ESAI ini adalah sebuah respon balik terhadap esai yang merespon sebuah topik diskusi Gamelan Bukan Musik. Gamelan Bukan Musik merupakan topik diskusi dalam program SULUH TULIS#4 yang diadakan Program Studi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 18 Januari 2024 di sebuah kedai nongkrong di Singaraja, Kedai Umah Pradja, Jalan Ratna Nomor 8 Banyuasri, Singaraja.
Materi diskusi disampaikan oleh Gigih Alfajar Novra Wulanda (Etnomusikolog) dan saya, Kadek Anggara Rismandika, dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Putu Ardiyasa, dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja cum dalang didaulat sebagai pemantik diskusi untuk menghangatkan suasana diskusi saat itu. Hasil diskusi itu kemudian ditulis Yudi Setiawan yang tayang di tatkala.co, 20 Janurai 2024.
Izinkan saya, orang biasa ini, untuk menyampaikan respon diskusi dan tulisan lanjutan dari topik Gamelan “Bukan” Musik dalam sebuah narasi santai.
***
Pagi itu, 19 Januari 2024, ketika saya terbangun dari lelap tidur di Kos Mawar Singaraja tercinta, tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara notifikasi pesan sosial media yang agak ramai. Dengan sedikit lemah, karena baru bangun tidur, saya lantas memeriksa isi pesan itu. Ternyata pagi itu, Putu Ardiyasa dan teman lainnya mengirimi berbagai hasil tangkapan layar dari gawai miliknya tentang adanya respon menarik terkait diskusi yang baru saja kami lakukan pada malam sebelumnya.
Beberapa memberi respon dengan emot menertawai, beberapa lainnya juga dengan komentar yang agak keras bikin deg-degan. Kondisi nyaman dan damai pagi itu seketika membuat saya jadi berubah agak tegang. Tidak ingin larut, kemudian saya kembali mengingat bahwa ini adalah konsekuensi logis yang harus saya hadapi ketika mengemukakan pikiran dan melakukan kritik terhadap topik diskusi Gamelan “Bukan” Musik pada malam sebelumnya. Saat itu juga saya kembali tersenyum dan semakin yakin bahwa saya merasa tidak sendirian lagi dalam gelisah pemikiran ini.
Berikutnya, seorang teman, Made Adnyana Ole (Pak Ole panggilan sayang saya), mengirimi link dua tulisan yang dimuat tatkala.co secara berturut-turut. Tulisan itu memuat beberapa poin penting pembacaan holistik penulisnya, lengkap dengan gimik dan kalimat satire untuk membedah topik diskusi Gamelan Bukan Musik.
Salah satu penulis kebetulan teman saya, I Ketut Pany Ryandi, ia seorang seniman muda juga kreator karya seni karawitan Bali yang sangat potensial dari Desa Umejero. Kebetulan desa kami juga bersebelahan. Kemudian sebuah tulisan lagi, datang dari seorang yang belum saya kenal, Gede Yogi Sukawiadnyana. Semoga melalui pesan tulisan ini kita bisa saling berkenalan.
Tanpa ingin ketinggalan, kemudian saya baca dua tulisan itu dengan agak serius. Dari kedua tulisan itu, sepertinya tergambarkan bahwa pesan substansial dari diskusi Gamelan Bukan Musik itu tampaknya masih belum terjembatani dengan baik. Tampaknya dua tulisan itu masih “gagal paham”, dan saya menyadari kenapa itu bisa terjadi.
Menurut saya, salah satu faktornya adalah penyampaian gagasan dari kedua tulisan yang hanya berpatokan pada tulisan terkait laporan diskusi di tatkala.co. Metode pencuplikan potongan diskusi sering kali memang menyesatkan, jauh dari cita holistik dan substansial dari gagasan diskusi yang sebenarnya. Seperti masih melekat dalam ingatan, sebuah kasus hukum penistaan agama yang harus dihadapi oleh Basuki Tjahaja Purnama tentu ini bukti logis kegagalan pola yang sama.
Tentu, saya tidak ingin menyalahkan pembacaan tulisan dua teman saya itu. Ucapan terimakasih dan hormat saya berikan setinggi-tinginya terhadap mereka. Pembacaan keduanya menurut saya disampaikan dengan sangat akrab, seperti biasanya seniman menyapa teman dalam kegelisahan. Sekali lagi terimakasih saya ucapkan kepada Pany dan Yogi sudah memberikan pembacaan begitu apik dan tentu saja epic, layaknya superman membelah langit.
Pembacaan mereka pada dasarnya seluruhnya mengandung intisari yang berkelindan sebagai sebuah kritik menarik dan penuh perhitungan. Semoga saya tidak lupa, secara eksplisit saya pun sudah memberikan beberapa intensitas penekanan pada nilai spesifik, yang sebenarnya sudah mereka maksudkan pada kegiatan malam diskusi. Sehingga dari sini saya menyadari semua tidak lepas dari kekurangan, keterbatasan dan kelemahan dari penguasaan saya dalam menyampaikan gagasan secara lebih lugas, sehingga ini menjadi intrik dan dilematis.
Akhirnya tulisan ini adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban pribadi saya untuk menyampaikan pesan substansial dan holistic yang sebenarnya dari topik diskusi Gamelan Bukan Musik. Semoga bahasa tulis saya ini mampu mengejawantahkan keterbatasan kemampuan bahasa lisan saya yang masih sering kali susah untuk dipahami oleh khalayak semuanya.
Sore itu, sehari sebelum acara diskusi, 17 Januari 2024, terjadi percakapan dalam sebuah perjalanan setelah menjemput seorang teman sekaligus sahabat saya, Gigih, dari Denpasar menuju Singaraja. Dalam suasana hangat seperti biasanya, kami bersenda-gurau romantik bernostalgia terhadap cerita masa lalu yang pernah kami alami.
Obrolan perjalanan intim nan-syahdu itu merupakan selipan dari materi obrolan utama kami. Obrolan utama kami sebenarnya mengenai topik diskusi yang agaknya menarik untuk disiapkan dalam program “Suluh Tulis #4”, sebagai misi kegiatan kami di Program Studi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Dalam sebuah gelak tawa tiba-tiba teman saya Gigih, sebagai musafir sejati mengawali keinginannya untuk menjadikan pengalamannya ketika berkunjung ke Bali sebagai topik diskusi.
Saat itu Gigih memulai dengan menceritakan kesan empiris pribadinya ketika dua kali berkunjung ke Bali. Sebagai sebuah cerita perjalanan yang sarat akan petualangan pengalaman dan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Gigih menyadari bahwa cerita perjalanan ini hanyalah impresi alami yang ditangkap indra dan pemikiran Gigih sendiri yang jauh dari kondisi afirmatif nilai kenyataan dan fakta.
Lantas saya tidak ingin sahabat saya kehilangan gagasannya, dengan cepat saya memberikan pandangan tentang pentingnya impresi sebagai sebuah momentum untuk mengklarifikasi fakta kenyataan. Kemudian teman saya Ardi, yang kemdian jadi pemantik dalam diskusi, sambil sibuk memegang setir mendampingi keseriusan obolan saya dan Gigih dengan kalimat, “Santai saja, kan kita ngobrol di warung kopi. Tapi meski begitu tetap mengandung gagasan penting untuk pengetahuan dan kebudayaan ala Rumah Hitam. Rumah Hitam adalah sebuah rumah yang menjadi tempat diskusi kami dengan beberapa teman ketika dulu sama-sama berkuliah di Sewonderland Jogja.
Gigih kemudian melanjutkan ceritanya, kalau dia belum sempat menyaksikan pertunjukan atau mendengar bunyi gamelan dalam kunjungannya ke Bali kali ini. Gigih menceritakan hanya sempat mendengar sekali saja, itu pun dari gamelan yang diputar menggunakan dengan alat pemutar suara. Tentu saja Gigih yang sangat pragmatis tentang kerinduannya dengan bunyi gamelan itu mengandung kelemahan akan kekuatan data fenomenologis.
Tanpa tendensi melebihkan saya kemudian menyarankan untuk mengambil topik prihal kondisi perkembangan pengetahuan gamelan di Bali dengan menggunakan pengantar impresi empiris yang Gigih alami. Seketika itu saya menawarkan topik “Gamelan Bukan Sekadar Musik” sebagai bahan diskusi yang penting dan menarik menurut saya.
Ardi dan Gigih dengan agak mengerutkan alis bertanya sebenarnya apa maksud saya. Kemudian saya menjelaskan landasan pemikiran topik itu secara singkat bahwa perlu adanya diskusi lebih lanjut terkait pentingnya kesadaran atas kondisi perkembangan pengetahuan gamelan (karawitan) yang seringkali dipersekusi dengan menyandingkannya dengan cabang ilmu pengetahuan lain, yang sudah begitu mapan yaitu musikologi.
Pada fenomena ini, pada kondisi praktis dan kondisi teoritis tertentu, seringkali pengetahuan gamelan (karawitan) dipadu-padankan dengan konsep dan teori yang ada dalam pengetahuan musikologi, yang seringkali juga tidak tepat secara definisi maupun konsep dasarnya.
Sekilas saya mengingat tulisan Ketut Ardana, Ardana berpendapat, permasalahan teks (intramusikal) dalam konteks karawitan sering kali dipadankan dengan fenomena musik barat (musikologi) meskipun terkadang kurang tepat karena beberapa permasalahan yang spesifik dan konkrit dalam karawitan sangat berbeda dengan musik Barat (Ardana, I Ketut: 2022).
Fakta fenomenologis ini secara koheren menyiratkan kondisi pengetahuan gamelan (karawitan) belum memiliki basis pendekatan dan teori yang cukup kuat sebagai sebuah pengetahuan. Pengetahuan gamelan (karawitan) memerlukan upaya dan aksi yang lebih intensif dalam rangka mengisi kekosongan konsep dan teori yang ada dalam diri karawitan itu sendiri.
Mau sampai kapan pengetahuan karawitan harus diperkosa oleh pengetahuan lain? Mengapa kita tidak percaya diri untuk terus mengembangkan dan menggali kekosongan teoritis yang murni dimiliki oleh pengetahuan gamelan (karawitan) dengan latar konteks aslinya? Setidakpercayadiri itukah kita? Kemudian saya mengakhiri argumen saya.
Gigih kemudian tersenyum mendengar argumen saya, sambil berkelakar Gigih menyatakan faham betul maksud saya, namun dia menambahkan kalau topik itu penting, tapi redaksinya kurang pragmatis sebagai upaya untuk mengkomunikasikan alarm tanda bahaya, Gigih mengakhiri sambil tertawa lepas.
Dengan wajah yang tiba-tiba serius dan penuh pertimbangan, kemudian Gigih menawarkan untuk mengubah redaksi topik diskusi tersebut dengan Gamelan Bukan Musik sebagai upaya progressive yang kami upayakan untuk memperoleh respon yang lebih luas dan substansial terhadap diskusi ini.
Gigih beralasan untuk mengukur arti penting topik tersebut, harus melalui pergerakan yang lebih progressive dan tendensius. Gigih menambahkan kita harus siap dicaci-maki dan diperdebatkan untuk menumbuhkan upaya diskusi yang lebih aktif dan kontributif terhadap permasalahannya.
Seketika itu juga, tanpa berpikir panjang, dan dengan semangat penuh kesadaran, saya nyatakan bersedia untuk menemani Gigih menyampaikan pesan topik diskusi ini.
***
Pengetahuan musik di Barat, memiliki sejarah pengetahuan panjang dan mapan pada setiap masanya. Pengetahuan musik tersebut tentu mengikat pada konteks budaya musiknya. Sejarah mencatat pengetahuan musik mengalami titik kemapanan menonjol sebagai studi ilmiah yang mandiri pada tahun 1863.
Saat itu untuk pertama kalinya seorang ilmuan musik bernama F. Chrysander merumuskan studi ilmiah dalam bahasa Jerman yaitu musikwissenchaft (baca: ilmu musik “musikologi”). Chrysander ketika itu secara mendasar memberikan tawaran khusus terkait sebuah studi ilmiah yang diistilahkan sebagai musikwissenchaft dalam bahasa Jerman.
Pemikiran Chrysander tersebut dituangkan dalam sebuah buku tahunan untuk pengetahuan musik yang berjudul Jahrbucher fur musikalische Wissenschaft. Chrysander juga menegaskan bahwa ilmu musik yaitu musikologi harus diterima sebagai ilmu, sehingga studi musik harus mengacu pada standar metodelogi ilmu yang ketat.
Berikutnya, pertengahan abad ke 19, merupakan perkembangan pesat musikologi modern, dengan pendeketan yang sifatnya lebih praktis dan fenomenologis terhadap kajian historis tradisi musik barat di masa lalu. Musikologi modern merupakan dedikasi tokoh pemikir seperti Samuel Wesley dan Felix Mendelssohn terhadap kajian karya dari komponis-komponis di masa lalu dari abad pertengahan hingga renaisans. Seperti pembacaan atas pengetahuan yang terkandung dalam karya-karya musik clasik dari George Frideric Handel, Johan Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart dan lain lain.
Walaupun istilah musikologi dianggap lahir pada saat itu, namun perlu mendapat penebalan bahwa studi ilmiah terhadap musik sebelumnya sudah selalu dikembangkan secara aktif dan intensif sebagai objek kajian. Musikologi menjadi ilmu pengetahuan mandiri merupakan hasil dari upaya panjang dan serius terhadap penggalian pengetahuan baik secara teori maupun praktis. Kendati musikologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang kita ketahui terus berkembang mutakhir, ternyata tetap melalui proses yang begitu panjang. Sehingga musikologi sebagai ilmu musik memiliki basis pendekatan maupun dasar teoritis yang jelas dan berkembang organik sebagai pengetahuan.
Sejarah singkat tentang musikologi seperti telah dijelaskan, merupakan buah kerja keras dan sumbangsih pengetahuan para ilmuan musik yang tiada hentinya berusaha menggali kekosongan teoritis dalam musik mereka. Sehingga jelas perlu diingat bahwa musikologi merupakan anak kandung dari musik dalam konteks budaya mereka.
Kemudian pertanyaan saya, apakah gamelan mampu menjadi seperti musik dengan ilmu musikologinya? Tentu susah jika upaya kita selalu mempersepsi bahwa pengetahuan gamelan tetap membutuhkan pembenaran dari musikologi. Menurut saya upaya ekstraksi atas pengetahuan gamelan layak untuk dilepaskan dan dibebaskan dari musikologi. Pendapat saya ini merupakan cerminan positif dari sejarah perkembangan pengetahuan musik menjadi musikologi yang saya jelaskan sebelumnya.
Perlu diakui nilai-nilai pengetahuan gamelan sudah berkembang mutakhir secara praktis namun lemah secara teoritis. Ingat, lemah bukan berarti tidak ada upaya sama sekali dari praktisi dan ilmuwan gamelan (karawitan), namun kritik saya adalah perlu adanya upaya yang lebih masif dan intensif terhadap permasalahan teoritisnya.
Jangan lupakan istilah karawitan di masa lalu merupakan upaya para pemikir kita untuk menyediakan wadah pengetahuan kepada gamelan. Begitu juga upaya-upaya ilmuwan dan pemikir setelahnya yang mencetuskan istilah karawitanologi sebagai langkah serius mereka untuk meraih kesepadanan dengan musikologi. Dukungan atas langkah scientific untuk pengembangan terhadap ilmu pengetahuan gamelan (karawitan) perlu untuk mendapat apresiasi yang lebih tinggi. Upaya ekstraksi terhadap pengetahuan gamelan perlu untuk selalu dimutakhirkan, tentu membutuhkan kesadaran tinggi atas nilai penting pengetahuan ini sebagai studi ilmiah yang mandiri.
Kondisi gamelan (karawitan) seringkali menjadi bahan jualan romantis dan cenderung memabukkan bagi para pecintanya. Sehingga upaya kritis menjadi langkah yang seringkali dihindari sebagian pihak berkepentingan. Alih-alih membangun dengan bergumam atas gamelan yang selalu baik-baik saja, tapi melupakan kritik sebagai langkah pasti keberlanjutan. Sihir imajiner gamelan sebagai sesuatu yang aman dan nyaman, merupakan boomerang yang bisa balik menyerang kapan saja.
Perkembangan pengetahuan gamelan (karawitan) tentu semakin jauh dari harapan jika kita selalu bergumam romantis terhadapnya. Karena gamelan (karawitan) sejatinya tidak butuh sosok superman yang masih pakai celana dalam di dalam celana (malu-malu kucing). Tapi gamelan (karawitan) membutuhkan langkah-langkah kritis krusial tepi jurang untuk menjaga azas perkembangan pengetahuannya.
Akhirnya tulisan ini harus saya akhiri dengan penuh harapan akan langkah untuk dilanjutkan oleh khalayak sekalian. Sekali lagi diskusi dan tulisan saya terkait topik Gamelan Bukan Musik merupakan upaya saya untuk melepas dahaga kritis terhadap kondisi pengetahuan gamelan yang cenderung kekeringan. Kondisi teoritis pengetahuan gamelan masih jauh dari nilai, fungsi dan manfaat gamelan dalam kondisi praktis.
Sebagai sebuah langkah kritik tentu diskusi dan tulisan ini masih jauh dari kandungan solusi yang terstruktur dan metodologis. Semoga saja tulisan ini bisa menjadi obat penenang dari cendekia sekalian. Setelah relaks mari kita mulai lagi. Karena sekali lagi saya ingin sampaikan bahwa langkah untuk mengembangkan pengetahuan gamelan (karawitan) menjadi studi ilmiah mandiri tentu sangat membutuhkan langkah tiada hentinya dari seluruhnya yang berkepentingan.
Demikian cerita saya sebagai orang biasa yang lahir, hidup, dan berkembang dari kecintaan sejati saya terhadap gamelan. Yakinlah, saya sebagai anak kandung yang lahir dari rahim gamelan tentu tidak akan menjadi anak durhaka terhadap pengetahuan gamelan (karawitan). Menjaga tata laku, pikiran dan wicara merupakan upaya orang biasa ini sebagai anak kandung yang selalu berusaha harmonis terhadap sesama. Sebagai akhir, semoga esai dan kritik saya ini bisa menjadi bahan renungan kita pecinta gamelan semuanya. [T]
- Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari polemik Gamelan Bukan Musik. Untuk mengetahui secara lebih lengkap, baca juga artikel di bawah ini: