GENDER wayang lamat-lamat terdengar. Merdunya menyelinap di sela-sela cerita panjang riwayat gong kebyar Desa Kedis. “Itu cucu saya yang memainkan. Baru kelas 3 SD. Dia belajar menabuh gamelan sejak masih duduk di bangku TK,” kata Gede Artaya.
Ia begitu bangga mengatakan hal tersebut. Seolah sebuah prestasi yang perlu diperlihatkan dan dirayakan. Atau semacam, bisa jadi, sebuah pencapaian tertingginya di dunia kesenian—memangnya apalagi yang dapat dibanggakan orang tua kecuali melihat keturunannya mewarisi semangat yang selama ini telah diperjuangkan?
Kedis menguyup sore itu. Air menggenang di mana-mana. Parit-parit di samping rumah mengalir deras. Sedang di selatan, bukit-bukit bagai perempuan yang rebah dengan kabut tipis melingkari lehernya. Dan kata-kata, cerita-cerita, dari suka sampai duka, tentang gong kebyar Kedis, masih saja meluber dari bibir seniman karawitan itu. Kata-katanya, cerita-ceritanya, bersahut-sahutan dengan suara gender wayang dan musik disko yang diputar sebelah rumah, yang memenuhi telinga pendengarnya.
“Setelah bertahun-tahun, saya seperti mendapat pawisik dari leluhur untuk meneruskan kesenian ini [gong kebyar],” ujar Artaya sembari menarik sebatang mild dari kotaknya. Semesta seolah bergeming, memasang telinga betul-betul saat ia mengatakan hal tersebut.
Benar. Gede Artaya merupakan salah satu—jika bukan satu-satunya—seniman karawitan Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali, yang memiliki kesadaran untuk membangkitkan kembali eksistensi gong kebyar di desa di atas bukit itu, setelah mati suri nyaris selama 32 tahun. Di Kedis, kesenian gong kebyar memiliki riwayat yang panjang.
Gong kebyar di Kedis, meski belum ada catatan yang pasti, diyakini sudah eksis jauh sebelum negara ini merdeka. Malahan, bisa jadi, sebelum gong kebyar dipentaskan di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng dalam acara gong mebarung pada 1915, sebagaimana Colin McPhee menulis dalam catatannya yang monumental itu, Music in Form and Instrumental, Oganization in Balinese Orchestral Music (1986)—komposer Kanada itu menulis demikian atas dasar tuturan Anak Agung Gede Gusti Jelantik pada tahun 1937.
Gede Artaya / Foto: Dian
“Waktu itu memang sudah banyak desa di Bali Utara yang mengembangkan gong kebyar, termasuk Desa Kedis,” kata Kadek Anggara Rismandika, akademisi sekaligus seniman karawitan Desa Kedis, menambahkan keterangan Gede Artaya. Seniman muda lulusan ISI Yogyakarta itu menjadikan gong kebyar Desa Kedis sebagai objek penelitian tugas akhirnya dengan judul Esensi Gong Kebyar Desa Kedis dalam Ritual Agama Hindu (2015).
Dalam penelitiannya, Dek Anggara menuliskan—sebagaimana ia kutip dari buku I Wayan Senen yang berjudul Wayan Beratha Pembaharu Gamelan Kebyar Bali (2002)—selain eksis di Desa Jagaraga, sebenarnya gong kebyar juga sudah eksis di beberapa desa lain di Bali Utara, seperti Desa Bungkulan, Desa Ringdikit, Desa Sawan, Desa Banyuatis, Desa Nagasepa, Desa Patemon, Desa Menyali, Desa Kalapaksa, Desa Bebetin, Desa Bubunan, Desa Bantiran, dan Desa Kedis.
Pada 1919, masih dalam pustaka yang sama, setelah Sekaa Gong Bantiran yang terletak di perbatasan antara Buleleng dan Tabanan mementaskan gong kebyar dalam sebuah acara palebon (pembakaran jenazah) di Puri Subamia Tabanan, seorang maestro dari Kedis bernama I Wayan Sembah diminta untuk mengajarkan gong kebyar di beberapa desa di daerah Bali Selatan.
“Fakta tersebut membuktikan bahwa seniman gong kebyar Desa Kedis ikut andil dalam menyebarkan kesenian gong kebyar di Bali,” tulis Dek Anggara.
Tak sampai di situ, pada dekade berikutnya, di Kedis juga terdapat seorang maestro yang mempengaruhi atau menjadi pelopor perubahan ide atau konsep tari kekebyaran yang sebelumnya hanya menggunakan tema-tema yang—sekali lagi mengutip Dek Anggara—“senantiasa berfokus kepada tari murni dan keindahan semata.” Maestro tersebut bernama I Ketut Merdana—seorang maestro karawitan dari Desa Kedis yang meninggal dalam prahara 1965.
Pada 1960-an, Merdana menciptakan tari kekebyaran baru bernama Tari Nelayan. Pada tahun tersebut, tari ini dipentaskan Ketut Merdana beserta Sekaa Gong Banda Sawitra di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menurut I Made Bandem, lahirnya Tari Nelayan secara tidak langsung memberi pengaruh terhadap konsep tari yang pada awalnya bersifat tari murni dan keindahan semata, berubah menjadi tarian kebyar programatik, yaitu merespon perkembangan sosial politik di Indonesia pada saat itu.
Tahun ‘50-an sampai ‘80-an mungkin bisa dibilang sebagai puncak penciptaan dan perkembangan kesenian gong kebyar di Desa Kedis. Tokoh-tokoh seperti Ketut Merdana, Nyoman Sukandia (kakak dari I Ketut Merdana), dan Putu Sumiasa (anak dari I Nyoman Sukandia, ponakan dari I Ketut Merdana), merupakan seniman Kedis pilih tanding pada masa itu. Ciptaan-ciptaan mereka berupa tabuh (gending instrumental) maupun tabuh tari (gending instrumental iringan tari) mendapat sorotan dalam jagat gong kebyar di Bali.
Tari Nelayan, Tari Wiranjaya (dulu bernama kebyar Buleleng dauh enjung), Tari Merpati, Kebyar Susun, Tari Tenun Desa Kedis, Tari Palawakya Desa Kedis, Tabuh Kreasi Gambang Suling, Tabuh Kreasi Kuntul Angelayang (atau Paksi Angelayang), dll, adalah bukti bahwa seniman gong kebyar di Kedis tidak cukup puas hanya dengan mengikuti kreasi yang sudah ada sejak dulu, tapi juga menciptakan repertoar sendiri—dengan gaya dan konteks yang lebih segar.
“Tapi setelah itu, sekitar tahun ‘80-an, kreasi gong kebyar di sini (Kedis) rasanya mulai mengalami kemunduruan,” ujar Gede Artaya. Hujan masih menyisakan rintik. Anjing kecil itu masih saja menggonggong. Geder wayang masih bersuara. Tapi musik disko sebelah rumah makin menjadi. Kopi tinggal sekali teguk. Berbatang-batang kretek telah menjelma putung dengan luka bakar yang penyok dan menyedihkan.
Momen Kebangkitan
Sejak tahun ‘80-an, setelah seniman seperti Ketut Merdana mungkur, eksistensi kesenian gong kebyar Kedis di luar daerah mulai meredup—walaupun masih dipentaskan di Kedis dalam upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya, sebagaimana disampaikan Dek Anggara dalam tugas akhirnya.
Tahun itu, sekitar 1985, Gede Artaya masih merantau di Denpasar, bekerja di PT. Wijaya Karya sebagai tukang pasang atau mendirikan beton tiang listrik. Ia hanya bertahan setahun di sana. Setelah itu, sekitar 1986, Artaya memilih menjadi sopir taksi di Denpasar sampai tahun 1991.
“Selesai jadi sopir taksi, saya mengendarai truk, angkut material dari Karangasem. Mungkin sampai tujuh tahun. 1997 saya berhenti, saya pulang ke Kedis,” terang Artaya. Kenapa berhenti? “Karena krisis moneter,” jawabnya.
Saat itulah babak baru hidup Gede Artaya dimulai. Ia, yang notabene masih memiliki hubungan darah dengan I Ketut Merdana, mulai kembali mempelajari seni karawitan. Ia mengaku awalnya belajar sendiri di rumahnya, otodidak, meminjam kendang dari desa. “Dulu belum ada YouTube,” katanya sembari tertawa.
Pada 1998, karena di Desa Kedis belum ada sekaa atau sanggar, Artya berangkat ke Desa Munduk untuk belajar sekaligus mengajar Tari Wiranjaya. Berangkat setengah 7 malam, pulang tepat tengah malam. Meski hidup susah di pangkuan ibu sendiri (baca: Kedis), atas dasar dorongan diri sendiri—ia menyebutnya pawisik dari leluhur—ingin menekuni atau berkecimpung dalam dunia kesenian, khususnya gong kebyar, Artaya enggan kembali merantau.
“Waktu itu sulit mencari pekerjaan di kampung. Mau jadi buruh saja sulit. Kadang saya dan keluarga hidup dari kalangan tajen—tempat sambung ayam,” ujarnya.
Tetapi, pada 2012, setelah 32 tahun berhenti eksis, atas dasar pawisik itu tadi, Gede Artaya memberanikan diri untuk membentuk sekaa gong di Desa Kedis. Dengan berbagai cara, entah bagaimana, ia tidak begitu detail menceritakannya, akhirnya banyak generasi muda yang tertarik untuk belajar bersamanya. Ia berjuang sendiri, tanpa mengharap bantuan dari siapa pun.
Dengan pembawaannya yang santai dan humoris, Artaya belajar bersama dengan orang-orang Kedis. Berkat ketekunan dan konsistennya, buah itu akhirnya dipetik. Pada tahun 2015, Sekaa Gong Kebyar Anak–Anak Banda Sawitra Desa Kedis mewakili Kabupaten Buleleng di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-37 yang diselenggarakan di kawasan Pelabuhan Tua Buleleng.
“Padahal target saya waktu itu empat tahun baru berani pentas di PKB, tapi baru tiga tahun sudah diminta,” ujar Artaya sembari terkekeh.
Seusai pentas di PKB tahun 2015, Pemerintah Desa Kedis mulai memperhatikan kesenian gong kebyar. Banyak bantuan diberikan kepada sekaa. Sejak saat itu, semangat Artaya semakin terpacu. Ia merasa telah tepat mengambil keputusan. Leluhur tak mungkin menyesatkan apalagi menelantarkannya.
Seandainya saat itu ia kembali merantau, mungkin saja kesenian gong kebyar di Kedis hanya akan menyisakan cerita-cerita masa lalu. Anak-anak mungkin tahu nama-nama besar seperti Ketut Merdana, Nyoman Sukandia, atau Putu Sumiasa, tapi barangkali tak tahu—bahkan mungkin tak mau—bagaimana mempelajari atau menerima apa yang telah mereka wariskan.
“Pak De Artaya ini bisa disebut sebagai ‘penyelamat’ kesenian gong kebyar di Desa Kedis. Jasa beliau cukup besar,” ujar Dek Anggara.
Gede Artaya memang punya cita-cita besar untuk menggali dan merayakan kembali karya-karya Ketut Merdana. Niatnya sederhana saja. Ia ingin seniman-seniman muda di Desa Kedis bisa memainkan dan mengenalkan kembali ciptaan-ciptaan seniman Kedis masa lalu, sehingga Desa Kedis dikenal lagi sebagai pusat penciptaan seni tari dan karawitan di Bali—bahkan di dunia.
“Leluhur kami, Ketut Merdana, begitu terkenal hingga ke luar negeri, sehingga kami juga ingin anak-anak mengenal ciptaan-ciptaan beliau. Ya, dengan cara mengajarkan karya-karya beliau kepada mereka,” kata Artaya. Untuk mendukung niatnya itu, ia mendirikan sekaa gong wanita anak-anak sekitar tahun 2017.
Tahun 2021, Sekaa Gong Kebyar Wanita Banda Sawitra Kedis—yang saat itu diisi oleh anak-anak SMP—pentas di Panggung Arda Candra Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-43. Saat itu, mereka menampilkan Tabuh Kebyar Susun, Tari Kreasi Pedanda Baka, dan Tari Merpati. Dua dari tiga garapan itu, yakni Tabuh Susun dan Tari Merpati, diciptakan Ketut Merdana.
Tak sampai di situ, tahun 2023, Sekaa Gong Kebyar Banda Sawitra dari Desa Kedis mendapat tempat khusus untuk tampil pada Parade Gong Kebyar Legendaris, Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-45. Pada tahun itu, Dek Anggara dipercaya menggarap kembali karya-karya lawas dari Kedis untuk ditampilkan di hadapan khalayak umum di Taman Budaya Provinsi Bali.
Seperti Gede Artaya, sebagai generasi keempat dari Sekaa Gong Banda Sawitra, Dek Anggara juga memiliki niat besar untuk mengembangkan tari dan tabuh yang pernah diciptakan para maestro Desa Kedis di masa lalu. Meski ia sadar, itu bukan pekerjaan yang mudah.
Saat ini, menurut penuturan Gede Artaya, di Kedis ada tiga jenjang kelompok gong kebyar: grup A, B, dan C. Pengelompokan ini berdasarkan atas kemampuan dan siapa yang lebih dulu belajar. Grup A biasanya diisi oleh remaja-dewasa yang sudah mumpuni.
Grub B ditempati anak-anak SD-SMP yang lebih dulu belajar. Sedangkan Grup C diperuntukkan bagi mereka yang baru pertama kali belajar. Ini bukan kasta, tapi semata untuk memudahkan pengajaran juga proses regenerasi.
Menurut Gede Artaya, saat ini, ada sekitar 200-an lebih penabuh gong kebyar di Kedis. Setidaknya 32 penabuh termasuk legen. Ini sebuah pencapaian yang luar biasa. Tetapi, meski setiap tahun selalu ada bibit baru, tidur Artaya tetap merasa jenak.
Kenapa? “Karena banyak anak yang keluar dari desa, entah urusan pernikahan, pekerjaan, atau pendidikan,” jawabnya. Namun, meski demikian, ia merasa bangga setiap kali mendapati ada anak didiknya yang melanjutkan pendidikan kesenian di ISI maupun yang lainnya.
Gede Artaya mengajak tim tatkala menelusuri setapak gang yang basah. Meniti pinggiran parit yang deras mengalir. Di seberang, di depan Pura Puseh, di sebuah wantilan kawasan suci Pura Dalem Kedis, lamat-lamat terdengar suara gamelan ditabuh. Di sana, puluhan anak gadis beragam umur, dari SD sampai SMP, dengan mantap dan percaya diri memainkan tabuh Tari Nelayan.
Gong, kempur, kajar, klentong (kemong), trompong, reyong, gangsa, jegogan, jublag, cengceng, dan lainnya, ditabuh bersamaan dan menciptaan harmoni yang sulit untuk dijelaskan. Anak-anak itu bergeming saat kami datang, seperti tak terusik. Mereka fokus dengan gamelan masing-masing.
Awalnya Gede Artaya hanya mengamati, lalu mendatangi anak-anak yang dinilai masih perlu bimbingan. Ia meminta Dek Anggara untuk memainkan kendang. Tabuh Tari Nelayan diulang dua sampai tiga kali. “Mereka berlatih dua kali dalam seminggu di sini,” ujarnya.
Anak-anak di Kedis saat ini, laki maupun perempuan, tampaknya sudah belajar menabuh karawitan sejak dalam kandungan. Kedis, memandang karawitan seolah sebagai kebutuhan primer, mungkin sama pentingnya dengan makanan dan sandang.
Seolah, cuma ada dua pilihan untuk bertahan hidup di Kedis: bekerja atau berkesenian. Tapi bagi orang Kedis, sepertinya dua-duanya harus serius. Desa di atas bukit ini memang seperti tidak bisa dipisahkan dari nada dan suara. Mungkin, Tuhan menciptakan orang Kedis dari gending-gending gamelan yang paling merdu.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole