PANAH bernama guhya wijaya yang diberikan Dewa Indra kepada Rama berhasil menggugurkan Rawana. Apakah masalah selesai? Ternyata tidak. Setelah musuh di luar diri dikalahkan, maka pertempuran yang sejati adalah perang melawan musuh yang konon tempatnya dekat. Pengarang kakawin Ramayana sejak awal telah mengingatkan bahwa musuh itu tidak jauh, ia dekat, ia berada di dalam diri, ia bermarkas di hati. Pada gilirannya, reinkarnasi Wisnu itu juga berhadapan dengan dirinya sendiri. Benih keraguan atas kesucian Sita yang telah lama di negeri musuh tumbuh, berbunga, mekar dan berbuah dalam hatinya. Benalu keraguan yang telah tumbuh di pohon hati itu ternyata sulit dihilangkan. Ketika ia perlahan membesar, pohon cinta Rama-Sita yang justru diancamnya.
Dengan keraguan itu sesungguhnya Rama menunjukkan sisi kemanusiaannya. Ia juga menggunakan logika manusia pada umumnya, mana mungkin seorang perempuan yang telah lama di negeri musuh tidak pernah dijamah oleh penculiknya. Terlebih tempat diculiknya Sita adalah sarang raksasa yang aktivitas kesehariannya memang bergelut dalam dunia yang diklaim oleh pengarang berkecimpung dengn minuman keras, sanggama, pemerkosaan, perang, dan sejenisnya. Sekali lagi logika Rama sangat masuk akal. Meskipun Ia lupa, raksasa Rawana yang telah menculik istrinya itu juga adalah raksasa berkualitas, pemuja Siwa yang taat, dan tidak hanya ingin memenangkan tubuh tetapi sekaligus hati Sita.
Keraguan yang kuat itu disikapi oleh Rama dengan cara menyatakan ingin menceraikan Sita. Rama sama sekali tidak menggunakan kekuatan kedewataannya yang betel tingal untuk mengetahui salampah laku Sita selama berada di Alengka. Apabila Rama menggunakan kemampuannya itu, Ia tentu tahu bahwa istrinya selama berada di negeri Alengka dengan teguh menjalankan patibrata. Lalu apakah patibrata itu, apa godaannya, dan apa anugrah yang diterima Sita? Seperti itulah pada umumnya cara kita sebagai manusia pragmatis berpikir dengan orientasi apa yang hendak didapatkan ketika melaksanakan suatu ajaran. Dengan tidak melandaskan diri pada kewajiban, tidakkah kadar ketulusan pelaksanaan suatu ajaran akan berkurang?
Ajaran patibrata yang dijalani Sita tidak dinyatakan secara langsung, tetapi kita ketahui dari ungkapan-ungkapan Tri Jata, satu di antara perempuan raksasa baik hati anak Wibhisana yang melayani Sita selama disekap di taman Angsoka. Sita sendiri tidak pernah sekalipun menyatakan dirinya melaksanakan ajaran patibrata. Ajaran itu misalnya dinyatakan Tri Jata setelah menyaksikan penolakan mentah-mentah yang dilakukan Sita atas rayuan Rawana yang telah dipersiapkan dengan matang. Meski telah memberi berbagai hadiah, Sita tetap menolak untuk dipersunting Rawana. Maka dengan meminjam lidah Tri Jata, pengarang menyatakan tuwi satya tar papadha ring patibrata Sita benar-benar setia tanpa tanding dalam pelaksanaan Patibrata”.
Barangkali, tidak menyatakan diri melaksanakan suatu brata adalah bagian dari brata itu sendiri. Berbeda sekali dengan sejumlah penekun dunia spiritual saat ini yang dengan terang-terangan menyatakan diri sedang melakukan suatu brata. Justru ketika ada seseorang yang menyatakan diri melaksanakan brata tertentu, apalagi sampai menggembar-gemborkannya, kita patut bertanya kesejatian brata yang dilakukannya. Konon brata adalah janji diri yang sifatnya sangat personal. Seseorang yang menempuhnya harus siap dengan kesendirian sebagai hadiah pertama atas janji dirinya, sementara godaan adalah hadiah berikutnya. Tanpa godaan kualitas brata seseorang tidak akan diketahui. Baru mendapatkan godaan, belum tentu juga seseorang akan menerima anugrah.
Sita mempelajari dan mempraktikkan langsung ajaran patibrata di sebuah universitas di luar negerinya bernama Alengka, setelah ia berhasil diculik Rawana dengan wujud pandeta di hutan Citrakuta. Sita yang ditinggalkan Rama dan Laksmana mencari kidang emas seorang diri di hutan ternyata merasa kesepian. Memanfaatkan kesepian itu, Rawana merubah wujud menjadi seorang pendeta dan berhasil melarikannya. Seorang perempuan yang tengah kosong hatinya, perlu berhati-hati dari raksasa yang menyamar menjadi pendeta, barangkali itulah pesan yang dapat ditangkap dari fragmen ini. Sita sesungguhnya tidak sepenuhnya salah dalam kejadian ini, ia hanya setia pada konvensi tradisi, bahwa salah satu sumber kebenaran dapat diraih dari tutur kata pendeta. Memang demikianlah yang diungkapkan dalam teks-teks sastra. Niti Raja Sasana misalnya menyatakan bahwa sari-sari sastra dan baik-buruk kehidupan dapat dicari pada nasihat pendeta (reh saking pandita sami, kojaran sarining sastra, ala ayu benar sisip).
Dari gambaran pengarang, Sita bukanlah sosok yang lemah dalam intelektual, Ia adalah figur perempuan terpelajar. Pada zamannya ia membaca kitab-kitab parwa, purana, dan kanda. Oleh sebab itu, ketika dilanda kesedihan yang mendalam setelah berpisah dengan suaminya, Ia meminta tolong kepada Tri Jata untuk dibacakan kisah-kisah perpisahan dan pertemuan seperti yang tersurat dalam pustaka-pustaka tersebut. Tidak hanya itu, Sita juga menguasai ilmu kecantikan yang ia pelajari dari kitab Indrani Sastra. Dalam konteks penculikannya, Sita hanya kurang terlatih mengidentifikasi pendeta sejati dan pendeta samaran, sama juga dengan kita saat ini yang kurang peka menyadari sosok wiku nagara dan wiku raksasa.
Setelah diculik, Sita ditempatkan di taman Angsoka. Angsoka yang berarti taman bebas dari kesedihan, tak mampu sedikitpun mengobati lara hati Sita selama di Alengka yang long distance relation dengan Rama. Di taman itulah kualitas patibrata Sita diuji. Sita dibujuk oleh Rawana dengan berbagai hadiah berupa intan, permata, pakaian, dan perhiasan lainnya. Rawana bahkan telah membuatkan rumah yang terbuat dari permata umah manik sebagai tempat tidur, tetapi Sita lebih memilih menghabiskan malam-malamnya dengan berbaring di atas pertiwi.
Selain itu, Sang Dasanana juga menjanjikan Sita kedudukan di ketiga dunia. Jika Sita mau saja menerima permintaannya, Dewa Indra sekalipun akan dijadikan pelayannya. Meskipun Rawana telah menggunakan seluruh daya upaya, Sita bagaikan gunung yang tidak pernah goyah kesetiaannya. Keteguhan Sita lantas menyebabkan Rawana tidak lagi memilih pendekatan dialogis. Ia berusaha melakukan tekanan psikologis dengan cara menipu Sita menggunakan penggalan kepala Rama. Hati Sita hancur, tetapi berhasil ditenangkan oleh informasi Wibisana yang menyatakan Rama masih hidup. Tekanan fisik juga sempat dilakukan Sang Dasamuka dengan menghunuskan keris kepada Sita, namun Dewi Janaki tak takut kepada kematian. Keteguhannya menyebabkan Rawana tidak berhasil sekalipun menjamah Sita.
Sita yang sesungguhnya telah tamat dari godaan cinta, harta, dan tahta yang ditawarkan Rawana, ternyata belum lulus. Ujian tahap akhir ditempuhnya ketika menghadapi keragu-raguan suaminya sendiri. Luka hati yang belum benar-benar kering atas penculikan yang dilakukan Rawana, dilanjutkan dengan sayatan luka baru dari penolakan Rama atas dirinya. Setelah Dasamuka berhasil dikalahkan, Rama justru menyangsikan integritas Sita selama berada di negeri Alengka. Ia pun takut, Sita akan mengotori keturunan Ragu apabila tidak menceraikan Dewi Janaki yang telah ternoda. Dengan sungguh-sungguh Ia lalu menawarkan Sita untuk kembali ke Metila, tinggal bersama Wibisana di negeri Alengka, menuju ke tempat Sugriwa, atau menetap bersama Barata dan Laksmana. Sungguh memilukan.
Sita sebagai perempuan tegar tentu tidak menerima tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Ia meminta Tri Jata untuk memberikan testimoni, sebab dialah saksi hidup selama Sita di Alengka. Tri Jata telah menyampaikan betapa bakti dan setianya Sita selama berada di kerajaan Rawana. Dia berusaha meyakinkan Rama sebagai reinkarnasi Wisnu yang tampaknya dilanda kebingungan. Dalam konteks inilah pengarang menyampaikan ungkapan tatar hana saswatānulus yang artinya “tidak ada kehidupan yang sempurna”. Sebuah ungkapan yang saat ini biasa dikutip untuk dijadikan penutup dalam suatu pidato, sambutan, darma wacana dengan berbagai variasi tanpa pernah membaca sumbernya.
Tidak hanya meminta penjelasan Tri Jata, putri raja Janaka itu juga berseru kepada lima unsur alam semesta yaitu tanah, air, sinar, angin, dan udara yang ada di luar dan di dalam diri sebagai saksi. Kepada tanah yang menjadi tempat hidup semua ciptaan, kepada air yang menghidupi jagat, kepada sinar yang selalu ada siang dan malam, kepada angin yang menyusupi semua makhluk, dan kepada angkasa yang merangkul bumi, Sita meminta bantuan. Akan tetapi sia-sia, karena Rama masih tetap tidak percaya.
Tidak ada jalan lain kecuali membuktikan kesuciannya dengan cara melabuh geni menceburkan diri ke dalam kobaran api. Kepada Dewa Agni sebagai saksi dunia Sita berikrar, jika ia ternoda maka tubuhnya akan terbakar. Akan tetapi, jika ia suci maka perlindungan dan pembuktian yang ia mohonkan. Tidak berselang lama, persiapan segara dilakukan oleh Laksmana. Kayu-kayu dibakar dengan lidah apinya yang berkobar. Sita terjun ke dalam lautan api, namun dirinya sama sekali tidak terbakar. Melainkan perasaan orang-orang yang melihat peristiwa itu yang hangus.
Api seketika berubah menjadi teratai emas (kanaka pangkaja), nyalanya menjadi kelopak daun (dadi dala tang dilah), dan asapnya menjadi keharuman bunga teratai (kukus arum). Dengan cara itu Sita membuktikan kesetiaannya. Itulah anugrah bagi ia yang melakukan ajaran patibrata. Ajaran patibrata yang dijalankan Ibunda Sita dalam kakawin Ramayana barangkali menitipkan pesan ketegaran dan kesetiaan kepada generasi yang disebut-sebut milenial kini. Kata Sita memang sangat dekat dengan Siti yang artinya pertiwi atau bumi. Sita dan Siti sama-sama menitipkan pesan ketegaran dan kesetiaan. Ibunda Sita setia terhadap Rama, sedangkan ibu bumi selalu setia pada bapa akasa.
Di zaman sekarang tentu kita bisa bertanya, apakah kesetiaan hanya harus dilakukan oleh seorang perempuan? Adakah sumber sastra yang menyebutkan kesetiaan seorang laki-laki? Jawabannya ada. Tetapi kita akan bahas di lain kesempatan. [T]
- BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA