LITERASI sampai hari ini masih digaungkan di dunia pendidikan, begitu pula dengan berbagai programnya. Literasi sepertinya masih sangat langka di Indonesia, sehingga pemerintah pun bikin program-program seremonial terkait literasi, bahkan program pemerintah yang paling baru adalah literasi keuangan bagi mahasiswa yang terlilit pinjol. Pertanyaannya, apakah mahasiswa sampai harus dibuatkan sebuah program literasi agar tak terlilit pinjol? Atau itu harusnya menjadi kesadaran mereka?
Literasi, menurut saya, adalah sebuah kesadaran. Kesadaran untuk berpikir kritis, kesadaran membeli buku, kesadaran untuk tahu dan kesadaran bahwa dunia maya tidak serta merta memberikan info-info valid dan baik. Kesadaran itu yang harusnya ditingkatkan dengan sebuah stimulus yang baik pula. Misalnya, memberikan buku bacaan baru yang menarik dan tidak itu-itu saja.
Di lingkungan saya, tempat saya berkerja, stimulus untuk program literasi ini minim diberikan. Awalnya saya merasa senang bahwa ada macam-macam buku bacaan di setiap kelas dan selalu dibaca setiap pagi (katanya). Ada buku Gerson Poyk, beberapa buku Budi Darma dan kebanyakan dongeng-dongeng fabel yang ringan dibaca anak SMP.
Tapi, apakah buku-buku itu akan selalu dibaca dan tak akan bosan membacanya? Ini selalu menjadi pertanyaan saya setiap mengajar dan melihat buku-buku itu terpajang di rak kelas. Buku Gerson Poyk dengan judul Sang Guru misalnya, tak ada anak yang tertarik membaca buku setebal dan tidak menarik bagi mereka itu. Beberapa buku kadang saya bawa dan saya baca ketika sampai di indekost, atau sedang bosan-bosannya mengajar.
Ada pula perpustakaan digital agar mudah diakses untuk anak-anak yang tak gemar membaca buku. Mereka bisa mengakses dengan mudah buku-buku yang ingin dicari. Tapi kendalanya adalah, banyak buku yang tak bisa dibaca lebih lanjut karena buku-buku tersebut kemungkinan habis masa pembeliannya.
Literasi meski dibuatkan berbagai macam program tak akan jadi menarik jika stimulusnya memaksa dan kadang mengharuskan. Bagi saya, membaca adalah sebuah wahana lain untuk merefresh diri, untuk mengetahui lebih banyak lagi dan untuk mengusir bosan. Membaca adalah sebuah makanan yang tak akan terasa kenyang meskipun sudah memakan beribu-ribu huruf dan kata setiap harinya.
Saya jadi ingat ketika saya baru menginjak kelas 5 sekolah dasar dulu, ibu saya seorang guru di pedesaan terpencil. Karena sekolah jauh masuk ke utara dari rumah saya, koran biasanya langsung dititipkan di rumah saya. Setelah mandi, hal yang paling sering terjadi adalah sakit perut yang luar biasa, maka dari itu agar tak bosan di kamar mandi saya mengambil koran Bali Post di atas meja ibu, kadang mengambil koran yang tipis seperti Radar Bali. Membaca adalah sesuatu yang seru dan keberuntungan saya dulu adalah, ibu saya seorang guru yang selalu mendapat titipan koran setiap pagi dan tak adanya HP yang merengut kesempatan saya untuk membaca.
Kadang ketika keasikan membaca, kaki saya keram dan sering terlambat berangkat sekolah. Saya juga adalah orang yang sangat malas membaca teori-teori di buku LKS dan Paket saat itu, malah lebih seru membaca koran. Koran yang paling seru adalah saat hari Sabtu dan Minggu, berita olahraga dan sastra di halaman belakang tak luput dari bacaan saya.
Dari sana kemungkinan saya menjadi sadar bahwa membaca tak harus dipaksa, namun harus ada stimulus dan kesadaran yang diberikan. Mungkin ketika melihat orang tua membaca koran sembari jongkok di WC juga menjadi stimulus seorang anak yang menjadi peniru di masa itu.
Stimulus yang baik hari ini dapat diberikan ketika kita pula ikut membaca dan berperan aktif mengetahui bahan-bahan bacaan yang menarik untuk anak. Misalnya buku-buku terjemahan yang menarik perhatian saya akhir-akhir ini.
Awalnya saya membaca sebuah buku berjudul “Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang” karya Luis Sepulveda, dari sana saya kira bacaan seperti ini cocok untuk meningkatkan minat membaca anak, dari sana pula saya menjadi gemar mencari buku-buku terjemahan lain.
Buku lain yang baru saja saya baca adalah “Le Petit Prince” atau “Pangeran Cilik” karya Antoine de Saint-Expurey. Buku ini saya dapat di salah satu kelas ketika saya suntuk menunggu siswa mengerjakan ulangan. Ketika saya membaca buku ini, ternyata isinya tak seperti judulnya. Cerita-cerita kehidupan tertulis sangat dalam. Ini yang menjadikan buku terjemahan sangat menarik untuk dibaca, selain karna Budi Pekerti sekarang dihapus dari mata Pelajaran di sekolah, setidaknya siswa mendapatkan sesuatu untuk diintepretasi di dalam kehidupan mereka.
Namun sayang, ketika mereka selesai mengerjakan soal, saya sempat bertanya kepada siswa yang pernah membaca buku ini. Mereka tidak tahu akan isinya atau lupa dengan isinya. Mungkin terlalu berat pikir saya, namun, ada hal lain yang menganggu ternyata. Sekali lagi, mereka hanya kurang stimulus dan proses untuk menceritakan kembali isi bacaan agar mereka benar-benar mengingat bukan hanya sekedar angin lalu yang dinilai lalu dilupakan.
Saya berpikir kembali, apakah sekolah yang masuk ke pelosok desa mendapatkan juga apa yang sudah saya lihat di kota besar ini? atau entah mereka hanya membaca buku-buku bekas dari sumbangan sukarela para siswa atau mahasiswa KKN yang tak sengaja mendapatkan jatah tempat di sana? Atau sama sekali tidak ada?
Pemerintah hanya memikirkan bahwa kami, guru, hanya harus menyelesaikan apa yang ada di website mereka, apa yang mereka buat dan apa yang mereka haruskan. Tak ada timbal balik, malah ada slogan baru untuk kurikulum sekarang, “Siswa Merdeka, Guru Belajar”.
Tapi, saya sebagai guru akan tetap belajar, namun bukan dalam hal administrasi atau seminar yang dapat ditinggal tidur. Saya akan selalu belajar hal-hal yang tidak nyata, fiksi dan hal yang tidak akan mungkin terjadi, karena dari sana kemungkinan-kemungkinan baru selalu ada di depan mata. Ide berasal dari khayalan, dari khayalan itu kita hanya tinggal mengubah menjadi kenyataan. Begitu dengan kesadaran akan sebuah bacaan, dari kesadaraan yang tak disengaja itu akan menjadi suatau kebiasaan dan tak akan ada program khusus yang memaksa seseorang untuk membaca.
Tulisan ini saya buat atas keresahan saya yang selama ini menganggu pikiran. Di tengah program Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah, masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan di bawah sana.
Begitu pula para eksekutor yang harus membiasakan diri sebelum membiasakannya kepada objek penerima. Contoh kecilnya adalah membaca koran yang setiap hari datang ke sekolah agar tidak hanya menjadi tatakan barang di lemari atau menjadi sampah yang tak berguna. [T]