PERJALANAN baru ini, tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Setelah aku cek lagi, ternyata 98 kilometer terlalu sangat jauh bagiku. Tidak-tidak, aku belum siap akan hal itu, aku belum siap untuk keluar dari tempat kelahiranku ini. Belum siap untuk jauh dari keluarga apalagi teman-temanku di desa. “Ternyata ini terlalu jauh, apa tidak ada tempat kuliah lebih dekat dari tempat ini?” pikirku sambil bermain game bola kesukaanku.
“Singaraja itu bagaimana, Pak?” aku bertanya kepada Bapak, kebetulan bapak pernah bekerja di sana, namun saat ini telah purna tugas. “Ingat lagi waktu kecil, sekarang tidak jauh-jauh berubah sampai bapak pensiun,” kata Bapak sembari bermain ponselnya.
Ya, aku baru ingat, aku pernah bersua di kota ini, tapi umurku masih sama kecil dengan daya ingatku. Kota Singaraja, sudah lama aku tak menyambanginya. Dulu semasih kelas 2 sekolah dasar, pernah untuk sekali bermain ke tempat dengan julukan kota pendidikan ini, sudah lama bahkan sudah lupa.
Dulu hanya main ke taman kota, seingatku taman kota masih tanah lapang yang masih dipakai tempat kegiatan konser, waktu itu kebetulan ada konser penyanyi lokal, Nanoe Biroe. Tempatnya pun masih dipakai tempat pameran pembangunan, waktu itu pengunjung memang membludak, aku kecil hanya bisa digendong untuk sekadar berkeliling.
Rasa traumaku mulai muncul. Bepergian jauh itu menjadi salah satu ketakutanku. Waktu kecil, musuh terberatku adalah muntah dan mabuk perjalanan, orang-orang setahuku muntah karena menggunakan mobil, beda denganku, ketika kecil dulu, jangankan memakai mobil, pakai motor pun aku tak kuat.
“Apakah aku masih mabuk perjalanan ketika berkendara dengan motor? Apalagi sampai sejauh ini?” terlintas sejenak dipikiranku, namun aku rasa hal seperti itu tidak mungkin lagi terjadi padaku saat ini. Mungkin jikalau masih mabuk, tinggal minum obat anti mabuk saja.
Waktu kian berlalu, terhitung 1 minggu waktu semakin dekat untuk pergi meninggalkan desa kecilku ini. Aku tumbuh sejak kecil hingga masa remaja di desa ini. Aku habiskan untuk berpetualang di tempat lahirku sendiri. Memang, desaku bisa dikatakan jauh dari namanya hiruk-pikuk perkotaan. Untuk ke Kota Amlapura saja butuh waktu 15 menit lamanya.
Jalan Raya Amlapura – Singaraja dalam situasi hujan | Foto: Pande
“Amlapura menuju Singaraja, ternyata perlu ditempuh dengan waktu 2 jam 30 menit, bahkan bisa saja lebih, apa tidak mengakar jika kalau duduk terlalu lama? Mungkin saja iya.” Aku tertawa kecil sembari membayangkan membawa motor bututku itu.
Bagiku itu sudah cukup jauh untuk diriku yang memang tidak pernah pergi bahkan hingga sejauh ini. Mau melepaskan zona nyamanku menjadi salah satu ketakutan terbesarku. Kembali terlintas dalam benakku, bingung dan pasrah saja sudah paling betul.
Dari kecil aku tak pernah terbesit untuk pergi jauh dari rumah yang serba nyaman ini. Meninggalkan kasur dan kursi gaming kesayanganku, aku berpikir ini rasanya berat sekali, apalagi sekarang harus pergi terlalu jauh, hingga ke Bali Utara.
Pergi sekadar dua sampai tiga hari saja, menjadi salah satu perkara yang rumit bagiku, apalagi harus meninggalkan rumah untuk dua sampai tiga bulan lamanya. Jauh terlalu lama dari keluarga, rasanya belum menjadi suatu kebiasaan, tapi harus mencoba untuk bisa terbiasa.
Merantau mungkin sudah menjadi topik hangat dari setiap masanya, semua orang pasti akan pernah mengalaminya, pergi jauh meninggalkan kampung halaman menjadi tantangan tersendiri. Menuntut ilmu, itulah menjadi salah satu faktor yang membuatku harus keluar dari zona nyaman yang sudah aku bentuk selama ini.
Lalu menjadi pertanyaan dalam benakku, di Singaraja, apakah aku bisa hidup sendiri? Apakah aku bisa hidup lebih mandiri? Bagaimana kalau nanti aku tidak bisa hidup di sana? Sudah hampir setiap malam, sebelum notifikasi tidur berdering, gelisah itu menjadi kecamuk bagiku, bingung dan pasrah rasanya sudah aku tanamkan dalam diri.
***
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, rasa gugup ini akan kulawan dengan segala kemampuan dan keberanian, meskipun sedikit. Segala keperluan sudah aku persiapkan, hingga sekecil apa pun itu, seperti odol dan sikat gigi, misalnya.
Kedua orang tuaku hanya menitipkan pesan “Belajar untuk mandiri di sana ya, Nak.” Pamitku mengecup kedua tangan orang tuaku, air mata terbendung di kelopak mataku. Inginnya menetes, tapi lebih tertahan karena rasa malu, sudah menjadi alasan utama, anak laki-laki ternyata banyak gengsinya.
Perjalanan aku mulai pukul 05.00 WITA. Aku harus berangkat sepagi itu karena untuk mengurusi beberapa keperluan persyaratan perkuliahan di kampus, sembari menaruh beberapa barang di tempat kos. Aku tahu suasana pagi itu memang mendung, namun tak mengurungkan niatku untuk men-stater motor, sambil membunyikan klaskon sebagai tanda keberangkatanku.
Selama perjalanan meninggalkan desa, masih bisa melihat samar indahnya hamparan sawah yang luas, dengan background Gunung Agung yang megah, ini akan menjadi salah satu alasanku pulang kampung nanti.
Aku mulai menembus batas kota, bisingnya kendaraan pun mulai terdengar. Dari balik pohon yang disinari lampu penerangan jalan, sepintas aku melihat siluet tinggi terpampang ditengah jalan. Tenang, aku pastikan itu adalah patung Dewa Brahma, menandakan aku telah sampai di Kota Amlapura.
Kedap-kedip terlintas aku melihatnya, tak kusangka, indikator bensin tersisa hanya 1 bar saja. Aku sempatkan motorku untuk mengisi perutnya. Selama mengisi bensin, aku menyaksikan dengan saksama, beberapa pengendara motor dari arah utara telah memakai jas hujan, kaca mobil pun terlihat basah dengan bintik-bintik air.
Aku sudah siap dengan poncoku, akhir-akhir ini memang lebih sering terjadi hujan di pagi hari. Aku lanjutkan perjalanan, tak terasa rintik demi rintik membasahiku, hingga aku putuskan memakai ponco ketika aku sampai di tempat parkir salah satu objek wisata, Taman Air Tirta Gangga.
Jujur saja, pagi di sini ternyata begitu dingin, apalagi ditambah dengan rintik-rintik hujan. Padahal aku sudah memakai baju double serta memakai jaket yang cukup tebal, namun suasana dingin ini masih saja menusuk.
Tak terasa perjalanan sudah 45 menit lebih. Hujan rintik tadi berubah menjadi begitu deras, aku tidak dapat memastikan sudah di mana aku saat ini. Jatuhnya begitu deras bahkan membuat kaca helmku menjadi begitu basah, susah untuk melihat. Perlu sesekali aku usap kaca helmku agar bisa terlihat dengan jelas. “Lebih enak tidur kalau hujan-hujan seperti ini. Dingin, benar-benar dingin, aku perlu selimutku itu,” ucapku sambil bergumam diterpa hujan yang begitu deras.
Kian jauh berjalan, derai hujan mulai menunjukkan lelahnya. Perjalananku terhenti, untuk membuka ponco yang masih melekat di tubuhku. Suasana pagi masih begitu dingin, wilayah ini pun, jauh lebih sepi dari desaku sendiri. Aku perhatikan lebih saksama, entah dari mana pusatnya, di sini lebih banyak truk-truk besar memuat pasir, yang mondar-mandir dari tadi.
Kubu, Tianyar, begitu Google Maps memberitahuku. Samar-samar biru tua tampak mata ini memandang, tempat ini ternyata memiliki sabana yang begitu luas. Jauh aku melihat ada satu hal yang tak asing lagi bagiku, panorama Gunung Agung yang berselimut awan. Di sini aku pastikan, tak ada siapa pun lagi selain aku dan motor bututku.
Panorama sabana luas dan Gunung Agung yang berselimut awan | Foto: Pande
“Terus lurus sejauh tiga kilometer,” begitu romantisnya Google memberitahuku. Aku melanjutkan perjalanan menuju tempat yang dikenal dengan nama Kota Pendidikan itu. Tak berselang lama, tidak jauh dari tempat pemberhentianku, langkah motorku kian mengecil, menyaksikan macetnya barisan truk yang begitu panjang.
Aku mencoba untuk menembus barisan truk itu, yang tampaknya sudah mengantre cukup lama. “Mengapa barisan truk ini tampak kompak saling berhenti?” Bingung itu sudah pasti, panik sudah jadi bonus bagiku. Tak tahu dari mana datangnya air bah ini, begitu derasnya melintas hingga memotong badan yang menjadi jalan utama jalur Amlapura-Singaraja.
Aku terduduk diam di atas motor, dari tadi hanya menonton atraksi air bah yang berwarna cokelat itu. Sudah 20 menit lamanya menunggu, tak satu pun roda mulai menampakkan dirinya untuk bergulir. Air bah itu tampak begitu pekat, tidak ada juga yang berani mendekat, orang-orang hanya berjejer untuk sekadar melihat.
“Teng”, begitu pikirku dalam hati, setengah jam sudah, hanya menunggu air pekat yang membawa berbagai material seperti kerikil yang berselimut lumpur, dan entah benda apa yang dilewatinya. “Sepertinya sudah mulai surut, ayo pelan-pelan saja, lewat di bagian sisi kiri biar lebih aman,” ucap seorang pria tua yang kurasa ia adalah salah satu warga di sana. Sembari mengarahkan, perlahan orang tua itu mulai masuk menembus air yang dingin dan penuh lumpur itu.
Bapak tua itu, bagiku benar bak seorang pahlawan. Bayangkan saja, 500 meter dari lokasi itu, sudah ada ombak yang lahap menyantap apa pun yang ada di depannya. Sedikit saja tidak berhati-hati, alam lain sudah menanti, sedikit seram ceritaku namun benar adanya seperti itu.
Aku perhatikan lagi, tinggi air itu lima centimeter lebih tinggi dari atas mata kaki. “Ayo, pelan-pelan saja lewatnya,” ucap orang tua itu dengan penuh yakin. Pria tua dengan jaket lusuh dan celana pendek hitam itu melambaikan tangannya ketika ia sudah berada tepat di tengah aliran air bah.
Truk dan motor, kian detik mulai menghilang satu-persatu. Kulihat ke belakang, barisan itu pun sudah Tampak tak begitu panjang. Pelan-pelan sembari memantapkan diri, aku coba menerobos derasnya air yang bercampur lumpur itu.
Takut sudah pasti. “Masalahnya apakah motorku akan kuat?” tanyaku dalam hati, sembari mendengar bunyi aneh yang datang dari bawah kananku, bunyinya benar-benar membuat spot jantung diuji. “Blubub-blubub.” Tak disangka semakin ke tengah ternyata semakin dalam, bunyi knalpot itu rasanya menjadi part yang paling menegangkan bagiku.
Sontak begitu panik dan tegang. “Bisa, Pak? Pelan-pelan saya bantu,” pria tua itu membantu mendorong motorku agar lebih cepat sampai ke seberang. Entah apa yang ada di pikiran bapak itu, rela menantang maut hanya untuk membantu orang, yang bahkan tak ia kenal sama sekali.
Air bah menutupi badan jalan utama Amlapura – Singaraja | Foto: Pande
“Terima kasih banyak, Pak,” ucapku ketika berhasil tiba di seberang. Ternyata bapak itu sudah tidak menuntunku, dengan sigap ia membantu pengendara lain untuk melewati air bah itu. Terlintas dalam pikirku, semoga bapak itu mendapat balasan yang terbaik setelah ini.
***
Rasanya sudah terlalu lama aku menghabiskan waktu di sini. Doa menjadi tameng utama yang menemaniku untuk melanjutkan kembali perjalanan, dengan pasti aku tinggalkan tempat itu.
Tugu segitiga berlambang Gunung Agung bertuliskan “Terimakasih dan Selamat Jalan” menandakan diriku baru saja melewati kabupaten tempat kelahiranku. Suasana ketika itu rasanya jauh berbeda, hawa dingin di sini masih sangat terasa, meski sang surya perlahan menampakkan sinarnya. Sahutan demi sahutan burung merbah, sebagai pesan pagi yang cerah akan segera tiba.
Sepanjang jalan aku berpikir, aku tidak menemukan hal seindah apa yang aku temui tadi, tidak ada sabana, dan tidak ada gunung yang tampak megah di sini. Bahkan salah satu bukit di sini tertutupi jejeran rumah warga yang saling terikat tembok pagar satu sama lainnya.
Jauh berjalan, aku bertemu denganplangtanda dengan gambar gapuranya. Aku telah tiba di salah satu pura yang bernama Pura Ponjok Batu. Tujuanku berhenti untuk meminta restu kelancaran dalam setiap perjalananku.
“Di sana ada sebuah perahu batu, di letakkan di atas karang, itu adalah kisah perjalanan Danghyang Nirartha,” cerita Pak Wayan, salah satu guru Agama Hindu, ketika aku menginjak ubin sekolah menengah pertama.
Aku semakin penasaran ketika mengingat memori itu. Berhentilah aku di suatu tempat untuk beristirahat, bale bengong orang bali menyebutnya. Rasa penasaranku sirna ketika aku mulai menelisik garis pantai dari arah kiri ke kanan.
Tepat dari arah pojok kanan, terdapat apa yang telah diceritakan selama ini oleh guruku. Perahu batu itu tetap kokoh, meski sesekali harus menerima hantaman ombak yang datang. Aku takjub sejenak, betapa bersyukurnya aku hidup untuk ikut dalam menjaga dan melestarikan berbagai peninggalan sejarah.
Setelah badai berlalu, dengan jingga mentari aku bertemu, berkelok-kelok jalan ditemani panorama laut serta sang surya yang perlahan mulai terbangun dari tidurnya, sekali lagi mataku dibuat terpesona memandangnya. Di sisi lain aku masih memikirkan pria tua dan air bah tadi. “Semoga aman-aman saja,” ucapku dalam hati.
Entah sudah berapa kali aku melewati marka jalan putus-putus, rasanya sudah banyak hal bisa aku lihat namun tidak semua aku ingat. “Apakah aku memakai mode auto-drive?” pikirku heran ketika aku lepas dari lamunanku dan melihat tugu lengkung bertuliskan “Selamat Datang di Kota Singaraja, Kota Pendidikan”. Tak kusangka sudah sampai di batas kota, padahal seingatku masih berada di Ponjok Batu.
Suasana kota ini tidak terasa seperti Kota Denpasar yang sering aku kunjungi. Masih terlihat klasik dan juga tidak terlalu ramai. Jauh lamanya waktu, kini sekarang sudah mulai banyak yang berbeda, namun gaya klasik itu tidak pernah lepas dari eks ibukota Sunda Kecil ini. Ya, aku lihat sebentar taman kota sudah mulai menghijau, dulu masih tanah lapang dengan rumput-rumput kecil yang tumbuh, kini hanya dijadikan tempat rekreasi ringan rasanya.
Pasar Banyuasri tak semegah dan secantik sekarang ini. Bahkan videotron pun belum ada yang terpasang di setiap sudut kota. Jauh berjalan menikmati indahnya kota ini, membuatku lupa jika tujuanku adalah daerah Banyuning.
Banyuning menjadi tempat di mana aku akan tinggal untuk beberapa tahun ke depan, tentunya selama menempuh pendidikan di kota ini. Aku rasa ini akan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagiku, mengingat, untuk pertama kalinya aku jauh dari keluargaku. Sudah barang tentu, siap-tidak siap harus siap agar dipaksa belajar lebih mandiri dan jangan lupa untuk menuntaskan misi membahagiakan kedua orang tua.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.