PERUT gadis belia itu, Sumi, kian membesar. Bulat. Kedua orang tuanya, dan juga seluruh penduduk di desa terpencil pada lembah gunung berapi itu masih percaya; Sumi kena penyakit misterius.
“Apakah tidak perlu memanggil mantri kecamatan untuk memeriksa Sumi?” suara serak Paman Sukra memecah keheningan suasana.
Di pagi yang masih berkabut dan dingin itu, kedua orang tua Sumi, Paman Sukra dan sejumlah kerabat mereka sedang berkumpul di bale-bale bambu di sebelah dapur rumah mereka. Sampai beberapa saat, belum satu pun di antara mereka menanggapi suara Paman Sukra. Mereka lebih sering cuma saling pandang, menyeruput kopi dan menelan penganan ketan, atau beberapa orang hanya mengepulkan asap rokok dari mulut mereka.
Sampai akhirnya keluar suara dari tenggorokan ayah Sumi, menerobos kepulan asap rokok tebal dari mulutnya yang gemetar.
“Sudah tiga orang dukun, dari bukit dan aliran sungai yang berlainan memberi penerawangan yang sama. Kita dilarang ke mana-mana lagi,” kata ayah Sumi.
“Dalam beberapa bulan, penyakit itu dibilang akan sembuh sendiri,” kata ibu Sumi menimpali dengan terbata-bata.
“Jika berani-berani melanggar, dibilang akan terjadi musibah!” Ayah Sumi menegaskan.
“Bukannya hendak melanggar petunjuk para dukun yang suci, tetapi, apakah salah jika kita mencari petunjuk lain?” suara serak Paman Sukra terasa jelas sedang berargumentasi. Ia memegangi gelas yang cuma menyisakan ampas kopinya saja.
“Berani ambil risikonya?” tanya ayah Sumi. Ada nada cemas dalam ucapannya, saat menatap wajah Paman Sukra.
“Risiko bagaimana? Semua Tuhan yang atur. Mencari petunjuk lain itu bukan penghinaan kepada Tuhan,” kata Paman Sukra.
Suasana kembali hening. Meski kabut mulai menipis dan sinar matahari mulai memanasi desa di lembah terpencil itu, rumah Sumi terasa mencekam.
Sumi masih berbaring bermalas-malasan di atas ranjang di kamar orang tuanya. Semenjak disadari perutnya membesar, ia mulai tidur ditemani ibunya di kamar orang tuanya. Sementara ayah bersama adik lelaki satu-satunya yang masih balita, tidur di lantai ruang keluarga sekaligus ruang tamunya, beralaskan tikar. Itu pun atas perintah salah seorang dukun, untuk menjaga agar tidak ada kekuatan jahat yang datang mengganggu Sumi.
***
Atas desakan terus-menerus Paman Sukra, keluarga Sumi akhirnya setuju memanggil seorang bidan untuk memeriksa perut Sumi. Maka datanglah seorang bidan yang bertugas di puskesmas pembantu. Bidan yang tampak sudah senior itu pun tidak memerlukan waktu yang lama untuk memeriksa Sumi.
Saat keluar dari kamar tempat Sumi berbaring, bidan itu dikerubuti orang tua Sumi dan Paman Sukra. Pandangan mata lelah ketiga orang itu seakan-akan telah mengajukan pertanyaan besar yang segera harus dijawab si bidan. Bidan itu pun sangat memahami situasi itu.
“Maaf, Bapak dan Ibu, apakah Sumi sudah menikah?” kata bidan menjawab pandangan ketiga orang tua Sumi, justru dengan sebuah pertanyaan sangat berat. Ketiganya menggeleng dan saling berpandangan.
“Begini Ibu Bidan, kawan lelaki pun anak saya belum punya, apalagi suami. Apa yang terjadi padanya Bu Bidan?” kata ayah Sumi setengah berbisik. Ia seperti menyimpan rasa takut.
“Maaf, Pak. Saya telah memeriksa anak bapak, dan yakin betul Sumi, anak bapak itu, telah hamil kira-kira tujuh bulan. Menurut saya, bayi yang dikandungnya cukup sehat,” kata sang bidan.
“Maaf, Bu Bidan!” Paman Sukra menyela. “Apakah Bu Bidan yakin anak ini kami telah hamil? Tidakkah ada penyakit lain?”
“Betul, Pak. Saya sangat yakin. Saya sudah cukup banyak menangani wanita muda hamil yang belum menikah. Coba ibu pelan-pelan menanyakan kepada Sumi, siapa yang telah menjadi calon bapak dari bayinya,” kata sang bidan.
Ketiga orang tua itu kembali saling berpandangan dengan kening penuh kerutan.
“Dan jika setuju, agar lebih aman, nanti saya bisa membantu persalinan Nak Sumi. Bapak panggil saja saya. Dalam perkiraan saya, kandungannya akan matang dalam empat minggu ke depan.” Ibu bidan mengakhiri kalimatnya, mengemasi perlengkapannya dan minta izin untuk pamit.
Sumi cuma menangis dan menggeleng, saat ibunya menanyakan siapa yang telah diajaknya berhubungan badan sampai hamil. Begitu pula saat ayah dan pamannya mencoba menanyainya, Sumi terus bertahan, bahwa ia tak kenal seorang lelaki pun dalam hidupnya. Apalagi telah berhubungan badan. Sikap kekeh Sumi membuat kedua orang tuanya kembali ragu.
“Bagaimana kalau sekali lagi kita bertanya pada orang pintar?” Ayah Sumi membuka percakapan di bale-bale bambu, sambil menyeruput kopi yang telah disiapkan istrinya. Istrinya mengangguk cepat memberi persetujuan. Seperti biasa, Paman Sukra agak skeptis dan kurang bersemangat.
“Apa lagi yang diharapkan?” kata Paman Sukra.
“Kau ingat tidak? Kisah lampau di dusun kita ini, seorang wanita yang telah dihamili oleh penunggu hutan dari lereng gunung melalui mimpi dalam tidurnya. Sampai konon anaknya besar pun, ayahnya tak ada. Tidak mungkinkah Sumi pun mengalami hal yang sama?” Ibu Sumi menuturkan satu cerita turun-temurun yang melekat di kalangan warga dusun tersebut.
“Segala kemungkian dapat saja terjadi.” Ayah Sumi menimpali.
Paman Sukra tampak membuang wajah. Namun begitu, meski jengkel, paman baik hati itu akhirnya mengikuti kemauan saudaranya.
***
Dukun itu belum terlalu tua usianya. Ia bahkan tak memerlukan banyak syarat dan ketentuan ketika melakukan penerawangan di rumah Sumi. Saat tiba, ia perlu bertemu Sumi sesaat, yang berbaring di kamarnya, lalu memilih bale-bale bambu di samping dapur rumah untuk menuntaskan tugasnya.
Dukun itu tampak biasa dan sederhana, hanya memakai kain dan udeng seperti orang yang mau sembahnyang pada umumnya. Tak ada aksesoris aneh maupun seram yang melekat di tubuhnya. Bahkan untuk memulai aktifitas paranormalnya pun hanya meminta sesajen sederhana dan dupa tiga batang. Ini berbeda dengan tiga dukun sebelumnya yang berpenampilan lebih angker dan meminta syarat beraneka ragam untuk melancarkan tugas paranormalnya. Ada yang minta ayam lima warna, ada juga babi hitam untuk dikorbankan.
Paman Sukra dan kedua orang tua Sumi duduk melingkari dukun muda tersebut. Ayah Sumi mulai berbicara dengan sangat sopan dengan kedua tangan selalu tercakup di depan dadanya.
“Mohon Jro dapat membantu kami yang sedang menghadapi musibah ini,” kata ayah Sumi.
Jro adalah panggilan umum untuk orang pintar atau dukun di wilayah itu.
Mendengar permohonan ayah Sumi, sang dukun pun mengangguk penuh hormat dengan tangan tercakup di dadanya.
“Baik, Bapak dan Ibu. Tidak usah khawatir. Semuanya akan selesai dengan baik. Namun ada satu syarat,” kata sang dukun.
“Mohon disampaikan Jro, kami dengan sepenuh hati akan mengikutinya!” Ayah Sumi membalas.
Sambil menerawangkan matanya jauh ke bebukitan di depan rumah Sumi, dukun itu berbicara kembali.
“Saat nanti saya memberikan kesimpulan mengenai apa yang dialami anak bapak, jangan ada pertanyaan apa pun kepada saya lagi. Cukup tunggu saja, apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam beberapa hari saja!” Pandangan mata dukun itu beralih ke wajah yang ada di depannya, satu per satu.
Ketiga wajah itu kompak mengangguk dengan tangan tercakup di depan dada mereka. Anehnya, kali ini Paman Sukra tampak bersikap jauh lebih respek daripada sebelum-sebelumnya dan ikut menyepakati petunjuk dukun tersebut dengan ikut menjawab.
“Kami mengikuti apa pun petunjuk Jro,” kata Paman Sukra.
Lalu dengan membuat tubuhnya lebih tegak, dukun itu menyampaikan kesimpulannya.
“Nak Sumi tidak sakit apa pun. Ini bukan musibah, ini berkah. Saat ini ia sedang hamil tua. Semuanya akan berakhir dengan baik. Keluarga tidak perlu cemas dan malu. Anak bapak dihamili lembu. Ya, lembu. Keluarga harus bersabar. Dalam beberapa hari akan selesai semua masalahnya!”
Ketiga orang di hadapan dukun itu terbelalak, semuanya tampak menahan nafas. Ibu Sumi ingin sekali mengajukan pertanyaan, apakah ini sama dengan kisah turun-temurun seorang gadis yang dihamili penunggu hutan dari lereng gunung itu? Ajaibnya, dukun seakan-akan mengetahui keinginan dan isi hati ibu Sumi. Lalu dukun segera melanjutkan.
“Tenang, Bu. Seperti yang sudah saya katakan bekali-kali, semuanya akan baik-baik saja. Sekarang saatnya saya untuk undur diri!”
Dukun itu bangkit. Dengan tangan tercakup di dada dan wajah ramah, ia meninggalkan ketiga orang tua Sumi yang menunduk hormat.
***
Di desa terpencil di lereng gunung berapi itu, kabar tentang Sumi dihamili lembu sudah mulai menyebar. Berita-berita semacam ini, di desa tersebut bagaikan ilalang kering yang tersulut api. Perbincangan terjadi di mana-mana. Di sungai saat warga mandi atau mamandikan ternak sapi mereka. Saat warga memetik sayur di kebun atau saat mereka berburu. Bahkan para pengurus dan tetua adat di balai adat. Semua membahas topik hangat tersebut.
“Tapi diyakinkan akan-akan baik saja, katanya.” Salah satu warga perlu berteriak cukup keras melawan suara deras air, agar didengar teman-temannya yang lain, saat sedang memandikan ternak sapi mereka di sungai. Yang kemudian langsung dibalas oleh salah satu yang lain di antara mereka.
“Apakah ini sebuah kutukan?”
“Kalau kutukan, pasti takkan berakhir dengan baik!” Yang lain pun ikut memberi pendapat.
“Kalau penunggu hutan dari lereng gunung, kita semua pahamlah. Sampai sekarang kita percaya. Makanya kita rutin upacara di sana.”
“Nah, ini kalau lembu, itu dari mana?”
Mereka terus bercengkrama membahas kasus aneh yang dialami Sumi, salah seorang warga desa mereka.
Sementara di balai adat, ada perbincangan yang lebih hati-hati antara tetua dengan beberapa pengurus adat desa.
“Mohon maaf sebesar-besarnya, saya bukannya mau memperkeruh masalah!” Salah seorang pengurus adat yang berusia lebih muda memulai diskusi.
Mereka duduk bersila di bale adat pada sore menjelang malam di desa itu. Suara serangga malam sudah mulai terdengar. Tetua adat yang rambutnya memutih, memperhatikan anggotanya itu sembari menghisap rokoknya yang sudah hampir habis. Rekan-rekannya yang lain menunggu apa yang akan disampaikan rekannya.
“Begini, saya ini orang bodoh. Saya polos ingin bertanya. Mungkinkah lembu betulan bisa menghamili perempuan? Atau apakah ini terjadi dalam mimpi seperti kisah turun-temurun itu?”
Tetua adat tak bereaksi, ia cuma melemparkan puntung rokoknya ke tanah. Salah seorang rekannya yang lain ikut berpendapat.
“Setahu saya, kalau kejadian laki-laki menyetubuhi lembu atau sapi betina itu benar pernah terjadi. Dan secara adat dilakukan upacara untuk membersihkan perbuatan dosa itu. Tetapi kalau, lembu jantan menghamili gadis, aduh ini baru kali ini saya dengar!”
Pengurus adat yang lain, antara tak berani berpendapat atau memang tak punya ide apa pun. Karena harus diakui, kasus ini sangat aneh dan rumit. Akhirnya tetua membuka suara.
“Terus terang sebagai tetua pun saya kebingungan. Namun, meskipun ini kejadian aneh dan ruwet, kita masih punya harapan percaya dengan petunjuk dukun itu. Semua akan berakhir dengan baik-baik saja. Segera!”
***
Di sebuah desa, yang juga terletak di pegunungan lain, panen kopi baru saja berakhir. Banyak pemuda dan pemudi dari berbagai desa ikut menjadi buruh memanen kopi di sana. Kopi merupakan komoditi mahal yang mendatangkan banyak uang, baik untuk pemilik kebun, saudagar jual beli kopi atau tukang pajeg maupun bagi buruh pemanen kopi dari berbagai desa.
Berton-ton kopi akan dikirim ke seluruh negeri bahkan diekspor ke manca negara dan cita rasa khas kopi desa tersebut akan dinikmati oleh penggemar minuman kopi di seluruh dunia.
Di salah satu pondok yang biasa digunakan buruh pemanen kopi untuk beristirahat, ketika hari menjelang sore dan panen usai, terjadilah percakapan antarpemuda buruh pemetik kopi.
“Apa rencanamu?” Seorang pemuda bertanya kepada sahabatnya, sesama buruh.
“Aku hanya takut dengan denda adat saja.”
“Lembu! Sekarang kau sudah punya cukup bekal. Kau bisa bayar denda itu. Apa masalahnya?” Pemuda itu mendesak, Lembu berusaha bersikap biasa.
“Tenang, kawan. Aku ini menyukai dan mencintainya. Aku akan bertanggung jawab. Apalagi sekarang sudah ada modal. Aku bisa bayar kalau kena denda adat nanti dan bisa untuk sekadar upacara perkawinan!”
Mendengar jawaban Lembu, sahabatnya tersenyum dan tampak semangat.
“Pasti ini berkat petunjuk Bli Jro ya? Hehehe!” Lembu mengangguk.
“Iya juga. Aku memang sempat curhat sama Bli Jro. Tapi paling penting ini memang niatku dari dalam dan juga semangat yang selalu kau berikan kepadaku. Kau memang sahabat yang hebat!” Lembu memeluk sahabatnya itu.
“Kapan kau ke rumah calon istri dan mertuamu?”
“Besok pagi. Begitu kita terima upah kita langsung ke rumah Sumi. Kau harus ikut!” [T]
- KlikBACAuntuk melihat esai dan cerpen dari penulisDOKTER PUTU ARYA NUGRAHA