“SEDINI pagi tadi, ada pesan dari Vanda, putrinda Bang Frans Nadjira, mengabarkan Abang kami, Guru yang tulus dan teguh hati, berpulang. Seketika teringat kehangatan Abang bersama Unda, selalu spontan menerima kehadiran kami. Saya sedih, teman-teman sedih, berduka.”
Ungkapan duka di atas diambil dari akun media sosial penyair Bali Warih Wisatsana. Ia mendapat kabar dan mengabarkan bahwa seseorang yang dianggap “abang” dan “guru” itu, yakni penyair dan seniman Frans Nadjira, telah kembali ke sangkan paraning dumadi.
“Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un. Telah Berpulang ke Rahmatullah, Bapak/Kakek kami Bpk. Frans Nadjira pada hari ini, jumat, jam 04:50 wita. Mohon dimaafkan segala kesalahan dan dosa-dosa Almarhum. Semoga Almarhum diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT,” tulis Warih Wisatsana sembari menyematkan tagar #dukacita #penyair #perupa #fransnadjira.
Kabar duka juga disebarkan penyair pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori puisi tahun 2009 lewat antologi “Dongeng Anjing Api” yang diterbitkan Arti Foundation tahun 2008, Sindu Putra. “PENYAIR KESAYANGAN BURUNG-BURUNG BERPULANG. Selamat jalan badik api yang ditatah dengan ombal. Frans Nadjira, 3-9-1942_12-1-2024,” tulisnya.
Melalui grup Whatsapp Jatijagat Kehidupan Puisi, sebagaimana dikabarkan Balipolitika.com, diketahui pada Jumat, 12 Januari 2024 pukul 07.32, jenazah Frans Nadjira diistirahatkan di kamar jenazah RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah alias RS Sanglah, Denpasar, Bali.
Penerima grant dari Pemerintah Amerika Serikat untuk mengikuti program penulisan kreatif International Writing Program di University of lowa, USA, tahun 1979 itu, berpulang di usia yang menginjak 82 tahun.
Jenazah maestro seni kelahiran Makassar, 3 September 1942—yang sejak muda sudah mengakrabi dunia seni, utamanya seni rupa dan sastra itu—akan disalatkan pukul 13.00 Wita (bakda salat Jumat) di Masjid Chandra Asri, Perumahan Puri Chandra Asri, Jalan. Prof. Ida Bagus Mantra, Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, dan dimakamkan pukul 16.00 Wita di Pemakaman Kampung Bugis, Jalan Pendidikan Sidakarya, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Jumat (12/1/2024).
Jalan Hidup dan Jalan Puitik
Semasa hidup, sebagaimana banyak orang mengetahuinya, Frans Nadjira mencintai seni lukis. Dalam esainya—esai yang judulnya juga dipakai dalam tulisan ini—di tatkala.co yang panjang, Raudal Tanjung Banua menulis: setamat SMA di kota kelahirannya, ia [Frans Nadjira] menghadiri kuliah di Akademi Seni Lukis (ASLI) selama beberapa bulan. Merasa kurang puas, ia memutuskan keluar dan memilih mengembara.
“Selama beberapa tahun ia mengalami banyak jenis pekerjaan buruh, baik sebagai kuli pelabuhan maupun sebagai penebang pohon besar di hutan rimba Kalimantan. Darah Bugis yang mengalir dalam dirinya kemudian mengantarnya berlayar sebagai awak kapal pinisi ke hampir seluruh kepulauan Nusantara,” tulis Raudal.
Namun, pada dasawarsa 1960-an, Om Frans—sebagaimana kawan-kawan seniman Denpasar memanggilnya, kata Raudal—bergiat pada kalangan sastra Jakarta. Tetapi, pada tahun 1974 ia pindah ke Denpasar, Bali, dan menjalani profesi sebagai pelukis dan memilih metode seni lukis otomatis (psikografi) yang ditekuni hingga akhir hayatnya, sekaligus melakukan berbagai kegiatan pengembangan sastra di Bali.
Dalam “Perjalanan Hidup, Perjalanan Puitik; Metamorfosis Frans Nadjira dari Jendela dan Sesudahnya” (2023), terkait perjalanan Om Frans di dunia kepengarangan dan seni rupa, Raudal menulis: Cerpen-cerpen awalnya yang muncul di majalah Warta Dunia, Jakarta, sekitar tahun 1961-1962 berangkat dari pengalaman hidupnya yang berat itu. Sementara lukisannya pertama kali muncul di ruang pamer tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki dalam pameran bersama Tujuhbelas Pelukis Muda Jakarta ditaja Dewan Kesenian Jakarta, juga menuangkan hasil pengalamannya mengembara.
“Ia sempat tinggal selama dua tahun di Medan, Sumatera Utara, masa yang mempertemukannya dengan seorang perempuan keturunan Minang yang kemudian ia pinang dan ia panggil dengan mesra: Unda. Panggilan sama dilakukan kawan-kawan dengan sebutan Tante Unda. Bertahun-tahun kemudian baru saya sadari bahwa itu maksudnya (B)unda. Ini mengingatkan saya pada tokoh Manus dalam cerpennya,”Menanti Manus”, tak lain maksudnya Manusia—semacam antitesa dari Menanti Godot,” tulis Raudal dalam esainya.
Menurut Raudal, Frans Nadjira adalah nama yang lekat dalam dunia sastra dan seni lukis di Bali. Di dunia sastra, ia merupakan tandem Bung Umbu Landu Paranggi dalam kerja-kerja pendampingan, apresiasi dan motivasi.
Jika Bung Umbu lebih banyak diam dan manggut-manggut membaca atau mendengar karya seseorang dibacakan, atau “menitip pesan” pada seseorang lain untuk menyatakan “sajak si anu begini, sebaiknya begitu”, Om Frans tanpa tedeng aling-aling akan menunjuk ini dan itu langsung di hadapan si empunya sajak, mencorat-coretnya jika perlu, hingga tinggal sebaris dua dan ia sentak,”Harus kejam pada diri sendiri!” (Raudal, 2023).
Di Sanggar Minum Kopi Bali, lanjut Raudal, cara tersebut populer disebut sebagai tradisi sparring partner, konon ia bawa dari Iowa City ketika ia berkesempatan residensi ke sana. Maka tak heran banyak penyair Bali sudah merasakan langsung “lekat tangan” Frans Nadjira yang mengurus sampai ke soal-soal teknis seperti pola pemenggalan dan tipografi.
Sejak tahun 1974, sebagaimana telah disinggung di atas, Frans Nadjira memboyong keluarga kecilnya pindah ke Bali, tinggal di sebuah gubuk di pantai Sanur sambil terus mengasah diri di kanvas lukis dan kertas sajak. Menulis dan melukis dua kegiatan seiring sejalan, meski di tengah kepahitan hidup dalam belantara dunia turistik Bali yang mengaburkan batas-batas idealisme seni (Raudal, 2023).
“Om Frans bertahan di gubuknya, makan nasi-garam sudah biasa. Kanvas, cat dan alat lukis yang terbatas, tak terbeli. Saya pernah mendengar cerita, yang jika saya kenang sekarang seolah muncul dari igauan demam-panas, bagaimana seorang anak laki-laki satu-satunya meninggal karena sakit yang tak kunjung terobati. Ia sangat kehilangan, dan kelak melahirkan banyak sajak duka tentang itu. Sekali waktu ia menulis,”Kehidupan, kujelajahi kau/ dengan naluri hewaniku” (sajak “Waktu”)”—Raudal, Perjalanan Hidup, Perjalanan Puitik; Metamorfosis Frans Nadjira dari Jendela dan Sesudahnya.
Frans Nadjira menganggap dunia seni bukan dunia bim salabim, sebagaimana telah disampaikan Raudal, namun lahir dari penghayatan pada proses dan berani mencoba, sebagaimana ia berani memutuskan mengembara. Begitu pula ketika ia mendapat grant dari pemerintah Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program (IWP) di Universitas Iowa, Iowa City, ia tak hanya puas dengan membacakan sajak-sajaknya di pusat kota New York atau San Fransisco, namun ia ambil kesempatan itu untuk mengunjungi pelosok negeri untuk melihat realitas yang sesungguhnya, yang mempertemukannya dengan kehidupan pahit kaum Indian.
Selama berkarier di dunia sastra, puisi dan cerpen Frans Nadjira pernah dimuat di berbagai media luar maupun di dalam negeri. Jejak sajak-sajaknya dapat ditemukan di berbagai media massa—jika Wikipedia tidak salah mencatat—seperti Bali Post, CAK, Kalam, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Pedoman Rakyat, Koran Bali, Fajar, Suara Merdeka.
Selain itu, juga dalam Antology Terminal, Laut Biru Langit Biru, Puisi ASEAN, Spirit That Moves Us (USA), On Foreign Shores, Ketika Kata Ketika Warna, The Ginseng, A Bonsai’s Morning, Horison Sastra Indonesia, IAI News (Australia), Jurnal Cerpen, Antologi Ruang Cerpen Rumah Lebah, dan Antologi Pena Kencana 100 Puisi Terbaik Indonesia.
Sedangkan buku-buku yang pernah ia tulis adalah Jendela (Kumpulan Puisi, 1980), Bercakap-Cakap Di Bawah Guguran Daun-Daun (Kumpulan Cerpen, 1981), Springs Of Fire Springs Of Tears (Kumpulan Puisi, 1998), Curriculum Vitae (Kumpulan Puisi, 2007), Pohon Kunang-Kunang (Kumpulan Cerpen, 2010), Catatan di Kertas Basah (Kumpulan Puisi, 2015), Keluarga Lara (Novel, 2016), Jejak-Jejak Mimi (Novel, 2016), dan Peluklah Aku (Kumpulan Puisi, 2017).
Kini, sastrawan dan seniman yang cara bicaranya lantang dengan logat khas Bugis itu, telah meninggalkan kita semua. Ia berpulang dengan tenang dan damai—dan abadi dalam sejarah sastra dan seni rupa Indonesia. Selamat jalan, Om Frans—meminjam bahasa Raudal, “Ikan Besar yang berenang di kedalaman!”[T]