”PASTI kamu bisa nyantet, ya? Kan kamu orang osing.”
Kira-kira, begitulah ejekan yang keluar dari mulut teman-teman setelah tahu kalau saya berasal dari Banyuwangi dan bersuku Osing. Tetapi, saya tahu itu hanya bercanda; jadi saya hanya menanggapinya dengan tertawa atau kadang saya jahilin balik dengan jawaban, “Iya. Awas nanti di perutmu berisi tabung gas LPG 3 kg!”
Namun, meski bercanda, kadang saya dibikin sedikit tidak nyaman ketika ada orang yang baru pertama kali bertemu dan belum kenal, dan baru mengetahui saya berasal dari Banyuwangi, dengan entengnya ngomong, “ Oh, Banyuwangi, ya? Bisa santet orang, dong?” Hmm… sial betul.
Saya merasa jengkel bukan karena tuduhan-tuduhan yang sudah katrok itu; tapi karena pengetahuan mereka tentang seputar ilmu magis dari Banyuwangi hanya sebatas itu-itu saja. Padahal, Banyuwangi itu tidak melulu sekadar santet saja, apalagi Suku Osing, masih banyak ilmu magis lainnya.
Misalnya, kalau mau memperdaya orang lain, ada ilmu lintrik, namanya. Sedangkan untuk membuat lawan jenis tergila-gila sama kita, ada ilmu jaran goyang, atau bisa juga menggunakan ilmu sabuk mangir, dan masih banyak yang lainnya.
Maksud saya begini loh, bukan mau sombong atau bagaimana, kalau kalian ingin belajar tentang ilmu-ilmu tadi, ilmu selain santet maksudnya, kalian bisa datang ke tempat saya. Tapi, ada syarat yang harus dibayar. Kalian harus membawa ayam satu ekor. Ayamnya bebas warna apa saja, tidak harus warna hitam. Lalu beras secukupnya dan bumbu-bumbu pelengkap lainnya. Nanti, kita bisa makan-makan bersama. Lumayan, kan? Oh iya, soal ilmu-ilmu yang tadi bagaimana? Ah, lain waktu saja itu dibahas, yang terpenting adalah makan terlebih dahulu. Hehe.
Sebenarnya, istilah santet adalah istilah bahasa Indonesia dengan pengertian ilmu hitam. Namun, dalam budaya masyarakat Banyuwangi, santet mempunyai pengertian yang amat jauh dari sekadar ilmu hitam. Dalam kebudayaan masyarakat Suku Osing, misalnya, santet merupakan ilmu pengasih. Dan santet sebagai ilmu pengasih masih sering digunakan oleh remaja Banyuwangi untuk membuat atau menambah kasih sayang dari orang yang mereka inginkan.
Pada dasarnya, ilmu hitam itu ada di mana-mana. Di Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi, sampai Papua ada ilmu sejenis itu—tentu dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebut teluh, tenung, leak, begu ganyang, suwanggi, dan lain sebagainya, dan untuk di Banyuwangi, orang lazim menyebutnya sihir.
Meskipun mayoritas masyarakat Banyuwangi memeluk agama Islam, tapi mereka masih mempercayai adanya kekuatan lain yang bersumber dari budaya spiritualis gaib, yakni ilmu putih atau ilmu gaib produktif dan ilmu gaib penolak bala.
Menurut Koentjaraningrat—seorang antropolog Indonesia—bahwa ilmu gaib produktif meliputi segala ilmu gaib yang bersangkutan dengan aktivitas produksi pertanian, perikanan, peternakan dan perburuan, kemudian juga ilmu gaib yang berhubungan dengan pertukangan, kerajinan dan perdagangan. Sedangkan ilmu gaib penolak bala merupakan segala perbuatan ilmu gaib untuk menghindari dan menolak bencana hama pada tumbuh-tumbuhan, dan hewan, atau juga untuk sarana penyembuhan.
Memang benar, jika berbicara santet, sihir, atau ilmu pengasih Banyuwangi, maka tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur pendukungnya, yakni adanya kelompok masyarakat asli yang mendiami daerah ujung timur Pulau Jawa itu—yang dikenal dengan sebutan Suku Osing atau lare Osing atau wong Blambangan.
Masyarakat Osing merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Banyuwangi. Secara geografis, Suku Osing mendiami wilayah Banyuwangi yang tersebar di beberapa kecamatan, seperti Glagah, Giri, Rogojampi, Kabat, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng.
Pada dasarnya, kata “osing” jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “tidak”. Kata tidak dimaksudkan bahwa Suku Osing tidak berasal dari Jawa maupun Bali. Terminologi ini muncul dari kata “sing” atau “usinghing” yang berarti tidak—tidak di sini merujuk pada tidak melarikan diri sewaktu berperang melawan VOC, perusahan dagang Hindia Belanda.
Theodor Gautier Thomas Pigeaud, ahli sastra Jawa dari Belanda, menjelaskan bahwa kata “osing” memiliki makna tertutup atau ketertutupan penduduk Blambangan terhadap pendatang, dan dapat juga diartikan sebagai penolakan terhadap segala sesuatu yang dibawa oleh pendatang dari luar. Meski demikian, masyarakat Osing juga menyerap berbagai budaya yang bersentuhan dengan mereka dan mengembangkannya menjadi bagian dari budaya sendiri.
Secara identitas, mereka secara tegas menyatakan perbedaannya terhadap suku Jawa ataupun Bali, sekalipun mereka berada di tanah Jawa. Secara sosial dan budaya, mereka mengembangkan identitas sendiri dan tidak mau dikategorikan sebagai sub-suku Jawa. Masyarakat Osing sendiri mulai berpisah secara budaya dimulai semenjak keruntuhan Majapahit.
Pemisahan diri dari budaya Jawa mulai muncul dan terbentuk ketika masa akhir kekuasaan Majapahit dan awal perang saudara—Perang Paregreg tahun 1404 M—serta masuknya kerajaan Islam di tanah Jawa. Keretakan hubungan Blambangan dan Jawa muncul pada saat terjadinya perang saudara di Majapahit, di mana Bhre Wirabhumi dan Wikrawardhana memperebutkan tahta.
Keruntuhan Majapahit ke tangan kesultanan Demak menyebabkan rakyat banyak mengungsi ke lereng Gunung Bromo dan menjadi Suku Tengger; ke Bali dan menetap di Banyuwangi menjadi Suku Osing. Wilayah Blambangan sendiri kemudian memerdekakan diri, membentuk kerajaan Blambangan menjadi kerajaan yang berdiri sendiri.
Meskipun demikian, kondisi wilayah Blambangan tidak berubah, dan tetap menjadi wilayah yang diperebutkan oleh berbagai kekuatan. Pada tahun 1546 M hingga 1764 M, terjadi perebutan kerajaan Blambangan oleh kerajaan-kerajaan sekitar mulai dari Demak, Mataram, hingga Bali.
Pada awalnya, masyarakat Osing merupakan komunitas Hindu-Buddha, tetapi saat ini sebagian besar Suku Osing telah beragama Islam. Namun, meski demikian, mereka tetap menjalankan berbagai tradisi dari masa Hindu. Hal itu menyebabkan Islam menjadi tersinkretis dengan budaya Osing itu sendiri.
Atas dasar adanya sinkretisme tersebut, sehingga banyak budaya Hindu yang bertahan dan menyebabkan banyaknya tradisi di masyarakat Banyuwangi yang masih mempercayai unsur mistis di dalamnya.
Penegasan mengenai perbedaan antara budaya Jawa dan Osing dapat terlihat dari struktur kehidupan sosial masyarakatnya. Suku Osing lebih egaliter. Jika dalam masyarakat Jawa terdapat konsep kawula gusti—upaya pemisahan struktur masyrakat berdasarkan kasta dan kedudukan—sedangkan dalam struktur masyarakat Osing juga terdapat kiai dan priyayi, tetapi kedua golongan tersebut tidak memiliki pengaruh sekuat di Jawa, yang menyebabkan kuatnya egalitarianisme masyarakat Osing dibandingkan masyarakat Jawa.
Sebentar, kok pembahasannya melebar, ya?Maap-maap, mari kembali ke dukun santet saja.
Ya, saya sadar mengapa Banyuwangi masih sering disebut sebagai kota santet, dan Suku Osing masih sering pula dicap sebagai perkumpulan orang-orang mistis—seperti penjelasan di atas. Itu semua berawal ketika tahun 1999, disaat masa transisi kekuasaan dari zaman Pak Harto ke zaman Pak Habibi.
Dikisahkan, dalam rentang waktu bulan Februari 1998 sampai Oktober 1999, ketika Indonesia mulai mengalami kekacauan dan kerusuhan akibat krisis ekonomi dan politik yang ditandai dengan kerusuhan sosial di hampir seluruh wilayah Indonesia. Alhasil, konflik sosial yang berkepanjangan tersebut sampai di tanah Blambangan.
Meskipun di Banyuwangi pada saat itu tidak ada penjarahan dan pemerkosaan seperti yang terjadi di Jakarta, tapi apa yang terjadi di Banyuwangi saat itu tidak kalah membingungkan. Sebab, masyarakat harus dihadapkan dengan isu munculnya sekelompok orang yang berpakaian serba hitam dan membunuh orang-orang yang dituduh memiliki ilmu hitam untuk tujuan tidak baik—atau dukun santet. Orang-orang menyebut mereka: ninja.
Ketika jumlah korban dari dukun santet terus bertambah, sasaran pun meluas. Orang-orang dengan berpenampilan seperti ninja tersebut menyasar dan membunuh orang-orang yang tak bersalah lainnya, seperti guru ngaji, orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, serta masyarakat sipil biasa turut menjadi targetnya.
Teror pembantaian yang berawal dari Banyuwangi tersebut kemudian menyebar sampai ke daerah-daerah lainnya, seperti Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Malang, hingga sampai di Pulau Madura.
Ketegangan, ketakutan, dan kepanikan serta saling curiga yang semakin meluas di masyarakat, melahirkan berbagai anggapan yang menakutkan dan bombastis, seperti terduga pelaku pembunuhan merupakan seseorang yang terlatih, bergerak secepat kilat, dapat menghilang, dan mampu berjalan dan berlari serta melompati rumah-rumah warga dengan cepat—seperti ninja-ninja dari Negeri Sakura.
Mungkin, rasa trauma masalalu tersebut yang mengakibatkan masyarakat masih menganggap Banyuwangi sebagai kota santet. Meskipun, pemerintah Banyuwangi sudah melakukan pembaruan dalam banyak hal, seperti mengadakan festival-festival yang mengangkat budaya serta pariwisata Banyuwangi, tapi tidak dapat merubah citra Banyuwangi sebagai kota yang pernah gonjang-ganjing dengan isu pembantaian dukun santet tersebut.
Apalagi kemudian muncul kelompok masyarakat yang menggabungkan dan menamakan dirinya sebagai Perdunu (Persatuan Dukun Nusantara) di sebuah desa beberapa tahun silam. Alhasil, apa yang telah diupayakan oleh Pemerintah Banyuwangi dengan berbagai kegiatan festival dan mem-branding Banyuwangi dengan sebutan “The Sunrise of Java”, jangan-jangan malah diplesetkan menjadi “The Santet of Java”.[T]