MESKI ini bukan sebuah filosofi, tetapi ada baiknya kita merujuk dan meminjam istilah Jawa. Sebuah istilah yang silogismenya dianggap sanepan atau juga sebuah kontradiksi bulan Desember, yakni desember sebagai akronim dari gede-gedene sumber. Mungkin agak prismatis (membias), jika rangkaian peristiwa dimaknai sebagai peringatan atau seremonial pada bulan Desember, hanya sebagai algoritma nalar logika.
Bulan Desember menjadi episentrum sekaligus katalisator sepanjang perjalanan selama satu tahun. Menjadi penghangat sekaligus pendingin pada ruang waktu. Bulan dimana kita kerap membuat catatan evaluasi tentang pencapaian, kegagalan, dan resolusi strategi untuk menghadapi tahun yang akan datang, sebab hidup terus berproses ke depan.
Indonesia yang beriklim subtropis sering mengalami perubahan-perubahan iklim yang cukup ekstrim di bulan Desember. Curah hujan yang begitu tinggi seakan menjadi rimba kemurkaan iklim di orbit musim. Dalam catatan musim, sering kali kita dihadapkan pada persoalan sebab-akibat di luar hitungan nalar manusia. Dampak hujan seperti badai membuat persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan kerusakan lingkungan dan nilai-nilai kemanusiaan; menjadi porak poranda: —katastrofe—
Dalam konteks kini, persoalan global yang begitu deras, apa yang harus kita perbuat? Kita tidak punya legitimasi untuk menghentikan bencana alam. Selain berikhtiar hanya sebatas menjadi manusia. Kita hanya menjadi manusia yang imajiner. Tetapi kita tetap berpengharapan, masih ada “Sukacinta Desember” untuk menempatkan rasa kasih; rasa cinta dalam melewati perjalanan panjang selama 12 bulan. Menjadi sebuah monumen kemanusiaan yang memiliki nilai kebanggaan kita.
.
Dalam tekstual ini, seorang Ananda Sukarlan telah memberi warna melalui musik dan puisi untuk menjawab persoalan-persoalan benang merah yang belum terurai. Bulan Desember menjadi momen berharga untuk sebuah perenungan dan permenungan kehidupan manusia, khususnya untuk menyambut kalender masehi yang baru.
Persoalan-persoalan bangsa yang selalu dinamis, seakan memberi corak bagi kita dalam memasuki peradaban baru. Kita seolah-olah ingin membakar peristiwa-peristiwa legam, pahit dan kegetiran masa silam dengan sebuah titian yang lebih bijak dan dewasa. Traumatik masa lalu yang masih membekas, seperti badai yang meruntuhkan kekuatan nalar bersih kita.
Beberapa tahun lalu, kita dihadapkan pada musuh terbesar sepanjang abad ini. Merebaknya pandemi Covid-19, tanah-tanah ini bagai kolong-kolong persembunyian yang senantiasa diintai oleh virus tersebut. Musuh yang tidak berwujud tetapi mematikan! Panggung seni pun sepi. Semua orang seakan pasrah, membenarkan keterbatasan, ketersempitan ruang gerak, dan menganalogikan ruang gerak ini sebagai distopia, skizofrenia yang berada dalam tembok panoptikon! Seni bagai sebuah senandung sunyi yang menanti ajal dibacakan.
Di bulan Desember ini, Ananda Sukarlan ingin mengajak sidang pembaca (audiens) untuk membuka aura baru. Bagaimana kita menarik garis lurus kepada peradaban baru yang lebih beradab. Memuliakan manusia dengan rasa “Sukacinta Desember”, tentu tidak terlepas dari fenomena yang sifatnya seremonial dan universal. Kita memaknai peringatan Hari Ibu dengan mengulik betapa pentingnya harkat dan kedudukan seorang ibu. Fungsi dan peran seorang wanita yang tidak mungkin tergantikan secara kodrati oleh kaum laki-laki. Kasih seorang ibu tidak terbatas!
Di bulan Desember ini juga, umat Kristiani merayakan Natal untuk menempatkan supremasi kemanusiaan (humanity) berlandaskan cinta dan kasih sayang sesama manusia. Perwujudan ini seyogianya menjadi interaksi koneksitas yang tidak dipandang sebagai retorika belaka; hanya demi menggugurkan kewajiban entitas raga manusia. Lebih dari itu, menjadi keutuhan dan keindahan konsepsi seni tentang hidup.
Desember, gede-gedene sumber (besar-besarnya sumber) kasih — kita dan orang-orang merayakan kasih Ibu dan bagi umat kristiani merayakan kasih Natal. Desember telah hadir di tengah-tengah kita sebagai bulan penutup tahun setelah perjalanan 12 bulan yang kita lewati.
Desember, bulan yang identik dengan perayaan Natal di seluruh dunia, yang dirayakan oleh warga kristiani dengan hikmat di pelosok-pelosok paling terpencil sekalipun. Perayaan Natal pada setiap tahunnya harusnya tidak tersekat dalam bersolidaritas, toleransi, dan kemanusiaan. Dalam butir-butir Pancasila, rasa saling menghargai itu telah dituliskan, bahwa semua umat beragama patut saling menghargai dan saling menghormati.
Selain perayaan Natal, Desember juga bulan perayaan hari Ibu di Indonesia. Walaupun sebenarnya, bagi saya setiap hari adalah hari Ibu, sebab ibu adalah sumber mata air kasih sayang yang tak pernah kering. Ibu adalah gede-nya sumber kasih sayang, sebab itulah ibu menjadi simbol bagi tanah air kelahiran; ibu pertiwi.
.
Datangnya bulan Desember adalah pertanda tahun akan segera berganti. Ada yang datang, pasti ada yang pergi. Tahun baru akan tiba dengan harapan dan sukacita baru. Tahun baru akan membawa sesuatu yang baru yang akan tumbuh bersama cita-cita kita masing-masing, sedang yang lama segera berganti, kecuali mungkin kenangan.
Sementara pandemi telah pergi, meski belum benar-benar lenyap. Namun, perayaan Natal di Indonesia kali ini, yang tentu terasa Indonesia banget bakal dibarengi dengan sukacita dan kehikmatan, setelah sebelumnya terhalang sebab efek COVID-19. Selesainya pandemi di Indonesia akhirnya membawa berkah bagi kita semua. Pandemi telah dinyatakan sebagai endemi, yang efeknya tidak semasif di tahun-tahun sebelumnya.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia. Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal 21 Juni 2023. Bunyi ketentuan penutup Keppres 17/2023 yang ditetapkan pada tanggal 22 Juni 2023 tersebut adalah sebagai berikut.
“Menetapkan status pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berakhir dan mengubah status faktual Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menjadi penyakit endemi di Indonesia.”
Melalui Keppres ini, Presiden juga mencabut penetapan kedaruratan Kesehatan masyarakat COVID-19 dan penetapan bencana non alam penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional.
COVID-19 telah mengubah segalanya; mengubah dunia, mengubah kita, mengubah pola pikir, juga mengubah tatanan pola hidup dan kehidupan kita. COVID-19 tak hanya meninggalkan banyak luka tatkala kita kehilangan orang-orang tercinta, tetapi juga hikmah. Di balik semua luka itu, COVID-19 memberikan pelajaran berharga buat kita tentang pentingnya kesehatan, kebersihan, kasih dan kepedulian.
Selama pandemi banyak sekali yang terjadi. Mengalir ketulusan dan kepedulian dari garda terdepan orang-orang yang berjuang untuk mengobati dan menyembuhkan. Namun, banyak juga yang bermain dalam musibah ini; ada yang memancing di tengah air keruh, memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan. Padahal, bersikap etis saat bencana global seperti itu adalah kunci pemulihan, tetapi masih saja ada oknum-oknum yang hatinya tertutup sehingga makin memperparah kerusakan.
Ananda Sukarlan turut hadir dan berkontribusi mewarnai Desember kita dengan KONSER ANANDA SUKARLAN TENTANG PANDEMIC POEMS yang digelar pada hari Minggu, 17 Desember 2023 di Galeri Hadiprana Boutique Mal, Kemang, Jakarta.
Selain untuk merayakan Natal, konser ini juga bertujuan menggalang dana untuk penyelenggaraan kompetisi Ananda Sukarlan Award (ASA) tahun depan untuk para musikus klasik muda Indonesia di semua instrumen musik. Untuk itulah sang pianis dan komponis yang baru saja menerima penghargaan tertinggi Kerajaan Spanyol Royal Order of Isabel la Catolica ini mengajak dua pemenang edisi ASA tahun 2023 ini; pemain biola Aghisna Indah Mawarni, dan soprano yang mainkan oleh Shelomita Amory yang baru berusia 14 tahun.
Menariknya, dua lagu natal yang divariasikan tersebut memiliki elemen sangat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia juga bisa merayakan Natal walaupun menggunakan lagu-lagu yang sangat kental unsur “western”-nya. Tapi yang paling istimewa adalah dinyanyikannya untuk pertama kali karya baru Ananda, “Pandemic Poems” oleh Shelomita Amory.
Pandemic Poems adalah empat tembang puitik berdasarkan empat puisi yang ditulis saat pandemi yaitu “Gugus 1: Pemedis di Garis Depan” (puisi Goenawan Monoharto), “Beda Keyakinan” (Hilmi Faiq), “Setelah Dirumahkan (5)” (Muhammad Subhan) dan diakhiri dengan “Dialog Sesama Virus Korona Tentang Koruptor” (Riri Satria).
Untuk selengkapnya bisa dibaca, silakan bisa klik: https://majalahelipsis.com/ananda-sukarlan-konserkan-pandemic-poems-dari-puisi-karya-hilmi-faiq-goenawan-monoharto-muhammad-subhan-dan-riri-satria/. (sumber keterangan).
Konser Pandemic Poems yang dilakukan Ananda Sukarlan berkolaborasi dengan beberapa penyair bisa dipastikan telah membawa nuansa baru pada dunia sastra dan musik klasik yang selama ini sering dianggap ekslusif. Merespon bencana alam yang melanda ke seluruh dunia dengan puisi dan musik di bulan penuh kasih ini, membuktikan bahwa ada yang lebih kuat ketimbang bencana, yaitu kasih dan seni. Bersama kasih dan seni itulah kita menjalani hidup ke depan dengan sukacinta.
Di luas dunia — puisi terbuat dari setitik sunyi di dalam hiruk pikuk ruang kehidupan yang bising dan gaduh. Sedangkan musik klasik — denting-denting piano adalah ruang sublim yang tercipta di dalam ruang intim. Alunan yang menggema di ruang batin kita berasal dari tangan seorang komposer yang handal.
Terbuat dari saripati rasa yang mengendap — dari olah rasa, karsa dan karya, yang melewati permenungan dan perenungan, dari kontemplasi musikal tercipta harmonisasi baru — bukan sekedar musikalisasi yang terdiri dari bunyi-bunyian belaka dan biasa, namun ada sebuah terowongan penghubung, yaitu peradaban. Di keluasan jiwa ada suara-suara yang menggetarkan lubuk di tiap-tiap hentakan jemari, berdentinglah kekuatan nada-nada, ketangkasan jari-jemari yang menari — melintas di antara tuts-tuts piano – mencipta keajaiban.
Beberapa tahun lalu hingga belakangan ini saya mengenal Ananda Sukarlan. Dan ketika itu, beliau meminta izin untuk menggubah beberapa puisi saya menjadi “tembang puitik” (istilah untuk karya yang terinspirasi dari puisi di dunia musik klasik). Sejak itu, saya mengenal beliau tidak hanya sebagai seorang musisi dan komposer, tapi juga sebagai musisi yang pencinta sastra, terutama puisi. Beliau memiliki kepekaan yang bisa menembus ke dalam bunyi irama puisi – jiwa puisi.
.
Mas Ananda juga telah banyak menggubah puisi menjadi musik klasik, baik itu karya penyair Indonesia maupun dari pengarang di berbagai negara selain Indonesia. Saya termasuk salah satu yang beruntung, karena beberapa puisi saya dijadikan musik oleh beliau. Ada satu hal yang menarik perhatian saya, beliau pernah mengatakan bahwa; “Holiday itu bisa baca dan bikin music dari semua yang aku pengin, bukan pesanan juga bukan suruhan, tapi di mana saja kapan saja.”
Dalam beberapa kesempatan beliau mengatakan bahwa puisi ibarat buah jeruk dan musik klasik karya beliau adalah inti sari jeruk itu — sari jeruk yang dihasilkan dari jeruk yang diperas. Musik klasik yang dihasilkan oleh Ananda Sukarlan bukanlah musikalisasi, namun maha karya baru yang inspirasinya datang dari puisi. Jadi, kebayang ‘kan, teman-teman, inti sari buah jeruk tadi?
Congratulation, Ananda Sukarlan! Proud of you! Semoga sukses terus dengan maha karyanya. Aamiin. [T]