3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Cerita Orang Biasa: Masih Tentang “Gamelan Bukan Musik”

Kadek Anggara RismandikabyKadek Anggara Rismandika
January 29, 2024
inEsai
Cerita Orang Biasa: Masih Tentang “Gamelan Bukan Musik”

Foto ilustrasi: anak-anak di Desa Kedis sedang belajar megender di Sanggar Jaya Paksi Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, Buleleng, Bali | Foto: Dok. Anggara Rismandika

ESAI ini adalah sebuah respon balik terhadap esai yang merespon sebuah topik diskusi Gamelan Bukan Musik. Gamelan Bukan Musik merupakan topik diskusi dalam program SULUH TULIS#4 yang diadakan Program Studi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 18 Januari 2024 di sebuah kedai nongkrong di Singaraja, Kedai Umah Pradja, Jalan Ratna Nomor 8 Banyuasri, Singaraja.

Materi diskusi disampaikan oleh Gigih Alfajar Novra Wulanda (Etnomusikolog) dan saya, Kadek Anggara Rismandika, dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Putu Ardiyasa, dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja cum dalang didaulat sebagai pemantik diskusi untuk menghangatkan suasana diskusi saat itu. Hasil diskusi itu kemudian ditulis Yudi Setiawan yang tayang di tatkala.co, 20 Janurai 2024.

Izinkan saya, orang biasa ini, untuk menyampaikan respon diskusi dan tulisan lanjutan dari topik Gamelan “Bukan” Musik dalam sebuah narasi santai.   

***

Pagi itu, 19 Januari 2024, ketika saya terbangun dari lelap tidur di Kos Mawar Singaraja tercinta, tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara notifikasi pesan sosial media yang agak ramai. Dengan sedikit lemah, karena baru bangun tidur, saya lantas memeriksa isi pesan itu. Ternyata pagi itu, Putu Ardiyasa dan teman lainnya mengirimi berbagai hasil tangkapan layar dari gawai miliknya tentang adanya respon menarik terkait diskusi yang baru saja kami lakukan pada malam sebelumnya.

Beberapa memberi respon dengan emot menertawai, beberapa lainnya juga dengan komentar yang agak keras bikin deg-degan. Kondisi nyaman dan damai pagi itu seketika membuat saya jadi berubah agak tegang. Tidak ingin larut, kemudian saya kembali mengingat bahwa ini adalah konsekuensi logis yang harus saya hadapi ketika mengemukakan pikiran dan melakukan kritik terhadap topik diskusi Gamelan “Bukan” Musik pada malam sebelumnya. Saat itu juga saya kembali tersenyum dan semakin yakin bahwa saya merasa tidak sendirian lagi dalam gelisah pemikiran ini.

Berikutnya, seorang teman, Made Adnyana Ole (Pak Ole panggilan sayang saya), mengirimi link dua tulisan yang dimuat tatkala.co secara berturut-turut. Tulisan itu memuat beberapa poin penting pembacaan holistik penulisnya, lengkap dengan gimik dan kalimat satire untuk membedah topik diskusi Gamelan Bukan Musik.

Salah satu penulis kebetulan teman saya, I Ketut Pany Ryandi, ia seorang seniman muda juga kreator karya seni karawitan Bali yang sangat potensial dari Desa Umejero. Kebetulan desa kami juga bersebelahan. Kemudian sebuah tulisan lagi, datang dari seorang yang belum saya kenal, Gede Yogi Sukawiadnyana. Semoga melalui pesan tulisan ini kita bisa saling berkenalan.

Tanpa ingin ketinggalan, kemudian saya baca dua tulisan itu dengan agak serius. Dari kedua tulisan itu, sepertinya tergambarkan bahwa pesan substansial dari diskusi Gamelan Bukan Musik itu tampaknya masih belum terjembatani dengan baik. Tampaknya dua tulisan itu masih “gagal paham”, dan saya menyadari kenapa itu bisa terjadi.

Menurut saya, salah satu faktornya adalah penyampaian gagasan dari kedua tulisan yang hanya berpatokan pada tulisan terkait laporan diskusi di tatkala.co. Metode pencuplikan potongan diskusi sering kali memang menyesatkan, jauh dari cita holistik dan substansial dari gagasan diskusi yang sebenarnya. Seperti masih melekat dalam ingatan, sebuah kasus hukum penistaan agama yang harus dihadapi oleh Basuki Tjahaja Purnama tentu ini bukti logis kegagalan pola yang sama.

Tentu, saya tidak ingin menyalahkan pembacaan tulisan dua teman saya itu. Ucapan terimakasih dan hormat saya berikan setinggi-tinginya terhadap mereka. Pembacaan keduanya menurut saya disampaikan dengan sangat akrab, seperti biasanya seniman menyapa teman dalam kegelisahan. Sekali lagi terimakasih saya ucapkan kepada Pany dan Yogi sudah memberikan pembacaan begitu apik dan tentu saja epic, layaknya superman membelah langit.

Pembacaan mereka pada dasarnya seluruhnya mengandung intisari yang berkelindan sebagai sebuah kritik menarik dan penuh perhitungan. Semoga saya tidak lupa, secara eksplisit saya pun sudah memberikan beberapa intensitas penekanan pada nilai spesifik, yang sebenarnya sudah mereka maksudkan pada kegiatan malam diskusi. Sehingga dari sini saya menyadari semua tidak lepas dari kekurangan, keterbatasan dan kelemahan dari penguasaan saya dalam menyampaikan gagasan secara lebih lugas, sehingga ini menjadi intrik dan dilematis.

Akhirnya tulisan ini adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban pribadi saya untuk menyampaikan pesan substansial dan holistic yang sebenarnya dari topik diskusi Gamelan Bukan Musik. Semoga bahasa tulis saya ini mampu mengejawantahkan keterbatasan kemampuan bahasa lisan saya yang masih sering kali susah untuk dipahami oleh khalayak semuanya.

Sore itu, sehari sebelum acara diskusi, 17 Januari 2024, terjadi percakapan dalam sebuah perjalanan setelah menjemput seorang teman sekaligus sahabat saya, Gigih, dari Denpasar menuju Singaraja. Dalam suasana hangat seperti biasanya, kami bersenda-gurau romantik bernostalgia terhadap cerita masa lalu yang pernah kami alami.

Obrolan perjalanan intim nan-syahdu itu merupakan selipan dari materi obrolan utama kami. Obrolan utama kami sebenarnya mengenai topik diskusi yang agaknya menarik untuk disiapkan dalam program “Suluh Tulis #4”, sebagai misi kegiatan kami di Program Studi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Dalam sebuah gelak tawa tiba-tiba teman saya Gigih, sebagai musafir sejati mengawali keinginannya untuk menjadikan pengalamannya ketika berkunjung ke Bali sebagai topik diskusi.

Saat itu Gigih memulai dengan menceritakan kesan empiris pribadinya ketika dua kali berkunjung ke Bali. Sebagai sebuah cerita perjalanan yang sarat akan petualangan pengalaman dan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Gigih menyadari bahwa cerita perjalanan ini hanyalah impresi alami yang ditangkap indra dan pemikiran Gigih sendiri yang jauh dari kondisi afirmatif nilai kenyataan dan fakta.

Lantas saya tidak ingin sahabat saya kehilangan gagasannya, dengan cepat saya memberikan pandangan tentang pentingnya impresi sebagai sebuah momentum untuk mengklarifikasi fakta kenyataan. Kemudian teman saya Ardi, yang kemdian jadi pemantik dalam diskusi, sambil sibuk memegang setir mendampingi keseriusan obolan saya dan Gigih dengan kalimat, “Santai saja, kan kita ngobrol di warung kopi. Tapi meski begitu tetap mengandung gagasan penting untuk pengetahuan dan kebudayaan ala Rumah Hitam. Rumah Hitam adalah sebuah rumah yang menjadi tempat diskusi kami dengan beberapa teman ketika dulu sama-sama berkuliah di Sewonderland Jogja.

Gigih kemudian melanjutkan ceritanya, kalau dia belum sempat menyaksikan pertunjukan atau mendengar bunyi gamelan dalam kunjungannya ke Bali kali ini. Gigih menceritakan hanya sempat mendengar sekali saja, itu pun dari gamelan yang diputar menggunakan dengan alat pemutar suara. Tentu saja Gigih yang sangat pragmatis tentang kerinduannya dengan bunyi gamelan itu mengandung kelemahan akan kekuatan data fenomenologis.

Tanpa tendensi melebihkan saya kemudian menyarankan untuk mengambil topik prihal kondisi perkembangan pengetahuan gamelan di Bali dengan menggunakan pengantar impresi empiris yang Gigih alami. Seketika itu saya menawarkan topik “Gamelan Bukan Sekadar Musik” sebagai bahan diskusi yang penting dan menarik menurut saya.

Ardi dan Gigih dengan agak mengerutkan alis bertanya sebenarnya apa maksud saya. Kemudian saya menjelaskan landasan pemikiran topik itu secara singkat bahwa perlu adanya diskusi lebih lanjut terkait pentingnya kesadaran atas kondisi perkembangan pengetahuan gamelan (karawitan) yang seringkali dipersekusi dengan menyandingkannya dengan cabang ilmu pengetahuan lain, yang sudah begitu mapan yaitu musikologi.

Pada fenomena ini, pada kondisi praktis dan kondisi teoritis tertentu, seringkali pengetahuan gamelan (karawitan) dipadu-padankan dengan konsep dan teori yang ada dalam pengetahuan musikologi, yang seringkali juga tidak tepat secara definisi maupun konsep dasarnya.

Sekilas saya mengingat tulisan Ketut Ardana, Ardana berpendapat, permasalahan teks (intramusikal) dalam konteks karawitan sering kali dipadankan dengan fenomena musik barat (musikologi) meskipun terkadang kurang tepat karena beberapa permasalahan yang spesifik dan konkrit dalam karawitan sangat berbeda dengan musik Barat (Ardana, I Ketut: 2022).

Fakta fenomenologis ini secara koheren menyiratkan kondisi pengetahuan gamelan (karawitan) belum memiliki basis pendekatan dan teori yang cukup kuat sebagai sebuah pengetahuan. Pengetahuan gamelan (karawitan) memerlukan upaya dan aksi yang lebih intensif dalam rangka mengisi kekosongan konsep dan teori yang ada dalam diri karawitan itu sendiri.

Mau sampai kapan pengetahuan karawitan harus diperkosa oleh pengetahuan lain? Mengapa kita tidak percaya diri untuk terus mengembangkan dan menggali kekosongan teoritis yang murni dimiliki oleh pengetahuan gamelan (karawitan) dengan latar konteks aslinya? Setidakpercayadiri itukah kita? Kemudian saya mengakhiri argumen saya.

Gigih kemudian tersenyum mendengar argumen saya, sambil berkelakar Gigih menyatakan faham betul maksud saya, namun dia menambahkan kalau topik itu penting, tapi redaksinya kurang pragmatis sebagai upaya untuk mengkomunikasikan alarm tanda bahaya, Gigih mengakhiri sambil tertawa lepas.

Dengan wajah yang tiba-tiba serius dan penuh pertimbangan, kemudian Gigih menawarkan untuk mengubah redaksi topik diskusi tersebut dengan Gamelan Bukan Musik sebagai upaya progressive yang kami upayakan untuk memperoleh respon yang lebih luas dan substansial terhadap diskusi ini.

Gigih beralasan untuk mengukur arti penting topik tersebut, harus melalui pergerakan yang lebih progressive dan tendensius. Gigih menambahkan kita harus siap dicaci-maki dan diperdebatkan untuk menumbuhkan upaya diskusi yang lebih aktif dan kontributif terhadap permasalahannya.

Seketika itu juga, tanpa berpikir panjang, dan dengan semangat penuh kesadaran, saya nyatakan bersedia untuk menemani Gigih menyampaikan pesan topik diskusi ini.

***

Pengetahuan musik di Barat, memiliki sejarah pengetahuan panjang dan mapan pada setiap masanya. Pengetahuan musik tersebut tentu mengikat pada konteks budaya musiknya. Sejarah mencatat pengetahuan musik mengalami titik kemapanan menonjol sebagai studi ilmiah yang mandiri pada tahun 1863.

Saat itu untuk pertama kalinya seorang ilmuan musik bernama F. Chrysander merumuskan studi ilmiah dalam bahasa Jerman yaitu musikwissenchaft (baca: ilmu musik “musikologi”). Chrysander ketika itu secara mendasar memberikan tawaran khusus terkait sebuah studi ilmiah yang diistilahkan sebagai musikwissenchaft dalam bahasa Jerman.

Pemikiran Chrysander tersebut dituangkan dalam sebuah buku tahunan untuk pengetahuan musik yang berjudul Jahrbucher fur musikalische Wissenschaft. Chrysander juga menegaskan bahwa ilmu musik yaitu musikologi harus diterima sebagai ilmu, sehingga studi musik harus mengacu pada standar metodelogi ilmu yang ketat.

Berikutnya, pertengahan abad ke 19, merupakan perkembangan pesat musikologi modern, dengan pendeketan yang sifatnya lebih praktis dan fenomenologis terhadap kajian historis tradisi musik barat di masa lalu. Musikologi modern merupakan dedikasi tokoh pemikir seperti Samuel Wesley dan Felix Mendelssohn terhadap kajian karya dari komponis-komponis di masa lalu dari abad pertengahan hingga renaisans. Seperti pembacaan atas pengetahuan yang terkandung dalam karya-karya musik clasik dari George Frideric Handel, Johan Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart dan lain lain.

Walaupun istilah musikologi dianggap lahir pada saat itu, namun perlu mendapat penebalan bahwa studi ilmiah terhadap musik sebelumnya sudah selalu dikembangkan secara aktif dan intensif sebagai objek kajian. Musikologi menjadi ilmu pengetahuan mandiri merupakan hasil dari upaya panjang dan serius terhadap penggalian pengetahuan baik secara teori maupun praktis. Kendati musikologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang kita ketahui terus berkembang mutakhir, ternyata tetap melalui proses yang begitu panjang. Sehingga musikologi sebagai ilmu musik memiliki basis pendekatan maupun dasar teoritis yang jelas dan berkembang organik sebagai pengetahuan.

Sejarah singkat tentang musikologi seperti telah dijelaskan, merupakan buah kerja keras dan sumbangsih pengetahuan para ilmuan musik yang tiada hentinya berusaha menggali kekosongan teoritis dalam musik mereka. Sehingga jelas perlu diingat bahwa musikologi merupakan anak kandung dari musik dalam konteks budaya mereka.

Kemudian pertanyaan saya, apakah gamelan mampu menjadi seperti musik dengan ilmu musikologinya? Tentu susah jika upaya kita selalu mempersepsi bahwa pengetahuan gamelan tetap membutuhkan pembenaran dari musikologi. Menurut saya upaya ekstraksi atas pengetahuan gamelan layak untuk dilepaskan dan dibebaskan dari musikologi. Pendapat saya ini merupakan cerminan positif dari sejarah perkembangan pengetahuan musik menjadi musikologi yang saya jelaskan sebelumnya.

Perlu diakui nilai-nilai pengetahuan gamelan sudah berkembang mutakhir secara praktis namun lemah secara teoritis. Ingat, lemah bukan berarti tidak ada upaya sama sekali dari praktisi dan ilmuwan gamelan (karawitan), namun kritik saya adalah perlu adanya upaya yang lebih masif dan intensif terhadap permasalahan teoritisnya.

Jangan lupakan istilah karawitan di masa lalu merupakan upaya para pemikir kita untuk menyediakan wadah pengetahuan kepada gamelan. Begitu juga upaya-upaya ilmuwan dan pemikir setelahnya yang mencetuskan istilah karawitanologi sebagai langkah serius mereka untuk meraih kesepadanan dengan musikologi. Dukungan atas langkah scientific untuk pengembangan terhadap ilmu pengetahuan gamelan (karawitan) perlu untuk mendapat apresiasi yang lebih tinggi. Upaya ekstraksi terhadap pengetahuan gamelan perlu untuk selalu dimutakhirkan, tentu membutuhkan kesadaran tinggi atas nilai penting pengetahuan ini sebagai studi ilmiah yang mandiri.

Kondisi gamelan (karawitan) seringkali menjadi bahan jualan romantis dan cenderung memabukkan bagi para pecintanya. Sehingga upaya kritis menjadi langkah yang seringkali dihindari sebagian pihak berkepentingan. Alih-alih membangun dengan bergumam atas gamelan yang selalu baik-baik saja, tapi melupakan kritik sebagai langkah pasti keberlanjutan. Sihir imajiner gamelan sebagai sesuatu yang aman dan nyaman, merupakan boomerang yang bisa balik menyerang kapan saja.

Perkembangan pengetahuan gamelan (karawitan) tentu semakin jauh dari harapan jika kita selalu bergumam romantis terhadapnya. Karena gamelan (karawitan) sejatinya tidak butuh sosok superman yang masih pakai celana dalam di dalam celana (malu-malu kucing). Tapi gamelan (karawitan) membutuhkan langkah-langkah kritis krusial tepi jurang untuk menjaga azas perkembangan pengetahuannya.

Akhirnya tulisan ini harus saya akhiri dengan penuh harapan akan langkah untuk dilanjutkan oleh khalayak sekalian. Sekali lagi diskusi dan tulisan saya terkait topik Gamelan Bukan Musik merupakan upaya saya untuk melepas dahaga kritis terhadap kondisi pengetahuan gamelan yang cenderung kekeringan. Kondisi teoritis pengetahuan gamelan masih jauh dari nilai, fungsi dan manfaat gamelan dalam kondisi praktis.

Sebagai sebuah langkah kritik tentu diskusi dan tulisan ini masih jauh dari kandungan solusi yang terstruktur dan metodologis. Semoga saja tulisan ini bisa menjadi obat penenang dari cendekia sekalian. Setelah relaks mari kita mulai lagi. Karena sekali lagi saya ingin sampaikan bahwa langkah untuk mengembangkan pengetahuan gamelan (karawitan) menjadi studi ilmiah mandiri tentu sangat membutuhkan langkah tiada hentinya dari seluruhnya yang berkepentingan.

Demikian cerita saya sebagai orang biasa yang lahir, hidup, dan berkembang dari kecintaan sejati saya terhadap gamelan. Yakinlah, saya sebagai anak kandung yang lahir dari rahim gamelan tentu tidak akan menjadi anak durhaka terhadap pengetahuan gamelan (karawitan). Menjaga tata laku, pikiran dan wicara merupakan upaya orang biasa ini sebagai anak kandung yang selalu berusaha harmonis terhadap sesama. Sebagai akhir, semoga esai dan kritik saya ini bisa menjadi bahan renungan kita pecinta gamelan semuanya. [T]

  • Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari polemik Gamelan Bukan Musik. Untuk mengetahui secara lebih lengkap, baca juga artikel di bawah ini:
Forum Suluh Tulis: Dari Gamelan, Musik, sampai Kebudayaan yang Luntur
Gamelan (Bukan) Musik
Berpikir Serius Tentang “Gamelan Bukan Musik” di Antara Hujan dan Mie Instan
Tags: gamelangamelan balikesenian balimusikmusik balipolemikpolemik seni bali
Previous Post

Made Dea Vio Lantini, Duta Anak Kabupaten Buleleng Komisi Perlindungan Khusus 2024

Next Post

Widi Widiana dan Dek Ulik “Prewedding” dalam Video Klip “Rejuna Ngaba Pipis”

Kadek Anggara Rismandika

Kadek Anggara Rismandika

Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja

Next Post
Widi Widiana dan Dek Ulik “Prewedding” dalam Video Klip “Rejuna Ngaba Pipis”

Widi Widiana dan Dek Ulik “Prewedding” dalam Video Klip “Rejuna Ngaba Pipis”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co