SEBELUM industri pariwisata mengubah mata pencaharian masyarakat Bali secara siginifikan, sebagian besar warga Bali sejatinya berprofesi sebagai petani. Profesi menggeluti tanah yang telah dilakukan selama bertahun-tahun untuk menyangga kehidupan ini tentu tidak menjadikan mereka petani biasa, tetapi petani profesional. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari pustaka-pustaka yang menjadi pegangan para petani.
Pustaka-pustaka seperti Siwagama, Dharma Pamacul, Wariga Krimping, Aji Pari, Usadha Carik, dan yang lainnya sebagai rujukan para petani ketika bercocok tanam menunjukkan bahwa mereka adalah petani yang literat. Maksudnya, petani itu memiliki panduan-panduan teks yang dijadikan penuntun dalam aktivitas bertani. Dalam istilah lain, petani Bali adalah petani yang nyastra. Mereka tak hanya mewariskan pengetahuan pertaniannya secara lisan, tetapi juga secara tertulis sehingga pengetahuan itu bisa ditransmisikan melampaui cengkraman waktu.
Selama ini, petani sering distigmakan dengan pekerjaan yang lebih banyak berhubungan dengan otot. Padahal, petani- petani Bali bekerja dengan landasan sastra yang jelas. Tanpa panduan sastra tersebut, para petani mungkin hanya bisa bekerja keras, tetapi tidak bekerja cerdas. Dengan menggunakan sandaran sastra, kerja keras para petani dilengkapi dengan kerja cerdas. Melalui cara kerja itulah para petani menghasilkan produk-produk pertanian yang berkualitas.
Kualitas produk pertanian yang dihasilkan para petani tidak dapat dilepaskan dari kesungguhan, keuletan, dan kesabaran mereka dalam melakukan Pretiwi Sewana, “pengabdian kepada ibu pertiwi‟. Nyala semangat mereka seperti api pemujaan yang tak pernah padam. Tetesan keringatnya bagaikan tirta penyucian. Ayunan cangkulnya tidak berbeda dengan ayunan genta pendeta. Bija-bija persembahannya adalah biji-biji tumbuhan yang siap ditanam. Bunganya adalah rekah kembang tanaman yang akan menjadi buah. Inilah pemujaan para petani saban hari untuk kehidupan dan kemanusiaan. Maka, di balik sesuap nasi yang kita makan, di sana ada spirit kesabaran para petani yang tak terpisahkan.
Pustaka Nirārtha Prakrĕta secara alegoris menyinggung keteguhan para petani ketika bercocok tanam dengan ungkapan berikut ini.
Byaktekān kakaniścan rusiting twas nghing sudhairya ng manah,
Kadyangganing amet bhinukti mangarĕmbha dhānya sangkeng lĕmah,
lot mritya matĕkĕn paraśraya mijil wwahning tinandurnira,
panggil rakwa samangkanekana ng asādhyāhyun manĕmwang phala
(Nirārtha Prakrĕtha, Wirama I: 8) (Agastia, 2000: 24).
Betapa pun sulitnya mendapatkan tingkat rohani tersebut,
tetapi teguhkanlah hati.
Seperti orang yang mendapatkan makanan dengan menanam padi di tanah,
harus dengan penuh kesabaran,
dengan pertolongan orang lain akhirnya ke luarlah buah dari biji yang pernah ditanamnya.
Seperti itulah kiranya orang yang ingin berhasil.
Keteguhan dan kesabaran memang pantas disematkan kepada para petani. Tanpa etos kerja yang demikian, tidak akan ada hasil panen yang bisa dijadikan sumber pangan. Karena sumber pangan adalah kebutuhan yang paling dasar manusia maka hasil pertanian yang berlimpah pada gilirannya juga menjadi tolak ukur kesejahteraan suatu wilayah.
Pada saat yang bersamaan, hal ini pula yang menjadi parameter kesuksesan seorang pemimpin dalam menatakelola daerahnya. Kakawin Rāmāyana sebagai salah satu sumber literasi kepemimpinan Bali memuat peranan penting petani dalam konteks nasihat Rāma kepada adiknya Baratha di Gunung Citra Kutha. Rāma yang meninggalkan kerajaan untuk memenuhi janji kepada ayahnya, memberikan petuah kepemimpinan kepada Bharata yang akan menjadi raja sementara di kerajaan Ayodya. Rāma menegaskan peranan para petani yang harus diperhatikan dengan serius oleh raja seperti berikut ini.
Ikang thāni prĭtĭnubhaya guṇa ning bhūpati lanā,
ya sangkanyang bhogān hana pakĕna ning rājya ya tuwi,
asing senāluh nyekana ta tulungĕn haywa humĕnĕng.
(Kakawin Rāmāyana, III: 78).
Terjemahan.
Para petani sesungguhnya mengukuhkan wibawa raja.
Merekalah asal adanya pangan untuk kebutuhan rakyat.
Dalam keadaan sulit dan juga senang, tolonglah mereka jangan diam.
Petikan di atas dengan terang memuat peranan petani sebagai pengukuh wibawa raja karena dari merekalah asal adanya pangan untuk kebutuhan rakyat. Tanpa kerja-kerja tulus dari para petani maka rantai makanan akan terputus. Oleh sebab itu, adikawya Kakawin Rāmāyana menyarankan agar raja atau pemimpin senantiasa melindungi para petani dalam keadaan suka dan duka. Raja sebagai pemegang otoritas tertinggi tidak boleh membiarkan para petani ditindih berbagai kesulitan sehingga mengurangi kinerjanya dalam menghasilkan sumber pangan. Raja tak boleh mangkir, apalagi cuci tangan dari berbagai masalah yang dihadapi petani. Sebab, para petanilah yang memegang neraca kesuksesan atau kegagalan seorang raja dalam mengusahakan kesejahteraan rakyatnya.
Peranan vital petani sebagai pemasok kebutuhan pangan itulah yang menyebabkan para intelektual spiritual Bali dalam lintasan sejarah selalu memberikan perhatian terhadap sektor pertanian. Pustaka Bali Tattwa menyatakan bahwa Resi Markandya yang pertama kali mengubah wilayah Bali dari hutan belantara menjadi pemukimam sekitar abad VIII (Wiguna, 2008: 56), juga membangun sistem pertanian di Bali. Pasca mendirikan Kahyangan Tiga, Desa Pakraman, dan Banjar, Resi Markandya selanjutnya membangun sistem persawahan di Bali. Pustaka Bali Tattwa menyatakan sebagai berikut.
Mangkana pratyekaning pura-pura panêmbahan krama deśa, krama bañjar suwang-suwang, kang inaranan Kahyangan Tiga. Mwang ikang wwang kang kinon munggah têdun, kang sinabhara angamong kabrêsihaning Pura suwang inaran Pamangku. Len sangke rika, wruhana muwah, lwir pasamodaya nikang sawah carik, kabeh pinalih-palih juga, dinadyakêna pirang-pirang kumpulan sawah. Pupulanya ika, agung alit, inaranan Subak. liana mangaran subak iki, subak ika, anùt arti sowangsowang. Mwah sapalihan subak kang Agêng inaranan munduk munduk anu munduk anu,
Terjemahan.
“Demikian beberapa macam pura sebagai tempat berdoa warga desa, warga bañjar masing-masing, yang dinamakan Kahyangan Tiga. Dan warga yang disuruh naik turun, yang dibebankan tanggung jawab menjaga kebersihan Pura masing-masing dinamai Pamangku. Lain dari itu, hendaknya diketahui lagi, macam perkumpulan untuk persawahan, seluruhnya dibagi-bagi juga, dijadikannya beberapa perkumpulan sawah. Kumpulannya itu, besar kecil, dinamakan Subak. Lainnya bernama subak ini, subak itu, menurut artinya masing-masing. Dan pembagian subak yang lebih besar dinamakan munduk, munduk ini, munduk itu,”
Berdasarkan petikan di atas, dapat diketahui bahwa Resi Markandya tidak hanya membangun benteng pertahanan sosial dan rohani, tetapi juga benteng pertahanan pangan melalui terbentuknya subak-subak di Bali. Jika Resi Markandya disepakati sebagai figur yang pertama kali meletakkan peradaban Bali, pertanian adalah salah satu pilar penyangganya yang paling mendasar. Tanpa ketercukupan pangan, sekuat apa pun sandaran peradaban sebagai bentuk terhalus dari budaya akan roboh dengan sendirinya. Sebab, pertanian adalah ibu dan pengayom semua budaya lainnya. Manakala pertanian berjalan dengan baik, seantero budaya lainnya akan raharja. Manakala ia ditelantarkan maka semua budaya lainnya juga akan rusak (Suprapta, 2008; dalam Sulibra, 2017: 51).
Dalam periodisasi selanjutnya, sekitar abad XIV Mpu Kuturan yang datang ke Bali juga memberikan pembobotan terhadap sistem pertanian di Bali. Melalui pustaka Dharma Pamacul yang memuat otoritas ajaran Mpu Kuturan, disebutkan bahwa beliaulah figur di balik tatanan para dewata yang berstana di berbagai tempat di Bali. Di samping menata sistem keagamaan, Mpu Kuturan juga diyakini sebagai pendeta yang memberi pembobotan terhadap aspek ritual pertanian di Bali. Hal itu dapat dilihat dalam penjelasan pustaka Dharma Pamacul berikut ini.
Nihan prateka bhatarane ring Bali, nga, kaunggwan de nira Sang Mpu Kuturan, bhiniseka ring Majapahit, kagawa maring Bali, unggwan Bhatara kabeh, Bhatara ring Basukih, Batumadĕg. (Dharma Pamacul, 1 b; Tim Penyusun, 2007: 5).
Terjemahan.
Inilah uraian Bhatara di Bali yang distanakan oleh Mpu Kuturan, disesuaikan dengan keadaan di Majapahit, diterapkan juga di Bali seluruh tempat Bhatara, Bhatara di Basukih, Batumadeg.
Petikan di atas menunjukkan tatanan parhyangan yang diterapkan oleh Mpu Kuturan di Bali sesuai dengan yang pernah berlaku di Majapahit. Setelah menjelaskan stana para dewata itu, pustaka Dharma Pamacul menguraikan penyambutan Sang Hyang Baka Bumi sebagai jiwa hidup sawah (mangraksa uriping sawah) yang berstana di Ulun Suwi. Sarana untuk menyambut beliau untuk memberikan anugerah berupa kesuburan adalah upacara seperti kerbau hitam, setiap bulan Oktober disertai babi guling, pebangkit, suci, parencah babi, yang diolah dengan lengkap.
Aturang ring Gunung Agung, bras acatu, daksina 2, bebek 2, pada putih, jinah katur ring Gunung Agung 281. Ring Dewi Danu ring Batur, aturang bebek 2, pada petak, daksina 2, beras acatu, ketan acatu, raka den agĕnĕp, lawe 2, jinah aturan 222. Mĕtu tirta ring Batur, mwang ring Pĕngubĕngan, ring Wulun Swi…[Dharma Pamacul, 2a]
Terjemahan.
Haturkanlah di Gunung Agung beras satu catu, daksina 2, bebek berkaki putih 2, uang dihaturkan di Gunung Agung sejumlah 281. Kepada Dewi Danu di Batur haturkan bebek berkaki putih 2, daksina2, beras satu catu, ketan satu catu, buah-buahan sebagai sarana sesajen selengkapnya, benang 2 helai, dan uang sebanyak 222. Muncullah tirta di Batur dan di Pengubengan, di Ulun Sui.
Pustaka yang konon mengadopsi tata cara penyambutan air di Majapahit tersebut dengan jelas memuat kearifan lokal masyarakat Bali dalam memuliakan air sebagai bagian utama dari sistem pertanian di Bali. Itulah yang dilakukan Mpu Kuturan agar sistem pertanian di Bali dapat menghasilkan pangan yang berlimpah. Dengan demikian, tidak jauh berbeda dengan kekaryaan Resi Markandya, seorang Mpu Kuturan juga melakukan penataan terhadap basis pertanian di Bali.
Dalam arus waktu selanjutnya, pada era kedatangan Dang Hyang Nirartha dan putra-putranya ke Bali sekitar abad XV pertanian juga mendapatkan perhatian. Putra Dang Hyang Nirartha yang bergelar Ida Padanda Sakti Manuabha yang tinggal di daerah Manuaba, Gianyar di samping melakoni dunia kependetaan juga menekuni dunia pertanian. Babad Dalem menjelaskan keunggulan Ida Padanda Sakti Manuaba sebagai pendeta yang menguasai berbagai kesaktian sekaligus juga pertanian. Ketika Gusti Pande Basa diserang oleh Dalem Bekung, beliau sudah bisa membajak sawah (mananggala).
Nguni Ida Manuabha, duk I Gusti Pande rinĕjĕk olih I Dewa Bĕkung, ida sampun bisa mananggala (Putra Agung, 1987: 1988).
Terjemahan.
Dahulu, Ida Manuaba pada saat I Gusti Pande diserang oleh I Dewa Bekung, beliau sudah bisa membajak.
Ida Padanda Sakti Manuaba di samping menguasai berbagai pengetahuan kerohanian, juga menekuni sektor pertanian. Dengan menekuni dunia pertanian, beliau menjadi pendeta yang memiliki kemandirian pangan. Dalam artian tidak perlu bergantung dari pemberian raja. Oleh sebab itu, beliau tidak begitu banyak terikat pada lokika cara atau kepentingan dunia.
Pada akhir abad XX, seorang pendeta bernama Ida Padanda Made Sidemen sampai pada spirit esensial pertanian yang tidak hanya dilakukan di luar diri, tetapi di dalam diri. Dalam Geguritan Salampah Laku, Ida Padanda Made Sidemen menyatakan bahwa apabila seseorang tidak memiliki lahan sawah untuk digarap sebagai penyambung hidup. Seseorang bisa mengolah “sawah dirinya” untuk ditanami berbagai pengetahuan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di desa- desa. Ida Padanda Made Sidemen menyatakan sebagai berikut.
Idĕp bĕline mangkin, makinkin mayasa lacur, tong ngĕlah karang sawah, karang awake tandurin, guna dusun, ne kanggo ring desa-desa (Geguritan Salampah Laku, Puh Sinom: 11).
Terjemahan.
Keinginanku saat ini, bersiap-siap menjadikan kemiskinan sebagai tapa, sebab tak memiliki lahan sawah, lahan dirilah yang ditanami, pengetahuan dusun, yang digunakan di desa-desa.
Petikan Geguritan Salampah Laku di atas menjadikan interioritas diri sebagai ruang pertanian. Jika lahan dan sawah di luar diri ditanami padi dan berbagai jenis tumbuhan lainnya, lahan dan sawah di dalam diri mesti ditanami berbagai benih pengetahuan. Pengetahuan yang dibajak, ditanam, dipupuk, dan dirawat di dalam diri pada gilirannya juga akan menjadi pangupa jiwa atau penyambung hidup bagi penekunnya. Ungkapan “karang awake tandurin” yang disampaikan oleh Ida Padanda Made Sidemen benar-benar mengambil etos kerja para petani.
Demikianlah perhatian yang diberikan para intelektual dan spiritual Bali sepanjang waktu untuk melakukan pembobotan terhadap sektor pertanian di Bali. Hasil menggeluti pertiwi sepanjang hari inilah yang menyebabkan masyarakat Bali hari ini memiliki warisan naskah lontar tentang pertanian. Naskah-naskah lontar yang mewacanakan pertanian sebagai sari-sari pengalaman para leluhur ini sangat penting untuk dijadikan basis literasi oleh masyarakat Bali saat yang menghadapi berbagai tantangan zaman. Warisan literasi pertanian yang ada dalam naskah lontar Bali ini menjadikan sistem pertanian Bali berbeda sekaligus memiliki keunggulan dibandingkan yang lainnya. [T]
Klik untuk BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA