SEJAUH ini boleh dibilang, sebagaimana telah dituliskan Purwanto Setiadi dalam “Sepeda, Mesin, Kebisingan” (2019), hubungan antara kebisingan dan stres sudah seterang siang di musim kemarau. Begitu pula fakta bahwa sumber keingar-bingaran di luar ruang, di mana pun di dunia ini, adalah mesin—termasuk di dalamnya sistem transportasi, kendaraan bermotor, pesawat terbang, dan kereta. Tapi tampaknya masih banyak orang yang justru tak peduli batapa sebenarnya polusi suara itu membuat hidup ini terganggu.
Menepi di tempat-tempat yang sepi termasuk di antara sedikit hal yang membantu saya menyadari kenyataan yang dituliskan oleh Purwanto di atas. Dan yang membuat saya seperti tiba-tiba terjaga dari tidur adalah momen ketika saya berjalan di lokasi yang jauh dari hiruk-pikuk lalu lintas yang padat. Di bukit-bukit kecil yang terpencil seperti Bukit Ser di Pemuteran, Gerokgak, itu misalnya.
Jauh dari hiruk-pikuk artinya saya hanya mendengar suara-suara yang berasal dari percakapan orang, suara satwa, bunyi dedaunan yang diterpa angin, atau hanya sekadar desau angin yang bersiul di telinga. Betapa berbeda suasana yang relatif “natural” itu, kata Purwanto. Tentu saja, di perkotaan, suasana semacam itu jarang bisa dijumpai.
Jaswanto di puncak Bukit Ser / Foto: Hendra
Saya sedang jatuh cinta. Objek asmara saya bukan seorang perempuan atau bahkan seorang manusia. Dia adalah sebuah bukit kecil, Bukit Ser, namanya, di Pemuteran, yang saya kunjungi—untuk pertama kalinya—pada tahun 2020, sekira tiga tahun silam itu. Saya mencintainya. Saya mencintai bagaimana angin berbisik lembut dan bagaimana perahu bergerak di antara ombak, muncul tenggelam dengan begitu anggunnya.
Saya mencintai bukit ini dengan sunrise dan sunset segar yang berwarna seperti kue croissant, serta laut biru dengan hidangan perahu nelayan, biota laut, dan ombak yang anggun. Saya menyukai pura kecil di atas punggungnya. Saya mencintai pohon-pohonnya.
Saya mencintai bagaimana kicau burung beradu (atau kolaborasi?) dengan deru mesin perahu nelayan—perahu-perahu kecil yang muncul dengan ajaibnya di bawah kaki bukit itu. Benar. Selama nyaris 24 jam di bukit kecil itu, mata saya setidaknya menangkap 10 jenis burung yang berbeda-beda. Dari pola makan mereka saya kelompokkan lagi menjadi empat jenis.
Kelompok burung itu adalah pemakan buah (frugivora), pemakan biji-bijian (granivora), pemakan serangga (insectivora), dan penghisap madu (nectivora).
Golongan pemakan buah terdiri dari burung kutilang, trucukan, dan cabai jawa, yang terkenal paling ribut dibanding teman-temannya—juga warna orange di kepala dan lehernya yang indah membuat saya takjub.
Sementara burung pemakan biji adalah perkutut, tekukur, bondol jawa, dan burung gereja yang kerap mencari makan rerumputan di sekitar pekarangan pura, di bawah rerimbunan pohon bidara, pohon pilang, dan di antara semak belukar.
Di Bukit Ser banyak terdapat pohon bidara dan beberapa flamboyan. Tentu saja, pohon-pohon itu memberikan sumber makanan bagi burung madu sriganti—burung kecil yang lehernya berwarna biru dan kuning di bagian dadanya. Tak heran bila si pengisap nektar ini sering singgah pada bunga pohon buah-buahan tersebut dan membantu peyerbukannya, sehingga buahnya dapat dinikmati ketika musim buah tiba.
Menunggu sunrise di Bukit Ser / Foto: Jaswanto
Serangga yang beterbangan di sana menarik perhatian burung cipoh kacat dan cinenen kelabu—atau prenjak. Sesekali terlihat burung-burung tersebut menyambar dan memakan serangga yang sedang terbang. Ditambah lagi burung sikatan jawa dengan ligat menyambar serangga dari udara bagaikan manufer pesawat tempur dengan ekornya yang mengembang seperti kipas.
Melihat bagaimana burung-burung itu terbang dengan bebas, saya berpikir, cara terbaik memeliharanya adalah dengan menanam pohon di pekarangan, bukan menangkap dan mengurungnya di dalam sangkar—karena “karma” burung itu bebas.
Menurut saya, tidak ada salahnya kita mulai mencoba memelihara burung di alam bebas—dan mengurangi memelihara burung dalam sangkar. Dan ibarat investasi kenyamanan, tak ada salahnya juga mulai memilih tanaman atau pohon yang mampu memikat para burung untuk singgah di pekarangan rumah.
Membiarkan burung terbang bebas dan mendengar kicauannya langsung dari alam adalah bagian dari harmonisasi alam di sekitar kita. Sedangkan menanam pohon, merupakan salah satu langkah untuk mengurangi dampak pemanasan global, karena pohon mampu menyerap dan menyimpan karbon. “Tanam saja,” kata Nosstress.
Bintang laut di pantai Bukit Ser / Foto: Jaswanto
Selain banyak burung, pada saat laut surut, di sana, Anda dapat melihat dan memegang bintang laut yang cantik. Air yang surut meninggalkan mereka di balik-balik batu berlumut. Ada juga kerang, ikan-ikan kecil, kepiting, dan siput laut yang berjalan sangat lambat.
Ah, saya memang sedang diliputi dorongan untuk tinggal di Bukit Ser selamanya, di atasnya atau di kakinya atau di pinggir pantainya dan mana saja. Tidak penting benar. Saya dapat bahagia di sini, di atas bukit kecil ini.
***
Tetapi saya tidak bisa seperti ini selamanya. Dan saya juga tidak begitu yakin selalu bahagia hidup di atas bukit kecil ini—yang jika persediaan air minum Anda habis, Anda harus turun dan mengiba kepada penduduk sekitar. Saya yakin rasa bosan itu ada. Dan rasa bosan itu menakutkan.
Filsuf Martin Heidegger suatu ketika mendefinisikan kebosanan sebagai “napas kekosongan di tenggorokan kita”. Di beberapa tempat, napas panas itu terasa sekali. Terdapat di udara. Lain halnya di Swiss. Orang Swiss telah mengolah kebosanan seperti halnya orang Prancis mengolah anggur dan orang Jerman mengolah bir: menyempurnakannya, memproduksinya secara masal.
Kehidupan Swiss mengurangi kehidupan. Mereka bersenandung, merasa puas, tidak pernah turun sampai level bawah tertentu, tetapi juga tidak pernah mencapai puncak. Orang Swiss tidak pernah menggambarkan sesuatu sebagai mengagumkan atau super, tetapi hanya c’est pas mal, lumayan.
“Itukah rahasia kebahagiaan?” Tanya Eric Weiner dalam bukunya “The Geography of BlissThe” (2019) . “Atau mungkin orang Swiss benar-benar menemukan banyak aspek kehidupan mengagumkan tapi tahu pada suatu tingkat bawah sadar bahwa tingkat superelatif akan mengurangi pengalaman tersebut. Gambarkan sesuatu sebagai mengagumkan, dan hal itu tidak lagi mengagumkan.”
Sekilas saya ingin seperti orang Swiss. Yang mengolah kebosanan menjadi kebahagiaan. Yang biasa-biasa saja. Lebih baik hidup di rentang tengah daripada terus-menerus berayun dari titik tertinggi dan titik terendah. Tidak seperti Amerika yang suka pamer. Cara Amerika adalah: Anda punya, pamerkan. Cara Swiss adalah: Anda punya, sembunyikan.
Pemandangan dari atas Bukit Ser / Foto: Jaswanto
Tetapi dunia ini paradoks. Meskipun orang-orang Swiss tampak santai, nyatanya mereka tidak punya selera humor yang baik. Negeri macam apa itu? Betapa membosankannya negeri tanpa humor. Pasti negeri semacam itu tak bagus bagi saya yang pemurung—yang selalu ingin mendapat humor yang lebih.
Bukit Ser. Entah mengapa setiap kali saya ke bukit kecil ini, dalam hati timbul sensasi kebebasan yang menyenangkan, bahwa hidup begitu ringkas, hanya seukuran ransel yang saya sandang di pundak. Saya merasa akan selamat dan tak akan menderita hanya dengan mengandalkan hidup saya pada satu ransel yang melekat di tubuh saya.
Dan di tempat ini pula, saya dapat bertanya-tanya tentang “apa yang membuat manusia merasa menjadi makhluk yang paling sempurna di jagat raya?” Saya tidak tahu alasannya secara masuk akal. Kita dan seekor ayam atau sapi, misalnya, sama-sama ada, sama-sama mengisi ruang keberadaan.
Apa yang membuat kita harus merasa lebih tinggi derajatnya daripada seekor sapi? Belum tentu sapi lebih menderita daripada diri kita dan kita lebih bahagia daripadanya?
Tampaknya menjadi manusia bukanlah prestasi yang harus dibangga-banggakan. Kita pun tidak tahu kenapa kita menjadi manusia, bukannya sapi, ayam, atau kerbau. Kita tak bisa memilih lahir sebagai manusia. Kita hanya menjalani takdir sebagai manusia. Sapi pun hanya menjalani takdirnya sebagai sapi. Bagaimana bisa kita mesti merasa bangga?
Ah, memang beberapa tempat tertentu bagaikan keluarga, kata Eric. Tempat-tempat itu terus menerus membuat kita merasa terganggu, terutama pada hari-hari libur. Kita ingin kembali lagi karena kita tahu, di lubuk hati kita, bahwa takdir kita saling terkait. Dan bagi saya, Bukit Ser—tempat terbaik untuk menenangkan diri—termasuk salah satunya, juga gunung-gunung dan hutan yang rindang yang belum banyak dijamah manusia.[T]