Aksara Bali di runag publik selalu berkembang sesuai dengan bahasa itu sendiri.
“Misalnya, menulis aksara Bali di ruang ruang public, sebelum Gubernur Koster, bahasa Bali itu bisa di tulis di bawah hurut latin atau bisa di atas hurut latin tergantung ranahnya. Selanjutnya Wayan Koster membuat Pergub bahwa aksara Bali itu mesti ditaruh di atas hurup latin,” kata dosen Universitas Udayana, Drs. I Gde Nala Antara, M.Hum.
Nala mengatakan hal itu dalam program Kriyaloka (Workshop) bertajuk “Panglimbak miwah Pamaripurna Pasang Aksara Bali” serangkaian acara Bulan Bahasa Bali (BBB) VI di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Rabu (21/2/2024).
Menurut Nala Antara, semua nama yang ada di ruang public, seperti nama kantor, jalan, sekolah, dan sebagainya itu ditulis dengan aksara Bali diatas hurup latin. Maka itu, ejakaan yang sebelumnya harus berubah untuk mengikuti aturan yang baru itu.
“Arinya, jangan sampai alergi terhadap perubahan ejaan, karena perubahan ejaan itu terjadi dinamis sesuai dengan perkembangan masanya. Dari sebelum 1957 sampai sekarang ini, sudah sekitar 5 kali perubahan itu terjadi. Setiap perubahan itu, tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, melainkan harus melalui kesepakatan bersama melalui kongres atau pesamuhan agung atau pesamuhan alit,” tegasnya.
Penulisan akasara Bali di ruang publik selalu berkembang. Dulu, ada pasang jajar yang mepalas palas, boleh juga mesambung terus atau boleh kombinasi. Tetapi, sekarang sudah pasti. Kalau menulis di ruang publik harus pasang jajar palas. Itu aturan yang disepakati untuk menulis aksara Bali di ruang publik dalam pesamuhan agung Bali dan pesamuhan alit yang terakhir.
“Pasang jajar palas itu, misal Dinas lalu ada adeg adeg, kebersihan ada adeh-adeg, lingkungan ada adek adeg. Tiap kata itu boleh melakukan adeg adeg. Kalau jajar sambung itu nyambung terus seperti menulis dalam lontar,” paparnya.
Hal itu disepakati pada pesamuhan alit tahun 2019, tetapi dimulai berlaku sejak tahun 2023. Begitu perkembangannya, tidak lagi bisa palas dan nyambung.
“Pasang jajar palas ini, secara komunikasi visual ketika orang membaca akan cepat melihat. Anak-anak juga lebih cepat membacanya ataupun bisa secara komuniaski visual mata lebih cepat menangkap, dan untuk mengenalkan aksara Bali pada orang lain, bahwa bahasa Bali sebagai pusat warisan pariwisata budaya,” ujarnya.
Pasang jajar palas itu sesungguhnya sudah ada sejak dulu, ketika anak-anak mulai membaca dan menulis aksara Bali. Kalau menulis di lontar, tetap mesambung-sambung. Ini hanya untuk di ruang publik, seperti papan nama jalan, kantor, kop surat, bama sekolah dan lainnya.
“Itu penting sehingga guru dan penyuluh bisa menyebarkan kepada muridnya bahwa inilah perkembangannya.
Tujuannya adalah penyeragaman, sehingga bersama-sama menulis dengan baik dan benar. Tak bisa dibikin sendiri-sendiri namun secara bersama. Pemerintah yang bertanggung jawab membuat regulasi itu, lalu para ahli bahasa dan ahli aksara mengubah hal itu sesuai perkembangan jaman, dan tidak melanggar pakem-pakem aksara Bali yang ada.
“Ini bukan saya, melainkan hasil kongres pesamuhan bersama. dalam pesamuhan itu, pasti didiskusikan dengan mendalam,” paparnya.
Tonggak penting pasang aksara Bali itu pada tahun 1957, pada saat diadakannya pesamuan agung bahasa Bali pertama. Pada tahun itu pesamuahn pertama yang mambahas tentang aksara Bali. Sebelum 1957 itu, mengunakan ejaan purwa dresta, sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan lama.
Pada 1963 ada perbaikan lagi, kemudian 1996 jaman Gubernur Dewa Berata pasang aksara Bali ada di atas dan ada di bawah.
Lalu, pada 1998 juga ada pesamuhan agung, dan setelah pesamuahan alit tahun 2019 khusus membahas Pergud Gubernur Koster saat itu menulis aksaa Bali di ruang publik mesti di atas bahasa latin. [T][Ado]