghadapi hidup, keadaan pulau itu masih tetap tidak tenang. Maka dari yoga Shiwa, diketahui tidak ada jalan lain keculai mengutus para Dewa untuk memotong Gunung Mahameru untuk dipindahkan ke Jawa Dwipa sekaligus memutarnya untuk menghasilkan amerta.
Proses pemutaran Gunung Mahameru ternyata menyebabkan para dewa lelah dan haus. Pada saat yang bersamaan, ada air Kalakuta yang muncul dari Gunung Mahameru. Para Dewa yang tidak mengetahui bahwa air itu mengandung racun seketika mati setelah meneguk air Kalakuta. Mengetahui hal tersebut, Batara Parameswara meminum air itu sehingga leher beliau menjadi berwarna hitam.
Sejak saat itulah beliau juga bergelar Nilakanta. Walaupun lehernya berwarna hitam, Batara Parameswara dengan kesaktiannya berhasil mengubah tirta Kalakuta menjadi tatwa amreta siwamba (air kehidupan yang suci). Amreta itu menghidupkan kembali para dewata dan dengan susah payah gunung Mahameru berhasil dipindahkan.
Ketika pemindahan Gunung Mahameru dari jagat Jambu Dwipa, ada seorang brahmana bernama Dang Hyang Têkên Wuwung yang ikut pindah ke Pulau Jawa. Ketika ia beristirahat di sebuah hulu sungai di wilayah Sukayadnya, Batara Iswara memberikan teguran kepada sang Brahmana agar tidak meraup air di bagian hulu yang dapat mengotori aliran sungai di hilir.
Brahmana itu tidak menghiraukan teguran Batara Iswara, bahkan terus mengobok-obok hulu air dan membuang berak, serta sisa makanannya di hulu air sungai itu. Batara Iswara sangat murka mengetahui hal ini, maka aliran air yang telah kotor dengan berak dan sisa makanan itu diperintahkan agar membanjiri pertapaan Sang Teken Wuwung. Mengetahui kenyataan itu, Sang Teken Wuwung menghadap Iswara untuk memohon pengampunan, seraya meminta agar diwisuda lagi menjadi wiku. Sejak saat itulah sang Teken Wuwung bergelar Mpu Siddha Yogi.
Menyimak fragmen teks Tantu Panggelaran, tampak ada pesan penting untuk menjaga kebersihan dan kesucian sungai. Sungai sejatinya sama dengan nadi apabila dianalogikan ke dalam tubuh manusia. Melalui nadilah sari-sari makanan diedarkan ke seluruh tubuh, maka melalui sungai pula sari-sari kehidupan mengalir dan menghidupi kehidupan. Para penekun dunia tantris yang suntuk meneliti sarira untuk pembebasan jiwa bahkan menemukan “danau di pusat langit” tubuh.
Yang dimaksud dengan danau adalah cairan otak, sedangkan pusat langit adalah rongga kepala. Di ‘danau otak’ itu konon ada teratai putih tempat bersemayamnya Shiwa sebagai pusat kesadaran. Dari danau itu pula mengalir sungai-sungai ke tujuh lubang yaitu dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga dan lubang mulut.
Lebih lanjut sungai-sungai yang ada di dalam tubuh manusia dalam pustaka Jnyāna Siddhanta disebut dengan Sang Hyang Tirta. Kesucian sungai Narmada sama dengan pikiran (manah), bening sungai Sindu sama dengan budi (buddhi), jernih sungai Gangga sama dengan air pada pangkal tenggorokan, sungai Saraswati sama dengan air pada lidah, sungai Airawati sama dengan air pada hidung, sungai yang mengaliri air pada mata sama dengan Nadisresta, dan air sungai yang mengalir pada telinga sama dengan Siwapresta.
Dari uraian pustaka tersebut, setiap manusia sesungguhnya membawa tujuh sungai di dalam dirinya. Dengan menyadari sungai yang ada di dalam dan luar diri, menjaga kebersihan sungai sekaligus kesuciannya bagi masyarakat Bali yang diklaim sejumlah peneliti sebagai penganut Agama Tirta adalah mutlak dan suatu keharusan.
Oleh sebab itu, tidak ada lagi kesan bahwa masyarakat Bali hanya menyucikan sumber air yang terletak di gunung dan sumber air yang berada di laut. Sungai sebagai penghubung keduanya berdasarkan pembacaan terhadap teks Tantu Panggelaran juga sudah semestinya selalu dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Berkaca dari warisan tekstual tersebut maka sudah sepatutnya sungai-sungai Bali saat ini direvitalisasi seperti langkah yang dilakukan pemerintah Kota Denpasar. Landasan kultural untuk menjaga, merawat, dan memberdayakan sungai untuk kesejahteraan sosial seperti tempat pembangunan kawasan wisata baru sudah sangat jelas.
Oleh sebab itu, revitalisasi sungai seperti Tukad Badung, Tukad Bindu, dan Tukad Lumintang menjadi terobosan yang semestinya menginspirasi revitalisasi tukad-tukad lainnya di Bali! Sambil merawat air dan mengharapkan ruwatan darinya, ada pertanyaan yang masih mengganjal, kenapa ikan tidak meninggalkan jejak ketika berenang? [T]
- BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA