KELADI-KELADI itu dikupas, dipisahkan dari kulitnya, kemudian dimasukkan ke dalam wadah anyaman bambu yang sudah disediakan. Setelah dirasa cukup, keladi-keladi yang sudah dikupas itu dicuci sampai bersih dengan air yang mengalir—sampai lendir dan kotoran yang menempel, hilang.
Tungku api sudah dinyalakan. Lidah api menjilat-jilat, memamah kayu kering yang renyah. Asap seketika membumbung melalui celah-celah atap dapur sederhana itu. Seorang perempuan muda meletakkan dandang berisi air di atas tungku dengan sangat hati-hati.
Ia menggeser-geser alat kukus dan penanak nasi tradisional itu sedikit demi sedikit, mencari posisi yang tepat supaya dandang tidak oleng. Beberapa kali ia memalingkan muka, menghindar dari asap yang membuat matanya perih dan mulutnya terbatuk.
Di teras dapur sederhana yang dikerubung tanaman hias dan rimbun pohon cengkih itu, seorang lelaki tua, Putu Suwastika, bersama perempuan tua, sedang menyiapkan bumbu base genep—bumbu khas Bali yang diabadikan Soekarno dalam buku gemuk Mustikarasa itu. Di sana ada cabai, lengkuas, kunyit, bawang putih dan merah, kencur, daun dan buah jeruk limau. Rempah-rempah itu dimasukkan ke dalam alat penumbuk bumbu tradisional yang terbuat dari kayu.
Proses pengukusan keladi / Foto: Jaswanto
“Bumbu ini nanti ditumbuk,” kata Suwastika sambil memasukkan terasi, garam, dan gula merah, sebelum racikan bumbu itu ditumbuk.
Sementara itu, air dalam dandang sudah mendidih. Dengan santai dan liat, perempuan muda itu memasukkan keladi-keladi yang sudah dicuci tadi ke dalam dandang yang sebelumnya sudah dipasangi kuskusan—atau kukusan dalam bahasa Jawa. Setelah memastikan tak ada kotoran yang ikut, ia menutupnya rapat-rapat—penutup itu terbuat dari tanah liat.
Sesaat sebelum ia diminta Suwastika untuk segera memarut kelapa, perempuan muda itu menambah kayu bakar ke dalam tungku. Api semakin membesar. Udara di dekatnya menjadi hangat. Sangat cocok untuk ngidu—menghangatkan badan di depan tungku dikala kedinginan.
Kelapa-kelapa yang sudah dikupas dan dicuci diparut semua. “Ini nanti dicampurkan dengan keladi kukus yang sudah ditumbuk,” ujar perempuan itu sambil tetap memarut. “Tapi nanti diambil sedikit untuk diperas santannya—untuk membasahi tangan supaya tidak lengket saat melilitkan adonan.”
Suwastika sudah selesai meracik bumbu. Lalu ia meminta perempuan muda lainnya untuk menumbuknya. Campuran rempah-rempah itu hancur dan menjadi adonan bumbu berwarna kecoklatan yang kasar. Perempuan itu memindahkannya ke dalam piring makan.
Sambil menunggu keladi masak, Suwastika menyiapkan pelepah kelapa yang dibelah seukuran jari telunjuk dan dipotong sejengkal jari orang dewasa. Potongan pelepah kelapa itu digunakan sebagai stik di mana adonan keladi akan dililitkan di sana. “Sebenarnya bisa pakai bambu kering, tapi rasanya tidak akan senikmat kalau pakai pelepah kelapa,” terangnya sambil tersenyum yang memembuat kerutan-kerutan di wajahnya semakin tampak jelas.
Bumbu sate keladi / Foto: Jaswanto
Bumbu sudah siap. Stik, kelapa parut, dan santan juga sudah berada di tempatnya masing-masing. Sedangkan keladi sudah diangkat dari tempat kukus, tinggal ditumbuk dan dihaluskan menjadi semacam adonan kue ulang tahun. Jika semua bahan sudah siap, saatnya untuk mencampur adonan.
Pertama-tama Suwastika menaruh segenggam-dua genggam kelapa parut ke dalam adonan keladi yang sudah ditumbuk. Lalu mengambil beberapa jumput bumbu yang sudah dihaluskan dan mencampurkannya ke dalam adonan. Ia mengaduk-aduknya, meremasnya hingga semua tercampur rata.
“Karena adonannya lengket, tangan harus dibasahi dengan air santan,” katanya sambil mencelupkan tangan kanannya ke dalam baskom berisi air santan yang terletak di sebelah kirinya. “Nah, kalau sudah tercampur rata, sekarang tinggal kita lilitkan ke stik pelepah ini,” lanjutnya. Ia mengambil setengah genggam adonan dan menempelkannya ke pelepah kelapa dengan hati-hati, persis seperti membuat sate lilit ikan di daerah pesisir.
Ia memijit-mijitnya hingga adonan tersebut menempel dengan sempurna. Maka jadilah setusuk sate keladi yang siap dipanggang di atas bara api.
Sate keladi merupakan satu dari sekian banyak kuliner yang dihasilkan dari buah pikir orang-orang Pedawa. Tak jelas asal-usulnya, tapi orang-orang meyakini bahwa kuliner “yang tak biasa” ini sudah ada sejak zaman dulu. Tak biasa karena, alih-alih sekadar dikukus atau direbus sebagaimana daerah lain memperlakukan keladi, orang-orang Pedawa justru kepikiran untuk mengolahnya menjadi “sate”.
“Orang-orang sini [Pedawa] biasanya memakan sate keladi bersama jukut paku—tumis paku,” kata Suwastika.
Suwastika adalah salah seorang yang dinilai memiliki tangan ajaib dalam membuat sate keladi. Resep yang ia terima dari orang tuanya dulu, masih melekat dalam ingatannya—bahkan ia masih percaya bahwa dengan menggunakan pelepah kelapa sebagai pelilit, sate keladi akan terasa lebih manis dan gurih daripada menggunakan bambu kering.
Di Pedawa, menurut Suwastika, sete keladi merupakan makanan semua orang, juga tidak memiliki tempat dan perlakuan khusus misalnya dipakai untuk kelengkapan upacara atau ritual keagamaan. Semua orang bisa menikmatinya—dan mungkin juga bisa membuatnya.
Sate keladi yang sudah matang / Foto: Jaswanto
Di Pedawa keladi bisa tumbuh di mana-mana. Di pinggir sungai, di pagar kebun, di belakang rumah, atau di sela-sela tanaman cengkih dan buah-buahan. Tanaman ini tidak memerlukan perawatan khusus—bahkan, cara menanamnya pun bisa secara sembarangan: dilempar, dijatuhkan, atau cukup ditaruh tanpa sengaja di tanah basah.
Sate keladi memiliki rasa yang unik. Gurih keladi Pedawa dan kelapa parut, dipadu dengan bumbu yang kaya rempah, kemudian dipanggang di atas bara, menciptakan rasa yang khas, yang tentu tidak dimiliki kuliner lain. Ini adalah buah dari kearifan lokal yang mampu mengolah sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang memiliki nilai tambah. “Sate keladi enaknya dinikmati selagi hangat,” ujar Suwastika sembari memberikan beberapa tusuk sate keladi kepada orang-orang yang bertamu ke rumahnya.
Pada akhirnya, memasak, atau mengolah makanan, menurut Mumu Aloha, tak lagi dianggap sebagai semata kegiatan rekreasional, pengisi waktu senggang di akhir pekan, atau momen untuk menciptakan kebersamaan dalam keluarga. Memasak dan mengolah makanan kini dipandang secara antropologis sebagai bagian dari praktik kebudayaan yang harus terus-menerus dijaga, dilestarikan, dan diwariskan.
Dapur menjadi pertimbangan penting, sebab dari sinilah perjalanan dimulai, kata Mumu. Dan di mata para juru masak dan pewaris ramuan bumbu-bumbu, kuliner—atau yang berkaitan dengannya—terus-menerus dipertimbangkan sebagai bagian dari memori kolektif, sumber kearifan bersama, juga titik tolak dan sekaligus tempat kembali.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana
BACA artikel lain tentang DESA PEDAWA di sini