DI TERAS rumah yang sekaligus ruang kerjanya, terdapat sebuah mesin jahit berwarna putih, lemari cukup besar, sebuah sofa tua tanpa meja, dan beberapa ornamen penghias yang diletakkan di samping pintu. Di dinding belakang mesin jahit, plang kecil tertera nama usaha tercantol begitu saja. Sedang pohon-pohon dan tanaman hias, subur di samping kendaraan diparkirkan.
Tak seperti umumnya tempat produksi kerajinan tangan, rumah itu jauh dari kata berantakan. Tak ada sisa potongan kain, tak ada benang kusut, tak ada benda-benda serupa berserakan di mana-mana. Bukan karena sedang macet produksi, tapi benda-benda yang disebutkan, memang berada di tempatnya masing-masing. Sungguh terlalu rapi untuk disebut rumah produksi. Tetapi barangkali wajar, sebab selain sebagai rumah usaha, itu juga sekaligus tempat tinggalnya.
Dina Widiawan tidak sedang menjahit saat tatkala.co berkunjung ke kediamannya—yang juga sekaligus laboratoriumnya dalam berinovasi dan berkreasi selama ini. Entah karena sudah menyelesaikan pekerjaan, atau sengaja menundanya sebab sudah kadung janjian, ia tak mengatakan alasannya. Yang jelas, ia begitu bersemangat saat menceritakan perjalanannya dalam merintis usaha.
“Saya belajar menjahit itu tahun 2018,” ujarnya memulai obrolan. Perempuan bernama lengkap Luh Putu Dina Febriana Dewi itu mengaku tak pernah bersentuhan atau bersinggungan dengan dunia jahit-menjahit sebelumnya. Ia sangat awam dengan itu.
Bahkan, saat suaminya membelikannya sebuah mesin jahit, alih-alih tahu produk apa yang hendak dibuat, ia masih sibuk dengan tutorial bagaimana menyalakan, mengoprsikan, dan mematikan mesin jahitnya. “Beruntungnya ada YouTube,” katanya sembari menertawakan diri sendiri.
Topi kain pewarna alami produksi Din’z Handmade / Foto: Dok. Din’z Handmade
Tetapi, setahun setelah menguasai mesin jahit, dan saat karya pertamanya terjual tanpa sengaja melalui postingan di media sosial, Dina, dengan segenap keberanian dan keyakinan, memutuskan mendirikan usaha kerajinan tangan dengan nama “Din’z Handmade”—sebuah usaha kerajinan pembuatan tas, topi, dan aksesoris lainnya dengan bahan kain pewarna alami yang ramah lingkungan.
“Sebelum menggunakan kain pewarna alami, saya menggunakan kain perca endek, yang saya ambil dari Kalianget itu. Tapi karena sudah banyak yang menggunakannya, saya beralih ke kain pewarna alam,” katanya.
Saat ini, setelah bertemu dan berbincang dengan Made Andika Putra, pemilik usaha Pagi Motley—usaha yang bergerak dalam bidang pewarnaan alam yang meliputi jasa pencelupan (kulit, kain, agel, kayu), tenun, desain interior, workshop warna natural, dan desain pakaian itu—nyaris semua produk Din’z Handmade sudah menggunakan kain dengan warna alami. Menurutnya, selain ramah lingkungan, ini juga yang membedakan produknya dengan produk lainnya.
“Akhirnya ini menjadi semacam ciri khas, yang tak semua produk memilikinya. Dan ternyata semakin banyak orang yang berminat,” ujarnya dengan bangga.
Benar. Dalam dunia bisnis, cara berpikir seperti itu seolah memang harus dimiliki setiap pelaku usaha. Berbeda dari yang lain adalah nilai tambah suatu produk. Buat apa memproduksi barang tanpa memiliki keunggulan, keistimewaan, dan keotentikan. Bukankah barang yang sama dan serupa akan lebih sulit dipasarkan?
Perempuan kelahiran 14 Februari 1977 itu, kini dikenal sebagai seorang desainer dan pengusaha. Ia mendirikan Din’z Handmade tepat di tanggal kelahirannya, semacam hadiah ulang tahunnya yang ke-42, setahun sebelum pandemi Covid-19 meluluh-lantahkan dunia. Logo dan merek Din’z Handmade sudah memiliki hak paten dan berbadan usaha.
Selama mendirikan usaha, Dina Widiawan pernah menjadi semifinalis Femina Woman Enterpreneur 2021. Di tahun yang sama, ia juga menempati podium semifinalis Program Widuri Bali-Nusra Kemenparekraft. Dan pada 2023, Dina mendapat dua penghargaan sekaligus, yakni UMKM Bank Indonesia (BI) terbaik di bidang kriya dan UMKM Unggulan Buleleng dalam kegiatan Gema UMKM Buleleng. Dan terkait ngajar-mengajar, sudah dua tahun Dina Widiawan mengikuti program merdeka belajar. Ia mengajar di Universitas Udayana dan Universitas Pendidikan Ganesha, Bali.
***
Pada tahun 2000, setelah menamatkan pendidikan S-1 di STIE Malangkucecwara di Malang, Jawa Timur, Dina bekerja di Bank Central Asia (BCA) sebagai seorang akuntan. Hingga 2015, ia memutuskan berhenti bekerja di BCA dan merintis usaha pembuatan abon ikan asin (abon sudang), sudang lepet, dan sambal embe dalam kemasan.
Usaha abonnya ini sebenarnya cukup lanjar, bahkan sudah menembus pasar luar kota seperti Jakarta, Surabaya, dll, dan luar negeri dari Asia Tenggara (Malaysia), Australia, Eropa (Inggris, Kanada, Belgia), sampai Amerika. Namun, pada 2019, Dina terpaksa menghentikannya sebab kelangkaan bahan baku. Bahan berupa ikan asin itu ia datangkan dari Kangean, Madura.
Setahun sebelum menutup usaha abonnya, Dina mulai tertarik dengan keterampilan baru: menjahit. Ketertarikannya dengan mesin jahit terpantik saat ia berkunjung ke seorang teman di Desa Pemaron. Kebetulan, saat itu, di sana sedang berlangsung pelatihan menjahit untuk ibu-ibu PKK. Ia tak ikut pelatihan, hanya melihat dan memperhatikan. Lalu terbit ketertarikan. Dari sana lah, jika bisa dibilang begitu, Dina mulai meletakkan bata pertama dalam membangun usaha kerajinan tangannya.
Tas kain pewarna alami produksi Din’z Handmade / Foto: Dok. Din’z Handmade
Dina sosok perempuan paruh baya yang tangguh, ulet, konsisten, dan haus pengetahuan. Pepatah “mengukir di atas air” seperti tak berlaku padanya. Nyatanya, meski belajar menjahit di masa dewasa, ia tetap dapat mendirikan usaha dan mengembangkannya.
“Awalnya saya mencoba membuat tas-tas kecil, biasanya dipakai untuk menyimpan perhiasan. Itu saya buat dari kain-kain perca yang sudah tidak terpakai,” katanya.
Mengenai pemanfaatan kain perca, ia merasa prihatin saat berkunjung ke sentra tenun endek di Desa Kalianget. Di sana, katanya, potongan-potongan kain sisa dibuang begitu saja. “Kadang dipakai lap juga,” sambungnya. Meski merasa sayang, saat itu ia belum bisa berbuat apa-apa. Namun, setelah bisa menjahit, seperti mendapat wahyu, Dina memungut dan menjadikannya sebagai produk dengan nilai jual yang lumayan tinggi.
Pada awal pendirian usaha kerajinan tangannya, Dina sanggup mengerjakan semuanya sendiri. Dari mulai mendesain, menjahit, sampai memasarkannya—bahkan ia membangun jaringan usahanya sendiri. Tetapi, meski pemasaran masih ditanggani sendiri, sejak banyaknya pesanan, ia meminta empat orang perempuan untuk membantunya dalam hal produksi.
“Mereka membantu saya menjahit, bisa bekerja dari rumah,” tuturnya. Soal pembayarannya bagaimana? “Saya bayar per produk. Jadi semakin banyak mereka menjahit produk, semakin banyak pula mendapat imbalan,” jawabnya.
Din’z Handmade, sebagaimana telah disebutkan di atas, memproduksi dompet, tas, topi, dan aksesoris lain sesuai pesanan. Tetapi, dari semua produk yang telah disebutkan, produk berupa tas lah yang paling banyak dihasilkan. “Sebulan saya sendiri bisa memproduksi 50 pcs produk. Kalau dibantu bisa lebih dari itu,” tuturnya.
Pada tahun 2021, Din’z Handmade terpilih menjadi usaha mitra binaan Bank Indonesia (BI). Sejak tahun 2015, sebagai Bank Sentral, BI memang berupaya memberikan kontribusi terbaik untuk meningkatkan peran UMKM dalam perekonomian. Pengembangan UMKM yang dilakukan diselaraskan dengan bidang tugas Bank Indonesia dan sejalan dengan visi, misi, dan program strategisnya.
Sehingga, program tersebut difokuskan untuk mendukung upaya pengendalian inflasi, khususnya inflasi volatile food, yang dilakukan dari sisi suplai; mendorong UMKM potensi ekspor dan pendukung pariwisata untuk mendukung upaya penurunan defisit transaksi berjalan; dan meningkatkan akses keuangan UMKM untuk mendukung stabilitas sistem keuangan.
Topi kain pewarna alami produksi Din’z Handmade / Foto: Dok. Din’z Handmade
“BI lebih banyak memberikan saya pelatihan, akses pemasaran seperti pameran, akses bahan baku, peralatan, dan sebagainya. Kami juga diberi akses permodalan ke bank-bank, dan itu sangat membantu,” ujar Dina.
Bermacam-macam bentuk tas dengan motif yang sederhana telah diproduksi dan dipasarkan. Pembelinya datang dari kalangan kelas menengah ke atas. Dari pengusaha, instansi negara, artis, sampai orang-orang mancanegara.
Selain memasarkan produknya di berbagai pameran, selama ini Dina juga menawarkannya secara online di media sosial, seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Ia mendaftarkan Din’z Handmade di marketplace, seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, tapi tak cukup menarik banyak pembeli. Dina juga belum terpikirkan untuk membangun toko offline, fisik. Sebab, menurutnya, mendirikan toko di Buleleng hanya membuang-buang biaya saja.
“Siapa yang bakal masuk kalau bikin toko di Buleleng,” katanya sembari tertawa. Meski begitu, pada 2022-2023, ia pernah mencoba konsinyasi dengan pihak pusat perbelanjaan di Jakarta, Sarinah, untuk memasarkan produknya.
Karena menjadi tenaga pengajar di Pendopo Alam Sutera, Dina juga menitipkan barangnya di sana. Selain itu, beberapa produk ia titipkan di salah satu toko di New York dan Australia. “Yang di Sarinah tidak lanjut, karena keterbatasan modal,” ujarnya. “Jadi, selama ini, selain pameran, media sosial sangat efektif,” sambungnya.
***
Namun, meski demikian, selama menjalankan usaha, kendala pasti ada. Dina mengatakan, selama ini, selain permodalan, kendala yang paling dirasakannya adalah SDM, bahan baku, dan stereotip yang melekat pada produk lokal.
“Di Buleleng belum ada yang menyediakan bahan baku dan printilan-printilan lainnya. Tapi beruntung ada online shop seperti Shopee, jadi saya bisa mencari bahan baku di sana, daripada harus jalan ke Denpasar, macet-macetan,” terangnya sambari tertawa.
Selain itu, aspek sumber daya manusia juga masih menjadi kendala. Ia merasa masih belum sepenuhnya menguasai bahasa asing dan kesulitan untuk membuat semacam proposal penawaran yang bagus.
“Pernah suatu ketika, saat bekerjasama dengan BNI, produk saya dipamerkan di Korea dan Afrika Selatan. Saat itu saya diberi banyak akses ke pihak yang tertarik dengan barang saya, tapi karena tidak bisa bikin penawaran yang bagus, jadinya tidak terjangkau,” katanya serius.
Stereotip atau stigma yang melekat pada produk lokal ternyata juga menjadi tantangan tersendiri. Masih banyak orang yang menganggap bahwa merek lokal tidak lebih bagus daripada produk luar negeri. Anggapan seperti itu biasanya berimbas kepada harga barang. Barang yang diproduksi di dalam negeri, oleh orang pribumi, seolah tak pantas diberi harga tinggi. Ungkapan “barang dalam negeri aja harganya kok mahal sekali” masih dapat kita temukan di mana-mana.
Padahal, bagi Dina, anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, banyak produk lokal yang tak kalah berkualitas dengan produk orang bule. “Tapi kalau produk orang bule, semahal apa pun, dimaklumi, tidak apa-apa. Coba bayangkan, kalau di pasar biasa kita menyebutnya daster, tapi kalau di Bamboo Blonde, barang yang sama, kain yang sama, disebutnya apa, dress. Harganya juga jelas beda,” ujarnya, untuk memberikan ilustrasi kesenjangan antara produk lokal dan luar negeri.
Tas laptop kain pewarna alami produksi Din’z Handmade / Foto: Dok. Din’z Handmade
Terlepas dari itu semua, Dina juga merasa bahwa di Bali Utara, sebenarnya ekosistem bisnis seperti yang digelutinya belum sepenuhnya terbentuk. Pemerintah Kabupaten Buleleng belum sepenuhnya mendukung produk-produk yang ia maupun UMKM lainnya hasilkan. Infrastruktur untuk mengenalkan produk-produk hasil karya orang-orang Buleleng sepertinya belum terpikirkan—untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Tetapi, itu semua tidak menyurutkan semangat Dina Widiawan dalam berusaha mengembangkan Din’z Handmade—usaha yang telah ia perjuangkan dan besarkan. Ia berharap, dua sampai tiga tahun ke depan, Din’z Handmade lebih banyak dikenal dan menjangkau pasar lebih luas. Selain itu, ia juga berharap lebih banyak orang yang menggunakan produk ramah lingkungannya. Sebab, ia merasa, kerusakan lingkungan akibat industrialisasi—khususnya industri sandang—sudah tampak kentara di depan mata.
“Apa yang saya lakukan, meskipun dalam skala kecil, saya niatkan untuk menjaga alam, lingkungan. Jadi, saya berharap, meskipun tidak menggunakan produk saya, orang-orang mulai sadar untuk beralih ke produk ramah lingkungan,” tuturnya.
Siang semakin panas. Tapi teras rumah Din’z Handmade yang terletak di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, itu tetap saja asri. Angin berkesiur. Dina Widiawan mematung, menatap ke depan. Barangkali ia sedang mereka-reka, apa yang akan terjadi pada usahanya di tahun-tahun yang akan datang. Sebagaimana ia berharap, semoga itu sesuatu yang diinginkan, bukan malah sebaliknya.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana