SEBAGAIMANA di tempat lain saat bulan Puasa, umat Islam Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, setelah selesai salat Tarawih, juga melangsungkan tadarus Al-Qur’an bersama-sama. Bedanya, jika di tempat lain tadarus bersama hanya dilakukan di musala atau masjid, di Pegayaman, digelar di tiga tempat sekaligus, yakni musala, masjid, dan rumah-rumah warga.
Seperti halnya pelaksanaan salat Tarawih di masjid pada pukul sepuluh malam, tadarus di rumah-rumah warga ini juga sudah berlangsung dari dulu—ini adalah tradisi yang diwariskan oleh leluhur orang-orang Pegayaman yang sudah berabad-abad menghuni wilayah pemberian Raja Buleleng pertama itu.
Di Pegayaman, tak hanya satu atau dua rumah saja yang menggelar tadarus bersama, tapi nyaris delapan dari sepuluh rumah melakukannya. Para tetangga, handai tolan, sanak-keluarga, kadang kala datang bergantian di setiap rumah warga yang menggelar tadarus.
Dan dalam semalam, di semua tempat, entah di musala-masjid-rumah, mereka biasa membaca Al-Qur’an sampai tiga juz. Orang-orang Pegayaman, selama bulan Puasa, bisa khatam Al-Qur’an sampai tiga kali. Aturannya memang begitu sejak dulu.
Saat bulan Ramadan, Desa Pegayaman memang tampak lebih meriah dari bulan-bulan biasanya. Selain musala dan masjid yang terlihat lebih ramai aktivitas, di jalan-jalan desa, khususnya menjelang Magrib sampai masuk waktu Isya, banyak pedagang dadakan yang menggelar lapak jualan. Mereka, para pedagang itu, menjajakan berbagai kudapan, dari jajanan tradisional sampai yang melampauinya.
Anak-anak muda Pegayaman juga demikian. Bersamaan dengan para pedagang tadi, saat bulan Puasa, muda-mudi Pegayaman juga senang bergerombol di pinggir-pinggir jalan. Orang-orang Pegayaman menyebutnya “Senggol” atau “Nyenggol”.
Tak ada penjelasan pasti mengenai sebutan itu memang. Tapi yang jelas, setiap bulan Ramadan, selain tiba-tiba banyak pedagang makanan dan cemilan di sana, anak-anak, remaja, pemuda, sambil menunggu berbuka, mereka senang sekali nongkrong di pinggir-pinggir jalan. Dengan begitu, untuk ukuran desa, Ramadan di Pegayaman tampak lebih meriah jika dibandingkan dengan tempat-tempat lain di sekitarnya.
Selama bulan Puasa, orang Pegayaman seperti tak memiliki waktu istirahat. Selain mengisi hari dengan kegiatan sehari-hari, bekerja mencari nafkah, mereka juga menghabiskan waktu dengan beribadah, salah satunya adalah dengan tadarus bersama setelah salat Tarawih.
“Kami, laki-laki, salat Tarawih jam sepuluh malam di masjid. Paling tidak itu membutuhkan waktu satu jam baru selesai. Setelah itu baru tadarus, selesai sekitar pukul dua dini hari. Setelah tadarus, sebentar saja sudah masuk waktu sahur. Pagi sampai siang beraktivitas kerja dan sebagainya. Jadi, waktu tidur di bulan Puasa lebih sedikit daripada hari-hari biasa,” kata Ketut Muhammad Suharto sembari tertawa, Minggu (24/3/2024) sore.
Orang-orang Pegayaman tampaknya memang tak mau membuang-buang kesempatan yang hanya hadir setahun sekali ini. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengisi bulan Ramadan dengan kegiatan yang bernilai akhirat. Musala, masjid, rumah pribadi, bergitu meriah.
Orang-orang berbondong-bondong, beribadah, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Sang Maha Kuasa. Dan setiap menjelang tengah malam, di sana, ayat-ayat suci Al-Qur’an berkumandang di mana-mana, termasuk di sebuah rumah sederhana yang teronggok di pinggir jalan menuju Masjid Jami’ Safinatus Salam Desa Pegayaman.
Di rumah sederhana itu, anak-anak laki-laki dari umur SD sampai SMA bergerombol menghadap kitab suci Al-Qur’an yang mereka bawa. Mereka sedang menunggu giliran untuk membaca. Sementara anak lain sedang membaca, mereka menyimaknya dengan khusyuk. Anak-anak itu melakukannya setiap malam seusai salat Tarawih ibu-ibu.
Rumah tempat anak-anak tadarus itu miliki salah satu tokoh agama di Pegayaman. Namanya Abdul Hadi. Lelaki berumur 60 tahun itu pernah mondok di Blok Agung, Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak dulu, sejak kakek-buyutnya, rumah Abdul Hadi sudah digunakan sebagai tempat belajar mengaji anak-anak sekitar. Di rumah inilah, banyak anak-anak Pegayaman yang lancar membaca Qur’an dan tahu ilmu-ilmu agama lainnya.
Sebab, selain sebagai tempat belajar membaca Al-Qur’an, di rumah tersebut juga mengajarkan isi kitab-kitab dasar seputar Islam, fiqih, tajwid, aqidah, seperti kitab Aqidatul Awam karya Syeikh Sayyid Ahmad Al-Marzuqi Al-Maliki Al-Hasani (1205-1261 H) sampai kitab Fathul Qorib-nya Muhammad bin Qasim Al-Ghazi (1455- 1512 M).
“Ada sekitar 150 anak yang ngaji di sini. Bahkan, yang rumahnya jauh, mereka sampai menginap di sini, sudah seperti pondok pesantren,” kata Hadi di tengah-tengah suara anak-anak membaca Al-Qur’an di rumahnya.
Ini suasana yang jarang ditemukan di tempat lain. Seperti yang telah disinggung di awal, bahwa umumnya, pada saat bulan Puasa, tadarus bersama hanya dilaksanakan di musala atau masjid. Di tempat lain, kalaupun tadarus di rumah, biasanya hanya dilakukan sendiri-sendiri, tidak bersama-sama seperti orang Pegayaman.
Oleh karena itu, tentu saja, rumah Abdul Hadi bukan satu-satunya tempat yang menggelar tadarus bersama. Tak jauh dari rumah Hadi, di sebuah rumah warga lainnya, orang-orang dewasa juga sedang membaca Al-Qur’an bersama. Bedanya, kalau di rumah Hadi dilakukan setelah salat Tarawih ibu-ibu, sedangkan di rumah-rumah warga lainnya digelar setelah salat Tarawih bapak-bapak—yang dilaksanakan pukul sepuluh malam itu.
Sekadar informasi, di Desa Pegayaman, salat Tarawih dilaksanakan dua kloter, tidak seperti tempat lain pada umumnya. Kloter pertama, sebagaimana Tarawih di tempat-tempat lain, dikerjakan setelah salat Isya sekira pukul tujuh malam atau lebih sedikit. Tapi, kloter ini sebenarnya hanya diperuntukkan ibu-ibu atau perempuan pada umumnya—walaupun ada beberapa laki-laki yang ikut serta, meski jumlahnya tidak banyak. Mereka menjalankan Tarawih di musala atau di rumah-rumah warga.
Sedangkan untuk laki-laki, Tarawih baru akan digelar saat jam dinding menunjukkan sepuluh malam. Laki-laki Pegayaman mengerjakan salat Tarawih di masjid, kecuali mereka yang memiliki alasan lain sehingga melaksanakan Tarawih bersama ibu-ibu di musala atau di rumah.
“Meski Tarawih di masjid pukul sepuluh malam bukan sebuah keharusan, tapi orang-orang Pegayaman sudah kadung terbiasa. Sebab, ini sudah dilakukan selama berabad-abad silam,” ujar Suharto, salah satu orang yang senang mengamati dan mempelajari sejarah, sosial-masyarakat, sampai seni-budaya Desa Pegayaman.
Tradisi tadarus bersama di rumah-rumah warga ini, ditulis secara singkat di buku Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Bali (2023) karya Ketut Muhammad Surharto. Demikian.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana