WAKTU untuk sebagian orang memiliki arti yang begitu penting. Jika ada pepatah mengatakan time flies like an arrow, maka tepat kiranya bila orang semestinya menghargai waktu. Namun ternyata waktu tidak sekadar hitungan detik, menit, jam, dan hari. Waktu memiliki makna bagaimana seseorang atau masyarakat berkomunikasi.
Kajian tentang pemanfaatan waktu biasa disebut dengan kronemik (chronemic). Waktu juga bukan sekadar arloji di tangan atau jam di dinding. Pemanfaatan waktu berkaitan dengan kehidupan biologis, sosial, psikologis, dan budaya suatu masyarakat. Tidak heran jika ada masyarakat suatu negara yang begitu memandang penting pemanfaatan waktu. Namun ada pula yang abai terhadap waktu.
Jauh sebelum masyarakat mengenal jam seperti sekarang, penggunaan waktu untuk berkomunikasi disesuaikan dengan tanda-tanda alam. Jika matahari mulai terbit, orang menyebutnya dini hari. Ketika matahari berada di atas kepala disebut tengah hari. Ada waktu yang disebut senja kala, yaitu saat matahari akan tenggelam. Malam hari ditandai dengan munculnya bintang dan rembulan.
Itulah kronemik sebelum teknologi jam digunakan. Karenanya pemanfaatan waktu berkomunikasi atas dasar pertanda alam tidak memiliki kepastian akurasinya. Masyarakat pun menggunakan kata “sekitar” atau “kira-kira” untuk menggambarkan waktu.
Kronemik menjadi penting dalam kajian komunikasi. Termasuk ke dalam bentuk komunikasi nonverbal, kronemik akan berpengaruh terhadap kualitas dan gaya komunikasi suatu masyarakat. Dengan pemahaman kronemik, orang dapat memaklumi pemanfaatan waktu dari orang lain yang berbeda negara maupun budaya.
Macam Kronemik
Pemanfaatan waktu dapat berbeda antara satu orang dengan yang lain berdasarkan latar belakang suku, bangsa, budaya, agama, usia, dan jenis kelamin. Perbedaan itu kemudian melahirkan bermacam waktu, seperti waktu biologis, sosiologis, psikologis, dan waktu kultural.
Waktu biologis berkaitan dengan bioritme kehidupan manusia, seperti makan, minum, tidur, dan prokreasi. Waktu jenis ini akan berpengaruh terhadap pola komunikasi orang dengan beragam latar belakangnya. Waktu yang dimanfaatkan untuk bekerja, makan, dan tidur seorang petani akan berbeda dengan buruh pabrik maupun pegawai negeri. Begitu pula waktu biologis antara laki-laki dan perempuan tentu saja berbeda, karena perempuan memiliki siklus waktu bulanan untuk menstruasi.
Waktu sosiologis berhubungan dengan aktivitas seseorang dalam kehidupan sosialnya. Setiap masyarakat memiliki waktu sosiologis yang dimanfaatkan warganya untuk saling berkomunikasi. Dalam masyarakat tradisional, kerja bakti menjadi bagian dari waktu sosiologis. Sedangkan dalam masyarakat modern, waktu ini ada dalam kegiatan semacam clubbing.
Kondisi kejiwaan seseorang merujuk pada waktu psikologis. Suasana suka maupun duka akan berdampak pada komunikasi yang dilakukan seseorang. Prosesi pemakaman kematian adalah waktu psikologis bagi seseorang; sehingga orang lain harus menyesuaikan gaya komunikasinya dengan situasi berkabung.
Sedangkan “tanggal muda” adalah waktu psikologis bagi orang yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Perjalanan ke suatu tempat yang dirindukan orang biasanya terasa lama, karena orang berada di waktu psikologis.
Waktu kultural adalah pemanfatan waktu oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan ritual maupun tradisi. Masyarakat Indonesia memiliki waktu kultural seperti Sedekah Laut di sebagian besar masyarakat Pantai Selatan Jawa, Seren Taun pada masyarakat Sunda, upacara Melasti di Bali, dan tradisi Bakar Batu di masyarakat Papua.
Pelaksanaan tradisi-tradisi itu tak selalu sama waktu dan tanggalnya dalam kalender masehi. Mengapa? Karena yang digunakan adalah waktu kultural. Selalu lentur dalam pemanfaatannya, lantaran bergantung pada kesepakatan masyarakat.
Filosofi Waktu
Secara kultural masyarakat Indonesia memiliki Primbon yang kerap menjadi referensi penghitungan waktu bagi ritual atau tradisi. Primbon merupakan sejenis kitab atau buku berisi ramalan serta hari-hari yang dianggap baik untuk melakukan kegiatan. Masyarakat Bali menyebutnya sebagai Dewasa Ayu, yaitu hari baik untuk melaksanakan upacara adat, pertanian, maupun kegiatan lain.
Waktu budaya biasanya berkaitan dengan nilai dan filosofi yang dianut suatu masyarakat. Sebagaimana dengan bentuk budaya lain, waktu kultural bersifat dinamis. Ketiika terjadi perubahan nilai dan filosofi masyarakat, maka orientasi budaya terhadap waktu pun berubah.
Kaitan waktu dengan nilai dan filosofi masyarakat telah lama diteliti. LeVine dan Bartlett (dalam DeVito, 1997) melakukan studi tentang pemanfaatan waktu dan cara berjalan masyarakat di suatu negara. Eksperimen dilakukan dengan mengukur akurasi jam dan kecepatan berjalan orang dari berbagai negara di dunia.
Hasilnya, jam di Jepang adalah paling akurat di antara jam orang-orang di dunia. Sedangkan jam di Indonesia paling tidak akurat. Mengapa bisa diperoleh data yang sangat jauh berbeda antara Jepang dan Indonesia? Nilai dan filosofi masyarakatlah yang menentukan. Orang Jepang memandang tepat waktu sebagai pertanda sopan santun.
Sementara di Indonesia mengenal “jam karet” yang menjadi kebiasaan dalam berkegiatan. Maka jangan heran bila acara semacam seminar di kampus bisa terlambat sampai satu jam dari jadwal yang ditetapkan. Alasannya kadang sangat tidak rasional; menunggu pejabat kampus yang akan membuka acara dan melakukan pemukulan gong sebagai tanda acara dimulai.
Eksperimen selanjutnya dilakukan terhadap cara berjalan orang-orang di dunia. Hasilnya, lagi-lagi orang Jepang paling cepat berjalan. Dan lagi-lagi pula, orang Indonesia paling lambat berjalan. Sama dengan pemanfaatan waktu, cara berjalan juga berhubungan dengan nilai dan filosofi masyarakatnya.
Orang Jepang memiliki budaya Kaizen, yang berisi nilai dan filosofi berkaitan dengan produktivitas, efektivitas, dan efisiensi. Budaya Kaizen memacu orang Jepang untuk selalu melakukan perubahan, disiplin, dan tepat waktu.
Sebaliknya, orang Indonesia mengenal prinsip seperti dianut masyarakat Jawa, alon-alon waton kelakon, gremet-gremet waton selamet; yang berarti pelan-pelan asalkan sampai dan terlaksana, serta tak perlu tergesa-gesa yang penting selamat. Grasa-grusu atau terburu-buru tidak dianjurkan bagi orang Indonesia. Satu prinsip yang akan kontradiksi dengan semangat perubahan secara cepat.
Sepertinya diperlukan reorientasi dan rekonstruksi nilai, tradisi, dan filosofi yang menghambat perubahan demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Revolusi mental yang pernah digagas Presiden Soekarno dan digaungkan kembali oleh Presiden Jokowi mestinya mengarah kepada perubahan nilai dan filosofi yang tidak lagi adaptif terhadap kemajuan.
Saatnya bangsa Indonesia menatap masa depan, kronemik yang akan datang. Tidak terjebak pada nostalgia yang sarat dengan filosofi pemanfaatan waktu yang tidak mendukung produktivitas, efektivitas, dan efisiensi. [T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU