GEJALA sastra di Bali hari-hari ini, khususnya karya-karya sastra yang dihasilkan oleh perempuan penulis, memperlihatkan berlangsungnya suatu evolusi terkait peran dan identitas perempuan Bali. Evolusi ini tidak lebih baik atau lebih buruk, tetapi hanya berbeda kecenderungan fokusnya dari periode sebelumnya.
Makin banyak perempuan penulis dari Bali yang berusia relatif muda dan memperlihatkan harapan. Namun, watak paling menonjol dalam kecenderungan baru ini adalah kemampuan berjejaring. Mereka, para penulis generasi masa kini itu, bukan hanya mampu menulis sastra dengan baik.
Para perempuan penulis Bali kini mampu memenuhi ruang-ruang literer dengan mendayagunakan jejaring yang mereka bentuk dan raih sendiri seiring mengaburnya batas-batas. Bagi mereka, seolah-olah tidak ada lagi pemikiran yang out of the box karena pada kenyataannya saat ini there is no box anymore.
Termasuk dalam pemilihan tema atau gaya ungkapan sastra, batas-batas konvensional makin lentur dan cenderung membebaskan. Kemampuan untuk mencipta karya dengan lebih bebas dan menggunakan berbagai media publikasi yang ada itu pada gilirannya membuat perempuan penulis Bali tampak sangat berdaya.
Terkait pemilihan tema, misalnya, isu adat, kasta, dan partriarki tidak lagi dominan. Perempuan penulis Bali baru tampak lebih rileks, menerima, dan tidak mempersoalkan hal-hal yang dulu menjadi “momok” di Bali. Mereka bahkan memperluas mata air bacaan dan pengalaman, menerapkan perspektif budaya dan ilmu dari sistem kultural lain, dan mengalirkan hasil ciptaannya dengan mengoptimalkan jejaring.
Pembacaan secara umum di atas adalah hasil pengamatan terhadap beberapa perempuan penulis Bali. Setidaknya ada lima penulis yang cukup merepresentasikan gejala evolusi sastra baru ini, yaitu Ni Made Purnamasari, Desi Nurani, Devy Gita, Wulan Dewi Saraswati, dan Kadek Sonia Piscayanti.
Di dalam perkembangan saat ini, karya sastra yang ditulis oleh perempuan penulis Bali generasi saat ini bukan hanya menjadi sastra yang sekadar teks, namun juga bekerja dengan konteks. Ide sastra mengambil wadah yang berbeda dan memberikan pengalaman yang berbeda. Barangkali cukup aman jika kelima penulis di atas dipilah menjadi dua kelompok, yaitu penulis yang fokus pada teks (Ni Made Purnamasari, Desi Nurani, Devy Gita) dan konteks (Wulan Dewi Saraswati, Kadek Sonia Piscayanti).
***
Berikut ini pemeriksaan yang lebih mendalam.
Ni Made Purnamasari
Merujuk kepada bagian kedua, yaitu “Kampung Halaman”, dalam kumpulan antologi puisi tunggalnya yang berjudul Kawitan, Made Purnamasari mencoba menengok kembali akar dirinya. Dapat dikatakan, puisinya diciptakan tak jauh-jauh dari lingkungan tempat ia mengakar dan tumbuh.
Ni Made Purnamasari
Namun, Purnama tampak jelas punya keinginan kuat untuk menjelajahi ruang-ruang liar yang baru dan menembusi batas-batas pengetahuan-pengetahuan yang belum (atau mungkin sedang) didapatkannya. Si penyair menyediakan ruang luar dan ruang diri di dalam setiap pertemuannya. Ia menggambarkan dirinya bagai seekor Kasuari yang terbang mengembara dengan riang.
Kasuari
Seekor Kasuari mengembara
Pada tenun yang belum selesai disusun
Ruhnya piatu, bagai menyusur rimba raya
Mencari bulan yang dulu dikenang
Ketika terlahir sendirian, dikepung gigil malam
Dan ibu mati diburu
Bertemu ia dengan kuda-kuda
Liar berpacu dari sabana sumba
Derap derunya serupa pekik moyang kami
Melawan laju waktu, terasing dari masa lalu
Tak tercatat pada buku-buku sejarah ini
Kasuari merah pualam
Pergi ke sungai tanpa muara
Seorang bocah mengarung arus
Tawanya nyaring, mengandaikan diri bajak laut
Menyamar ikan-ikan bebatuan
Merompak mimpi segala perahu
Yang karam sebelum sampai di melayu,
Pesisir madagaskar ataupun tanah janjian nun di mana
Pandang Kausari membayang
Betapa ingin mengelana jauh
Melampaui lembaran kain tenun
Menuju hutan sebagai pulau
Bersarang di tengah kabut danau
Memanggili kerdip bintang dan ruh para moyang
Yang tak pernah menjenguknya barang sekali
Demikianlah saban malam
Menyusur tenun yang belum usai itu
Ia mencari rumah muasal yang dulu
Entah di lembah mana, ngarai gunung yang mana
Sementara embun membasuhnya pelan-pelan
Serupa air mata dewata
(Ni Made Purnamasari, Kawitan, 44-45)
Memang segala sesuatu menjadi lain ketika dilihat dari tempat yang tinggi. Langit tampak lebih dekat dan seolah-olah lebih mudah untuk digapai. Lanskap di bawah mengecil, namun sekaligus memberikan pemandangan yang lebih luas, yang selanjutnya memungkinkan persepsi atas ruang dan kenikmatan visual yang lebih utuh. Warna dan bentuk tampil bukan sebagai warna dan bentuk tunggal, melainkan sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan dari bagian-bagian lain yang membentuk komposisi keseluruhan.
Oleh karena itu dia yang berada di tempat tinggi pada dasarnya adalah subjek yang kuat dan dominan. Dominasinya diperoleh karena dia dapat memandang (watch) pada ruang yang lebih luas. Sehingga, ketika memutuskan untuk bertindak, dia dapat melakukannya dengan sangat cepat: ketika melesat, dia melesat bagaikan halilintar yang tegas dan pasti untuk mencapai tujuannya. Purnama mampu merepresentasikan dominasi-dominasi itu.
Desi Nurani
Dalam cerpen Manisan Gula Merah Setengah Gigit, Desi mencoba menjadi laki-laki dengan karakter yang bernama Alan. Alan ditinggalkan oleh Ibunya, yang akhirnya menjadi penulis yang digemari oleh Alan. Alan hanya hidup berdua dengan ayahnya. Itulah yang menyebabkan si penulis mampu melintasi batas antara laki-laki dan perempuan. Penulis mampu menjadikan dirinya sebagai subjek di mana yang=feminin dan yang-maskulin lebur di dalam karya ini:
Aku tidak dapat membendung perasaan macam apa ini di dadaku ketika mengucapkan namanya. Ia mengangguk dan balik bertanya.
“Kau?” ia masih nampak heran. “Alan, aku Alan.”
Matanya terbuka lebar dan masih terdiam. Aku mengulang lagi namaku dan mengatakannya, “Aku penggemarmu.”
Ia masih nampak diam sambil menatapku dalam, tapi kemudian ia menarik nafasnya. Aku menyodorkan buku dan ia memberi tanda tangannya.
“Terima kasih,” kataku sambil tersenyum kemudian berpamitan. Aku tahu ia menatapku, jadi tak kubalikkan badanku.
Sampai aku benar merasa telah sedikit jauh darinya. Ia kembali pada penggemar lainnya. Aku ingin menatapnya sebagai penggemar kini. Sebagai kerinduan yang selalu aku ingin datangi dan temui. Kubuka kembali buku yang ia tanda tangani. Ada catatan di atas tanda tangannya.
Seperti kenangan, pertemuan denganmu seperti mimpi yang tidur lama, juga harapan yang selalu tumbuh. Terima kasih telah memberi namamu pada pertemuan kita.
(Manisan Gula Merah Setengah Gigit, Desi Nurani, 2020 hal. 19)
Desi Nurani
Di dalam cerpen ini, dengan menjadi tokoh laki-laki, si penulis bisa lepas dan bebas membahasakan tentang tokoh perempuan lainnya, yaitu ibunya, yang ternyata adalah seorang penulis yang ia gemari.
Devy Gita
Sastra bukan hanya bisa maujud dalam bentuk puisi, cerpen, atau novel, tetapi juga bentuk lain. Devy Gita menjadi unik karena dia bisa menulis cerita-cerita horor dan juga mempublikasikannya di laman twitter atau X. Mungkin, baginya, kapasitas ruang dalam twitter yang sedikit (yang hanya mampu menampung 160 karakter) bisa menjadi ruang alternatif baginya untuk menjembatani cerita-cerita yang ingin disampaikannya, yang berupa fragmen-fragmen horor.
Devy Gita
Twitter, bukan hanya soal perbedaan ruang/ media yang digunakan, tetapi keunikan untuk memfragmentasikan cerita berdasarkan keterbatasan satu tweet dan membuatnya menjadi threads (twitt berangkai) seperti cerita bersambung yang ada di koran-koran, bisa jadi cerita-cerita yang disampaikan di twitter terkadang justru membuat rasa penasaran dalam membacanya, jadi mengajak pembaca untuk membacanya secara tuntas.
“Aku memang percaya dengan keberadaan makhluk alam lain. Juga orang-orang yang mempelajari ilmu. Namun, aku tidak merasa takut. Aku melewati jalan itu dengan tenang dan mengklakson beberapa kali saat memasuki jalan itu.”
“Tapi tiba-tiba aku mendengar suara seperti suara monyet di sebelah kiri. Aku menoleh, tapi tidak apa-apa. Saat itu aku mengendarai motorku dengan pelan karena jalan cukup licin setelah hujan. Suara monyet terdengar lagi, namun aku masih tidak melihat apa-apa. Hanya saja, di dalam kepalaku, ada seekor monyet berukuran tinggi seperti anak SD, dengan ekornya yang panjang dan buku hitam pekat. Aku tidak memedulikan hal tersebut dan akhirnya sampai di rumah dengan selamat.”
(Jalan Tua, Devy Gita)
Wulan Dewi Saraswati
RUPA-RUPA KEDUKAAN
Mayor Hermit Death
KEDUKAAN I
Mungkinkah wajah ayah di mata ibu tetap sama?
seekor ayam tanpa darah terkapar di ranjang
tak guna taji di kaki, bila kiamat
masih berwujud nadi pertarungan
tentang kemenangan yang disasati petaka
tentang kepak-kepakan nelangsa
bagi segala sujud kekalahan
KEDUKAAN II
Seorang panglima datang menunggang kuda,
membawa bendera kematian, memanen jiwa-jiwa derita
kontestasi luka, liang-liang kehilangan
diupacarakan
KEDUKAAN III
Mengapa kecewa hanya mengenali kegelapan?
amarah tak menjadi nyala pagi
hampa yang hadir tak lantas jadi puisi.
Mungkinkah ini sebuah kutuk yang bervariasi?
menjadi masa lalu, masa kini, masa nanti
tanpa tahu apa niscaya yang sejati?
KEDUKAAN IV
Rancangan manusia adalah berlatih kematian
mengamati napas, menghayati kehilangan
kerangka rusuk yang akan rapuh dikoyak kremasi
lemak tubuh menyusut, kenangan hanyut
hanya ada debu
hanya menjadi butiran halus
tanpa memori, tanpa rasa sakit di ulu hati
segalanya asap
melesapkan doa
pengiring masuk kerajaan abadi
KEDUKAAN V
Perpisahan tidak butuh bertanya kesiapanmu
mustahil bila air matamu tak jatuh
menolak kepedihan adalah ilusi
kehilangan ini penuh rahasia, namun mujarab
menyiasati karma yang tak perlu terjadi
lambankan tangis,
Pertemuan memang ingin bercanda, sesekali
Di dalam puisi ini, Wulan mencoba merespons kartu-kartu tarot dan mentransformasinya sehingga menjadi lukisan dari perasaan-perasaan yang kemudian dituliskan menjadi puisi. Suka, Duka, Lara, dan Pati bisa melebur di dalam sebuah medium, menjadi semacam pendulum yang secara bergiliran tampil dalam bangunan puisi.
Wulan Dewi Saraswati
Tampaknya Wulan memandang konteks tarot sebagai suatu kesatuan kesenian yang dapat membawa pengaruh baik dalam proses terapi penyembuhan. Tidak hanya pada spektrum autisme, Aghumi, komunitas yang didirikan oleh Wulan, juga membuka percakapan dan diskusi dengan orang tua yang memiliki anak autis. Beban psikis orang tua cukup berat sehingga kadang harus dibuat wadah khusus untuk mereka.
Kadek Sonia Piscayanti
Sonia bukan hanya menghubungkan sastra berdasarkan teks saja, tetapi juga melakonkan sastra sebagai konteks. Di dalam 11 ibu, 11 panggung, dan 11 kisah, sastra tetap menjadi akar yang bisa mendekatkan orang-orang yang tidak membaca teks sastra. Media menjadi penting, bukan hanya sebagai tempat mencurahkan segala penat, tetapi bagaimana sastra menjadi media atau ruang dengar yang nyaman bagi orang-orang yang jauh dari latar belakang sastra. Upaya mentransformasi teks sastra menjadi konteks sastra menjadi menarik karena membuat sastra menjadi kaya, dan memberikan dampak yang nyata di dalam kehidupan masyarakatnya.
***
Melihat sampel-sampel di atas, tampak bahwa para perempuan penulis Bali hari ini bisa berkarya ke arah mana saja, dengan bahasa dan style mereka sendiri, mengepakkan sayap mereka sendiri. Pertanyaan yang selanjutnya sangat mengusik adalah: mengapa demikian? Mengapa kecenderungan gejala “evolusi baru” tersebut bisa muncul?
Tentu bisa diajukan banyak dugaan dan/atau penjelasan. Namun, perlu ditekankan bahwa karya sastra memiliki sifat atau kualitas personal sekaligus kolektif, namun keberadaannya diawali oleh subjektivitas pencipta yang menuliskannya dalam bentuk teks. Hanya, “subjektivitas” ini ternyata juga dibentuk secara dialogis oleh habitus.
Kadek Sonia Piscayanti
Habitus menurut Pierre Bourdieu adalah “a subjective but not individual system of internalised structures, schemes of perception, conception, and action common to all members of the same group or class” …. “These ‘internalised structures’ and ‘schemes of perception’ structure the subject’s (shared) world-view and their ‘apperception’ of the world in which they suppose they exist”. (… adalah sebuah sistem subjektif, tetapi tidak bersifat individual, dari struktur-struktur yang terinternalisasi, skema persepsi, konsepsi, dan tindakan yang lazimnya terdapat pada semua anggota kelompok atau kelas yang sama” …. “‘Struktur-struktur yang terinternalisasi’ dan ‘skema persepi’ ini membentuk struktur pandangan dunia subjek (bersama) dan ‘apersepsi’ mereka tentang dunia di mana mereka berada.)
Perubahan sosial pesat yang dilapangkan jalannya oleh teknologi informasi terkini, terutama internet dan media sosial, tampaknya menciptakan habitus baru bagi para perempuan penulis Bali generasi baru ini. Habitus ini katakanlah berbeda dari habitus yang melatari generasi perempuan penulis sebelumnya. Sehingga, muncullah gejala seperti yang diungkapkan di awal tulisan ini, yaitu pemilihan tema dan bentuk sastra yang lain dari generasi sebelumnya. [T]
- Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara diskusi pada Festival Bali Berkisah di Denpasar, Desember 2023
- BACA artikel dan puisi dari penulis PRANITA DEWI