MALAM itu, tiba-tiba Bude (Ibu Gede = panggilan ibu-ibu di Solo yang bukan ibu kandung) menanyakan kabar lewat pesan singkat WhatsApp. “(Pie) Kabare le? Ramadhan di mana?” (Bagaimana) kabarnya, Nak? (Bulan) Ramadhan di mana?). Membaca notifikasi di handphone, kaget sekaligus senang.
Bude chat WhatsApp menanyakan kabar, menganggapku seperti anak sendiri. Wah, keterlaluan sekali ini, tidak berkabar dengan Bude, sampai ditanya kabar terlebih dahulu, pikirku. Terhitung sudah memasuki bulan ketiga aku meninggalkan kota Solo untuk berpindah domisili di Jakarta. Penasaran dengan kabar Bude, akhirnya kutelepon Bude.
Dengan nada keibuan dan bahasa yang halus khas orang Solo, Bude membalas salam dan menanyakan kabar. Aku jawab dengan kalimat baik dan sehat sembari senyum nyengir kalau sedang tidak punya uang. Bergantian dengan Bude, aku tanyakan kabarnya. Bude hanya menjawab sedang menikmati kemalasan—malas semalas-malasnya malas—sambil tertawa.
Bude bercerita, ada beberapa permintaan pembuatan baju, tapi Bude belum membuatnya. Biasanya, pelanggan adalah raja, tapi berbeda dengan Bude, Bude adalah raja. Bude akan mengerjakan setelah disesuaikan dengan jadwal kegiatan atau mendekati waktu kesepakatan. Jika Bude sedang ada jadwal kegiatan dan malas mengerjakan, pesanan baju tidak dikerjakan. Syukurnya, kebanyakan adalah pelanggan lama Bude dan sudah memahami karakternya.
Bude sekarang sudah punya cucu tiga, usianya tidak lagi muda. Aktivitasnya menjahit (jika ada pelanggan), jika tidak ada garapan Bude seringkali bilang, “pekerjaan Bude adalah pengacara, pengangguran banyak acara”. Bude banyak dikenal di beberapa komunitas dan teman-temannya sebagai aktivis sosial sejak muda.
Di usianya yang lebih dari setengah abad, Bude masih berkegiatan untuk menghadiri atau menjabat di posisi strategis lintas komunitas. Semalas-malasnya Bude, untuk urusan kegiatan sosial tidak ingin ia melewatkan. Dengan aktivitas Bude yang cukup tinggi, kehadiran Bude dan handphone sebagai sarana penghubung komunikasi sama-sama penting.
Melalui saluran telepon, Bude bercerita, baru dua hari ini pegang handphone. Sebelumnya, selama dua pekan tidak pegang, dikarenakan rusak dan tidak bisa digunakan. Bude secara personal tidak masalah jika tidak menggunakan handphone.
Namun, komunitas dan teman-temannya seringkali menanyakan keberadaan Bude. Dampak dari Bude yang tidak pegang handphone, beberapa informasi terhambat. Alhasil, Bude berinisiatif untuk meminjam uang untuk beli handphone ke anaknya.
Namun, karena keadaan yang belum stabil, anaknya tidak bisa memenuhi permintaan itu. Bude berusaha untuk hutang, namun tak kunjung mendapatkan orang yang mau memberinya pinjaman. Bude tidak terlalu cemas, jalan terakhir yang Bude punya adalah meminta langsung ke Tuhan. Prinsip Bude, pokoknya minta aja dulu ke Tuhan, soal nanti terwujud atau tidak, urusan belakangan.
Tidak lama berselang, saat Bude mengikuti kegiatan rutin yang diadakan komunitas, ketua komunitas menanyakan kabar Bude dan mengonfirmasi ada apa gerangan Bude sulit untuk dikabari. Bude bercerita alasan yang dialami dirinya. Perasaan iba dan sedikit kalimat penenang, ketua komunitas akan mengupayakan membantu.
Dia bercerita, kalau anaknya baru saja beli handphone baru meskipun handphone yang dimilikinya tidak rusak. Anaknya ingin ganti handphone dengan spesifikasi yang lebih baik. Ketua komunitas, berinisiatif meminta handphone lama anaknya yang tidak digunakan untuk diberikan ke Bude, tapi tidak ada jaminan, karena ketua organisasi perlu meminta izin kepada anaknya.
Tuhan kabulkan doa Bude. Tanpa disadari, ini adalah awal Bude punya handphone “baru'”—meski bukan baru dalam arti yang sebenarnya. Keesokan harinya, Bude diberi kabar lewat adiknya, untuk mengambil handphone yang pernah disampaikan Ketua komunitas.
Dengan hati senang, Bude bergegas mengambil handphone yang dijanjikan tersebut. Bude mengucapkan terima kepada Ketua komunitas dan rasa syukur yang tak terkira kepada Tuhan yang maha mengabulkan doa.
Pertama, Bude tidak jadi membebani anaknya untuk membelikan Handphone, terlebih Bude tahu betul bagaimana kebutuhan mendasar dan mendesak yang sedang dipikirkan oleh anaknya.
Kedua, Bude tidak dibebani hutang, jika saat itu Bude dimudahkan bertemu orang yang memberi pinjaman. Tidak terbayang, mungkin hari ini Bude sedang berpikir untuk melunasi hutang dan tidak bisa bermalas-malasan seperti yang Bude sampaikan.
Diujung percakapan, Bude mengingatkan. Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan sesekali menabur angin jika tidak mau menuai badai. Jaga sikap untuk selalu berbuat baik dan senantiasa bersyukur.
Yakinlah, bahwa setiap permasalahan akan selesai, dengan atau tidaknya dirimu terlibat. Tenang saja, jika dirimu masih bertuhan, dirimu tidak akan sendirian. Tuhan selalu bersamamu dan pertolongan Tuhan sangatlah dekat.
Bude sebagai orang tua asuh selalu hadir disaat “anaknya” merasakan kebimbangan dalam menjalankan peran kehidupan. Karakter dan kiprah yang dimilikinya memberikan banyak keteladanan untukku selama hidup merantau di Solo.
Setelah banyak berpesan, sebelum ditutup teleponnya, ku-screenshot untuk dibuat status di WhatsApp dengan caption: “Terimakasih Bude, semoga sehat selalu dan tetap bermanfaat. Selamat Hari Perempuan Internasional”.[T]