MALAM ini aku dihubungi temanku. Dia bilang akan main ke rumahku. Saat ia datang, aku sambut dengan bersalaman. Aku persilakan duduk di teras depan, tiba-tiba dia menggerutu tentang dunia perpolitikan.
Perhelatan pemilu akan diadakan di Hari Valentin tahun depan. Sebenarnya, membahas perpolitikan di Indonesia bukan hal yang menarik bagi dia. Hanya lulusan sekolah menengah pertama dan saat ini berprofesi buruh, menurutnya bukan menjadi bahasan yang menarik.
Bagaimanapun, lingkungan tempat kerja, orang-orang yang ditemui di angkringan, postingan yang muncul di beranda (media sosial) sedang ramai dengan perpolitikan. Dengan begitu, mau tidak mau dia membahasnya, meskipun hanya sekadar ikut-ikutan. Pikirnya, mumpung waktunya, sekalian dia tambahi bumbu kegundahan yang dirasakan sejak lama. Gerutunya terjeda dengan rokok dan kopi yang dihidangkan di meja.
Dinyalakannya rokok, dia lanjutkan kalimatnya sembari sedikit umpatan. Dia heran dengan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, kampanye yang dilakukan tidak wajar. Menurutnya, cara salah satu pasangan calon di luar nalar dan kecurangannya dipertontonkan secara fulgar.
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di sekolahnya dulu, seolah dikangkangi dan dilecehkan. Materi Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) harus dihapuskan dalam demokrasi, yang dilihatnya berbeda, orang-orang berduyun-duyun untuk mendukung. Kenangan tentang “tatanan bernegara yang indah dan penuh cinta” disampaikan gurunya, terbantahkan oleh praktek demokrasi hari ini.
“Uuuassuuwok,” umpat dia, meniru nada bicara yang biasa diucapkan Butet Kartaredjasa.
Setelah puas memaki, dia jeda dengan menyeruput kopi sembari ia hisap dalam-dalam asap ke paru-parunya, lalu ia hembuskan penuh kekuatan. Dia lanjutkan bercerita, panjang dan lebar, sembari terheran-heran. Bagaimana bisa presiden (yang sedang menjabat) seolah membiarkan.
Dia menduga, meskipun presiden tidak menyampaikan dukungan, namun tanda-tanda kecondongan ke salah satu pasangan calon, begitu kelihatan. Ada upaya aparatur negara sedang digerakkan untuk menghimpun suara. Diam-diam dan perlahan. “Ups!” ucapnya tiba-tiba, tersadar.
“Kok sampai menuduh presiden masuk dalam pusaran pemilihan,” kata dia. Dia mulai ngelantur, omongan dan emosinya mulai tak teratur. Akhirnya, dia coba cukupkan obrolan tentang perpolitikan yang mengandung “tuduhan”.
Bergeser tema pembicaraan. Dia mulai lagi dengan sedikit keluhan tentang pekerjaan. Dia pernah melihat postingan (media sosial), orang-orang banyak mengantri pada setiap lowongan pekerjaan. Tapi tidak juga mampu menghimpun orang-orang yang butuh pekerjaan. Masih banyak yang jadi pengangguran.
Lanjut ia bercerita temuan di postingan, bahkan sampai ada yang saling bunuh antar keluarga untuk bisa makan. Menurutnya, setiap manusia yang mengakhiri hidupnya, kekhawatiran tentang rasa lapar belum lunas dalam pikiran. Hal ini, yang sangat dia sayangkan. Bagaimana bisa, orang-orang memperebutkan dan mendapat jabatan, tapi rakyat masih belum merasakan kemakmuran dan keadilan.
Terakhir, dia memberi kesimpulan. Siapapun yang jadi presiden dan orang-orang yang mendapat jabatan. Dia (temanku) harus tetap bekerja untuk bisa makan. Menciptakan dengan keringat, darah dan air mata sendiri untuk kemakmuran dan keadilan yang bisa ia rasakan. Persetan dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden, Anis-Imin, Prabowo-Gibran, atau Ganjar-Mahfud.
Dia menegaskan, “Lupakan hari pencoblosan yang ‘menodai’ hari valentin. Toh, di hari itu, aku dan istriku barangkali akan berlibur, memakan hidangan sop galantin di hari perayaan aku dan istriku jadi pengantin,” katanya sembarai tangannya mematikan rokok di asbak yang beralas kain.
Sedangkan aku, hanya mendengarkan dengan seksama tanpa membalasnya dengan kata-kata. Memainkan dan menghisap rokok. Sesekali menyeruput kopi untuk membasahi tenggorokan. Memberi jeda paru-paru yang kian menderu. Seiring dengan ungkapannya yang menggebu-gebu. Nada bicaranya yang semakin seru.
Saat keluh-kesahnya sudah reda, aku menyaksikan raut mukanya sedikit lega. Bahkan sangat lega, saat dirinya mendapatkan notifikasi dari WhatApps, memintanya untuk bekerja. “Lumayan, untuk tambah-tambah merayakan hari perayaan ulang tahun jadi pengantin,” katanya sambil nyengir, lalu berpamitan. [T]
- BACA tulisan lain dari penulis Cherik Ayyash