HAI. Banyak sekali yang lupa dicatat beberapa pekan yang lewat. Ah sibuk, sebenarnya hanya alasan saja. Hari-hari menggelinding begitu saja, nyatanya ada kerinduan untuk menceritakan kembali sesuatu sebagai bentuk pengingat yang baik pada setiap langkah kecil berarti.
Saya mau cerita tentang sebuah rumah aspirasi seniman di Batur, Kintamani, Bangli. Saya termasuk seseorang yang senang berada di rumah aspirasi itu.
Rumah aspirasi itu belum genap setahun didirikan. Rumah sspirasi para seniman Batur itu diberi nama Sinarata Rumah Aspirasi. Sinarata merupakan sebuah nama desa di kaki Gunung Batur yang beberapa kali terkena dampak letusan Gunung Batur. Sinarata berarti memberikan sinar yang merata.
Saya merasa sangat diberkati untuk bisa ikut ngayah melalui perjalanan kreatif dan tim yang punya komitmen luar biasa dalam membangun ruang yang nyaman untuk berbagi pengalaman, dan pengetahuan dalam bidang seni.
Sebelumnya Sinarata Rumah Aspirasi sempat ngayah di Pura Jati pada Sasih Kasa, juga beberapa pada piodalan lainnya. Dan setelah itu, kami kembali memperoleh pengalaman yang luar biasa karena berkesempatan ngayah pada Karya Ngusaba Kedasa I Saka 1946 sekaligus menjadi pembuka. semangat kolaborasi dan dedikasi, menambah sentuhan khusus pada kegiatan ngayah ini.
Karya ini adalah sebuah kolaborasi ekspresi seni antara pegiat seni di Batur yang dituangkan dalam bentuk visualisasi fragmentari yang mengambil tema Babad Batur. Munculnya kolaborasi ini tidak terlepas dari peran banyak pihak, seperti Jero Budarsana sebagai konseptor, dan sebagai artistic director ada Bagas Karayana, juga tidak lupa ada peran penting penabuh yang dikomandoi oleh Jero Rapliana.
Beberapa momen dan proses panjang saya catat, yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Dengan waktu latihan yang cukup singkat, hanya sembilan kali latihan bahkan di tiap petang selalu saja turun hujan.
Kami dipaksa untuk mau menurunkan idealis yang ada di kepala, juga berkompromi dengan keras kepala kami, tentu saja banyak maunya. Dan bagaimana hampir menyerah sebelum karya ini rampung.
Meisa Wulandari (penulis) saat ngayah di sebuah pura di Batur | Foto: Dok pribadi
Ya begitulah seni bersifat mengalir mengalun membawa masuk ke ruang antara. Karena dalam mencipta sebuah karya seni, seseorang harus memisahkan diri mereka di bagian paling rentan dari pikiran mereka. Hingga akhirnya kami, Sinarata Rumah Aspirasi, bisa mempersembahkan cerita yang dikemas dengan apik bersama tim yang kece.
Apakah masih ada yang menengok ke belakang, mengingat satu persatu kisah moyang yang tak harus dilupakan untuk menjadi sebuah pelajaran?
Keingintahuan membawa jauh sekali, dimana hidup selalu diisi oleh siklus tak henti. Menelusuri seluk beluk dengan cara masing-masing, kelak yang telah mereka lalui memberi tutur khas layaknya benang merah yang sama di waktu dan generasi yang berbeda.
Adalah sebuah cerita yang beredar di masyarakat kawasan Kaldera Batur secara turun temurun, mengisahkan bagaimana terjadinya Gunung Batur. Kisah yang erat kaitannya dengan perjalanan Mangku Pucangan pada saat itu ngogong/mundut (meletakkan di atas kepala) tapakan wakul yang dihias dengan janur (sampian) yang merupakan Ida Bhatari Dewi Danu untuk menemukan lingganya, yang nantinya akan menjadi junjungan masyarakat Bali.
Perjalanan dilakukan, setelah sampai di pinggir kaldera Mangku Pucangan memantau keadaan (delak-delok), sehingga tempat itu diberi nama Panelokan. Saat itu kaldera Batur masih dikelilingi air yang luas dan ketika sampian tersebut diletakkan atas titah Ida Bhatari Dewi Danu, atau juga bergelar Ida I Ratu Ayu Mas Membah, beliau pun muncul dan mengeluarkan pecut pustaka, lantas memecut ke bagian tengah danau.
Terjadilah ledakan besar selama sebelas hari sebelas malam, seketika tempat itu semakin tinggi dan menjadi sebuah gunung di tengah danau. Gunung itu terus meletus dan membesar sehingga menyebabkan sebagian besar danau menjadi daratan.
Pada gunung itulah Ida I Ratu Ayu Mas Membah berstana dan dikenal dengan abhiseka Ida I Ratu Tengahing Segara atau Ida I Ratu Ulun Danu. Dan gunung itu bernama gunung Tampur/Tempuh Hyang yang berarti bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga disebut dengan Gunung Tampurhyang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Batur.
Fragmen Babad Batur | Foto: Dok pribadi
Tidak hanya itu, atas jasanya mengantarkan Ida Bhatari Dewi Danu, Mangku Pucangan pun dianugerahi sebilah pecut dan ditakdirkan untuk menjadi penguasa di daerah Badung, dimana tempat tersebut diberi nama Puri Pamecutan.
Kawasan kaldera Batur Purba dengan Danau Baturnya disebut juga sebagai bembengan druwen Ida Bhatari Dewi Danu atau istilah lainnya adalah taman druwen Ida Bhatari Dewi Danu.
Cerita ini menandakan adanya keterkaitan yang kuat dengan fenomena geologi yang melatarbelakangi pembentukan kaldera Batur Purba. Kawasan yang memiliki cadangan air yang cukup besar juga rangkaian pegunungan yang membentuk tulang punggung Pulau Bali merupakan wilayah konservasi untuk penyediaan cadangan air di Pulau Bali. Sehingga dimuliakan sebagai muasal air penyangga keberadaan subak di Bali.
Bertalian dengan hal itu, sedikit mengintip ke potongan syair yang kami nyanyikan selaras dengan alunan gamelan yang memperkuat iringan gending dalam mencipta suasana tertentu pada setiap adegan untuk memperjelas jalan cerita, seperti berikut ini
Part I
Kasian bukit sekare selaka
Sekar tiblun kembang kencana
Part II
Katon asri tetamanan danu
Kaiterin sekar jagat miik ngalub
Ulamnyane sliak sliuk marerodan
Sarwa sato pada girang ya macanda.
Lirik sebuah adegan fragmentari yang kami bawakan menggambarkan bagaimana keindahan taman druwe Ida Bhatari Dewi Danu yang dikelilingi oleh bunga kasian bukit/kasna/edelweis atau juga disebut sebagai bunga perak dan bunga tiblun yang dikenal dengan bunga emas memiliki nama latin Dudonaea viscosa, Florida hopbush yang sering dijumpai di Gunung Batur. Tanaman ini juga sangat penting karena digunakan sebagai pelengkap sarana upacara, seperti bunga edelweis yang digunakan pada canang untuk banten guru piduka ala Batur.
Sementara itu adapun syair pada teks gerong yang kami nyanyikan mengutarakan bagaimana kisah perjalanan itu sebagai berikut:
Kramaning babad batur
Nemoning ri candra sangkala geseng
Sasi wak manyujur bembengan agung
Tapak Hyang Pasupati sane madurgama
Taman danu maka pengawit
Pamijilan giri putri
Pinaka lingganing amerta bumi
Mapelawatan petapakan linggih
Mangda sida jagat bali ngemangguhin
Jagaditha kertaning gumi
Ketika membaca isinya menyoal tentang Candra Sangkala Geseng, rasanya ingin sekali mencari jawaban, memindai rasa pada tiap kata yang terangkai dan setelah mencari di beberapa literatur juga bertanya pada seorang kawan, ternyata Candra Sangkala merupakan perhitungan tahun berdasarkan pada perputara bulan terhadap bumi, dimana angkanya ditentukan berdasarkan nilai dari kata-kata.
Jadi, di dalam kata-kata itu ada nilai angkanya. Misalnya kata “sasi” berarti “bulan”, nilainya “1”. Kata “wak” berarti “mulut” yang nilainya juga “1”. Cara perhitungannya dibalik, misalnya di dalam teks ada “Candra Sangkala Sirna Hilang Kerthaning Gumi” sirna: 0; hilang: 0; kertha: 4; bhumi :1. Jadi, kata “Sirna Hilang Kerthaning Gumi”= 0041 lalu dibalik menghitungnya menjadi “1400 Saka”.
Nah, adapun catatan pertama letusan Gunung Batur itu diperkirakan terjadi pada 110 Saka yaitu pada Anggeseng Sasi Wak. Begitu dahsyatnya pembentukan kaldera Batur Purba yang kemudian disuguhkan dalam sebuah cerita lengkap dengan gerak tari, lagu dan juga gamelan.
Proses tidak pernah mudah, ada kegigihan yang menyertainya. Menurut Jero Rapliana sebagai koordinator dari Baswara, adapun hal yang perlu diketahui yakni tetabuhan pada fragmentari kali ini menggunakan sistem leluangan (pukulan seperti gong gede) dimana permainan pemade/gangsa hanya nyolcol tidak ngotek. Kurang lebih ada 17 gending termasuk gending petegak dan gending penutup.
Untuk alur gending dibagi menjadi 14 babak, dimana ditiap babak memiliki ritmik gending yang beragam, dimulai dari tokoh utama yang digambarkan dengan suasana penuh keagungan, penggambaran tokoh masyarakat dengan suasana riang gembira, penuh keceriaan dan suka cita, babak 11-12 merupakan bagian klimaks dari cerita ini yang digambarkan dengan suasana penuh anugrah. Tidak lupa di bagian penutup digambarkan dengan kebijaksanaan dan rasa syukur.
Berjalan berdampingan mewujudkan satu persatu dialog-dialog dan ide cerita dan gagasan artistik berhasil dituangkan oleh Bapak Jero Budarsana, juga yang tidak pernah lalai mewujudkan gerak-gerik tari walau dengan brief yang seambigu apapun oleh Bagas Karayana. Begitu juga alunan jari jemari manisnya yang cakap dan tatapan mata yang tajam dari para penari menghubungkannya menjadi sebuah tarian yang penuh pemaknaan.
Sesi foto bersama | Foto: Dok. pribadi
Tak ada habisnya menceritakan tentang sebuah proses, saya pun berkesempatan mencipta lirik untuk mengisi bagian yang kosong di satu babak yang menggambarkan bagaimana kecantikan dayang-dayang dengan sifat maskulinitas. Sempat mendapat kritik sebelum pementasan, membuat saya semakin gigih untuk mencari kata yang lebih cocok dengan nada gamelan, dan alhasil tepat di hari pementasan saya masih memikirkan liriknya. Memanfaatkan waktu yang sangat singkat dan harus menyocokkan dengan tim gerong (sinden bali) sampai pada akhirnya bisa tereksekusi dengan baik. Begini liriknya :
Sane mangkin jagi masolah, lenggak-lenggok
Dayang jegeg ayu mawibawa
Damuh dewi danu, anglalang kalangwan ayu
Amrih suddhaning bhumi
Kami menghabiskan semalaman penuh, saling menguatkan dan semua energi mulai berhamburan, ternyata semuanya bisa dilaksanakan seperti harapan. Masih belum menemukan kata dan cara yang cukup untuk menggambarkan besarnya rasa syukur dan terimakasih sudah melenyapkan sejuta kekhawatiran. Sebuah kelegaan hadir, dan dengan penuh rasa hormat saya haturkan kepada penonton.
Saran dari kawan-kawan adalah bekal berharga agar Sinarata Rumah Aspirasi menjadi ruang bertemu dan berdiskusi yang lebih baik lagi. Tentu saja kami perlu banyak berbenah. Perjalanan kami masih panjang dan jauh dari kata tuntas.
Tepuk tanganmu, tepuk tanganku. Akan selalu datang sesuatu yang selama ini ditunggu-tunggu, sebentar lagi. Sampai jumpa pada karya selanjutnya. Salam hangat. [T]
- BACA artikel lain dari penulis MEISA WULANDARI
- BACA artikel lain tentang BATUR