SIHIR PAGI
Pagi buta Mikail datang
mengetuk pintu rumah
Sedang kita masih bersulang kopi
dengan Belphegor
di beranda neraka
Hanyut di tepi mimpi
ditimang-timang hening fajar
roh yang tuli
tak akan kembali
Karam dalam selimut lelap bulu babi
dengan syair lena
yang syahdu
dimainkan Iblis
Menutup segala jagat
semakin dalam membuai
jiwa kita sirna bertaut sihir kasur
TANDA !
di balik pelupuk bayang-bayang
air mata memejam kalah
saru mengalir sedu
dari jerit kehilangan
rela membungkuk pasrah
lebur habis dalam rentetan malam
pada bunga sunyi
serupa batu-bata dinding yang gugur
Sejak denyutmu yang tiada
Usai pelan waktu yang lalu
lama terbenanm di ufuk pelarian
kelam diburu sangkur
Suara tak sempat mengepul,
Pelan-pelan padam
Didekap moncong. Pelan-pelan tiada
Mati berpuluh lenyap,
berkali hilang
Sampai tiba. Tersemi deras raungmu
Yang lama hanyut
merakit amuk
bangkit di atas lereng penuh darah
dari umpama-umpama cerita
Berkalilipat
Menusuk tajam pelampiasan
Gagah tegak. Tanda seru-mu
!
melukis merah kelam
Segenap bisu. Seisi kekang
Berpuluh tahun kan ada
Patahmu ta’kan sia-sia
PELIK SEMI
Desember badai penantian
membasuh habis—pekat aroma tubuhmu
akan sisa bulan kemarau silam
retakan bebatuan tebing curam
pecah tak terbendung
dihantam pertemuan kita
meluluhlantakan dendam tanah
pada kering kenangan
di tepi tak berujung
kau datang
dengan badan yang payah
porakparik dilumat peluk
tak juga tau, seberapa lama kita tenggelam
cumbu menghanyut, bangkai ranting pohon
di rimba mesrah
yang paling hina
yang paling zina
yang paling baka
terliuk senyawa adiktif, yang melumat naluri
pada rangkum pertemuan
yang menerbangkan selendang biru nafasmu
merekah bentala kayangan
di sisa erat bulan-bulan kemudian
bersemi kita di antara pelik dosa
PESISIR MENOR
kusaksikan langit kesumba,
sepertiga matahari tenggelam
di sepanjang tepian pada kilau nyanyian kelapkelip malam
di pangkuan pasir malang
menyisakan sepotong pizza setengah gigit
dan kaleng remuk yang dihantam amis gelombang
sepanjang tepian pilu
jaring lelaki uban, lunglai kusut
menjulur sekarat
di tengah pusara botol aqua
termenung balik karang,
antara ombak masin sterofomkulkas
pelan-pelan ia menyeka hitam kresek resah,
pada sisa helai putih rambut lusuh
lelaki uban sore itu,
dinging pulang tanpa sandal
sepanjang tepian menor
seperti bebintik abu yang jatuh dari asbak
botol-botol akur
di sela tumpuk minyak
antara gegumpal hitam gorong-gorong
merah kuning baliho
terkatungkatung tanpa malumalu
pesisir menor
dirias pemukiman. sampai mual
begitu saja
muara Utara—muara daki kota
HUSUK
Serupa pertalian
Mengikat amerta jiwa
dalam lapuk tubuh
Kerangkeng ketakutan, sembunyi dalam dada
menembus nadir
Siang malam, di balik bebatuan gamang
Doa-doa menjulang ke tanah haram
Tak kunjung damai, tak kunjung sampai
dalam tunduk kepala
Kerut kening, bayang-bayang akut
Ditikam-tikam dosa
Serupa pertalian
diperas pemujaan dari bangkai mulut
berbau ribuan abad membatu
Kini aku,
mengalir dengan sisa penghambaan
dari sudut kata-kata,
dan sisi bait
Tanpa gemetar tubuh, keram sujud
dalam puisi yang husuk
- BACA puisi-puisi lain di tatkala.co