HUJAN baru saja reda, saat anak-anak itu selesai berias. Mereka mengenakan busana macam-macam. Ada yang memakai gelungan dengan motif yang rumit, ada pula yang cukup mengenakan udeng sederhana di kepalanya.
Seorang remaja melintas, membawa gender—alat musik pukul logam yang menjadi bagian dari perangkat gamelan Jawa dan Bali—di pundaknya. Dengan hati-hati ia melangkah. Sesekali mencoba menghindar dari kubangan-kubangan air di paving yang amblas dan tak rata. Temannya yang usil mencoba menggodanya sembari tertawa. Remaja malang itu pasrah, saat jari-jari temannya menggelitiki pinggangnya. Ia mencoba memberontak, tapi beban berat di pundaknya adalah kemustahilan. Mereka berdua tertawa.
“Sini, kalian kumpul dulu,” ujar seorang pemuda berkaca mata meminta sekumpulan anak laki-laki yang sedang bercanda itu berkumpul di depan kori agung di madya mandala Puri Kanginan Buleleng. Pemuda itu seperti induk ayam yang cemas sebab anak-anaknya berlalu-lalang ke sana-ke mari. Ia menggerakkan lengan seperti hendak memeluk. Anak-anak kecil itu menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
“Buat dua kelompok, ya. Yang ini empat, yang ini lima,” katanya sembari membagi sembilan anak itu menjadi dua kelompok. Sebelum membubarkan, pemuda berkaca mata itu meminta anak-anak mengingat baik-baik kelompoknya. “Jangan sampai tertukar,” sambungnya tegas.
Malam sudah beranjak. Awan hitam kembali mendaulat langit. Di atas puri yang bersejarah itu, langit benar-benar gelap. Seorang dosen muda bertubuh tambun yang mengantar anaknya terlihat cemas. “Sepertinya hujan akan turun lagi,” ia berkata kepada dirinya sendiri. Dan benar, langit kembali bocor. Anak-anak, remaja, orang tua, segera mencari tempat berteduh. Padahal, pementasan malam itu hendak dimulai.
Foto: Hizkia tatkala.co
Ya, anak-anak itu, memang sedang bersiap untuk pentas tari di Puri Kanginan Buleleng, tepatnya di kanista mandala atau pemedal agung, Minggu (21/1/2024) malam. Mereka merupakan anak didik dari Sanggar Seni Santhi Budaya yang dibina dan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Eka Prasetya, pemuda berkaca mata yang meminta anak-anak untuk berkumpul tadi. Pentas tari ini termasuk ke dalam program “Langu Budaya” yang diselenggarakan setiap minggu di Puri Kanginan.
“Kami mulai program ini pada bulan Juli 2023. Dulu, selama tiga bulan, kami coba selenggarakan satu bulan sekali setiap minggu ketiga. Tapi karena antusias yang tinggi dan jumlah siswa di sanggar banyak, mulai bulan Oktober, langu budaya ini diadakan sekali dalam seminggu di hari Minggu,” Gus Eka menerangkan sesaat setelah seorang anak didiknya menyapanya.
Hujan mulai reda. Beberapa remaja menguras genangan air di pemedal agung—panggung pementasan—menggunakan sapu. Pementasan dimulai. Seperangkat gamelan dibunyikan. Penonton mencari tempat terbaik masing-masing sebelum duduk dengan nyaman. Beberapa orang tua cemas menunggu putra-putrinya muncul dari balik pintu gerbang dengan pakaian dan riasan yang khas.
Di atas panggung, secara bergiliran, anak-anak menarikan tarian kuno seperti Legong Kraton dan Baris Tunggal. Tak hanya itu, mereka juga mementaskan Tari Manuk Rawa dan Tari Margapati—yang kata Gus Eka disebut tari kekebyaran.
Anak-anak dari kelas pemuda, dasar, dan menengah itu tampil dengan percaya diri yang nyaris tak terbendung. Meski ngumbang, agem, angsel, piles, dan ngeseh-nya masih belum sempurna, mental mereka sudah jelas terbentuk. Tak ada anak yang kelihatan gerogi atau demam panggung. Mereka semua tampil layaknya seorang maestro—walaupun dengan tingkah-laku yang mengundang gelak-tawa.
Penonton tepuk tangan. Penabuh gamelan bersemangat. Orang-orang tua terpukau, dan mungkin sedikiit tak percaya, melihat putra-putrinya melenggak-lenggok menarikan tarian Bali. Pementasan malam itu cukup membuat decak-kagum.
Panggung Belajar
Menurut Gus Eka, tujuan utama pementasan ini diselenggarakan adalah sebagai bentuk implementasi pengetahuan tari siswa-siswi Sanggar Santhi Budaya. Dengan kata lain, pementasan ini bisa dikatakan sebagai ujian praktek setiap anak yang belajar di sanggar yang berdiri sejak tahun 2005 itu.
“Selain itu, kegiatan ini juga sebagai bentuk pertanggungjawaban kami sebagai pengelola sanggar kepada orang tua siswa, dan sebagai ajang evaluasi selama proses latihan,” sambung Gus Eka.
Mengenai anak-anak yang berkesempatan pentas malam itu, adalah mereka yang sudah mendapat kurikulum sesuai kelompok masing-masing. Anak-anak yang mendapat kurikulum Legong, misalnya, otomatis akan menarikan tarian tradisi tersebut secara bergiliran. Begitu juga Baris Tunggal, dll. “Yang menari Baris tadi itu baru latihan selama dua bulan,” kata Gus Eka bangga.
Anak-anak Sanggar Santhi Budaya menarikan Tari Baris Tunggal / Foto: Hizkia tatkala.co
Namun, meski mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak, termasuk Puri Kanginan, tetap saja ada kendala yang harus dihadapi. Menurut Gus Eka, dana tetap menjadi kendala utama—meski sebenarnya itu tidak pernah ia pikirkan. Mengingat, pentas ini tidak menggaet satu sponsor pun. Ini benar-benar diselenggarakan secara mandiri dan hanya mengandalkan dana punia (sumbangan sukarela) dari orang-orang yang datang menyaksikan pagelaran.
“Untuk semua kostum, sanggar yang support. Kami hanya minta dana punia kepada orang tua untuk tata rias anak-anak saja,” ujarnya. “Tapi, sampai sejauh ini, astungkara, kegiatan tetap berjalan setiap minggu,” sambungnya sembari menerima salam pamit anak-anak didiknya.
Selama ini, untuk menciptakan penari-penari yang andal, yang tak hanya pandai menari tapi juga memiliki kepribadian dan perangai positif, Sanggar Santhi Budaya memiliki tiga filosofi belajar, yaitu pura, puri, putra.
Pura, sebelum berangkat dan melakukan proses latihan, pihak sanggar meminta—dengan sangat—anak-anak untuk sembahyang terlebih dahulu di rumah masing-masing. Selain di rumah mereka juga sembahyang di tempat latihan. “Ini adalah proses pertama yang harus diajarkan,” ujar Gus Eka.
Kedua, puri. Anak-anak diajarkan untuk menjaga dan merawat tempat mereka latihan. Tak hanya menjaga kebersihan tempatnya, tapi juga interaksi lingkungannya. Mereka diajarkan untuk saling sapa, menolong, dan peduli satu sama lain.
“Yang terakhir, putra. Ini adalah proses regenerasi. Jadi, anak-anak jebolan Santhi Budaya kami bekali dengan pengetahuan pengelolaan sanggar, metode belajar, dll. Supaya, harapannya, setelah berproses dari sini, mereka tidak berhenti menjadi seniman. Bahkan, beberapa dari mereka sudah membuka sanggar baru di Buleleng,” jelas Gus Eka.
Selain tiga filosofi di atas, sanggar seni yang sering hilir-mudik di panggung pentas nasional dan internasional itu, juga memiliki metode belajar bernama BEFAST (believe, exercise, active, state, teach).
Foto: Hizkia tatkala.co
“Sebelum anak-anak belajar agem kanan-agem kiri, kami berusaha untuk meyakinkan (believe) dulu, membuat mereka senang dulu terhadap kesenian. Nah, dalam proses believe ini kami juga melakukan pemisahan, atau pengelompokan bibit. Yang sudah tahu dasar-dasar tari kami jadikan satu kelompok, yang belum juga demikian, ” terang Gus Eka.
Kedua, exercise. Anak-anak mulai latihan menari. Dari olah tubuh, agem, dan segala sesuatunya. Dalam proses ini, pihak sanggar mulai megarahkan anak-anak untuk memilih fokus masing-masing. “Mau tarian yang halus, apa yang keras. Mau fokus menari, tata rias, atau kedua-duanya,” kata Gus Eka. Artinya, anak-anak Sanggar Santhi Budaya tak hanya—meminjam bahasa Gus Eka—“didoktrin menjadi penari saja”, tapi juga dibimbing ke arah bidang yang diminati si anak.
Ketiga, active. Proses menumbuhkan inisiatif belajar di luar sanggar kepada anak. Keempat, state. Memberikan pengalaman dan ujian yang tak terduga untuk anak-anak. Dalam bahasa lain, menumbuhkan kesiapan-mental anak-anak terhadap perubahan yang terjadi secara tiba-tiba, improvisasi. Kelima, teach. Proses anak-anak diajarkan belajar-mengajar, menjadi guru, pelatih. “Ini bentuk regenerasi yang saya maksud di awal tadi,” ujar Gus Eka.
Dengan berjalannya program Langu Budaya ini setiap minggu, Gus Eka berharap, semoga kesenian tradisi di Singaraja bisa sepopuler kesenian tradisi di Bali Selatan. Untuk kalimat terakhir ini ia ucapkan dengan sungguh-sungguh.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole