DALAM interaksi sosial, akan terdapat tingkat kecocokan yang berbeda dalam berkomunikasi. Lalu, apa yang penyebab dari perbedaan tersebut? Jawabannya akan sangat banyak. Salah satunya adalah hal yang akan dipaparkan pada tulisan ini, yang menggunakan pandangan dari turunan teori psikoanalisis: peran alam bawah sadar yang dibawa oleh masing-masing pihak saat berkomunikasi.
Selain alam sadar yang berisi pikiran logis–dapat ditelaah dengan jelas, terdapat alam bawah sadar yang memengaruhi seseorang dalam bertindak. Dengan menggunakan konsep psikoanalisis Freud sebagai pondasi dasar, maka alam bawah sadar tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian: Id, superego, dan ego. Alam bawah sadar tersebut terbentuk dan berkembang terus, sejalan dengan perkembangan usia dan pengalaman manusia.
Menurut Freud, Id muncul terlebih dahulu saat kehidupan dimulai. Id adalah dorongan dari dalam diri manusia yang penuh hasrat untuk dipuaskan. Dengan karakteristik ini, Id yang tidak dikontrol akan terus berkembang dengan liar dan dapat menimbulkan konflik dengan kepentingan–kepentingan lain di luar manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, muncul kontrol bernama superego yang berbentuk aturan–aturan yang membatasi ruang gerak dari Id itu sendiri. Walaupun superego berakar dari kesepakatan dan norma – norma lingkungan yang luas, manusia pertama kali diperkenalkan superego–norma–yang dianut oleh lingkungan terkecilnya, yaitu orang tua.
Id dan superego tampak seperti dua kutub energi yang saling bertolak belakang. Benturan dari kedua energi ini, pada kelanjutannya akan membentuk titik kompromi yang sering dikenal dengan nama: ego.
Dengan pemahaman Id, superego, dan ego, pembahasan selanjutnya adalah teori analisis transaksional yang diperkenalkan oleh Eric Berne. Teori ini secara garis besar memaparkan tiga peran yang dimainkan alam bawah sadar yang dipakai saat berkomunikasi.
Tiga peran utama alam bawah sadar ini mencangkup: peran kanak – kanak, dewasa, dan orang tua. Peran kanak-kanak dan orang tua dapat dipecah menjadi variabel yang lebih kecil dan spesifik. Peran anak dipecah menjadi peran anak yang bebas dan penurut, sedangkan peran orang tua dipecah menjadi peran orang tua yang otoriter dan permisif.
Terdapat persamaan karakter antara ketiga peran alam bawah sadar yang ditawarkan oleh Berne dengan Freud. Peran kanak-kanak memiliki persamaan dengan Id; peran orang tua memiliki kesamaan dengan superego; dan peran dewasa yang serupa dengan ego.
Peran anak adalah representasi dari Id yang berkehendak untuk selalu dipuaskan. Peran ini terbagi menjadi dua, yaitu peran anak yang bebas dan peran anak yang penurut. Peran anak yang bebas adalah representasi Id yang liar dan tidak terkontrol superego. Masih di kutub yang sama, peran anak yang patuh adalah kondisi Id yang bersedia dijinakkan oleh superego.
Peran orang tua–pada kutub yang berlawanan dengan peran anak–adalah representasi dari superego yang awalnya diberikan oleh lingkungan seseorang dan akhirnya yang diakuisisi oleh orang tersebut. Peran ini pun terbagi menjadi dua: peran orang tua yang otoriter dan permisif.
Peran orang tua yang otoriter adalah kecenderungan superego untuk mengontrol segala gerak Id dengan kaku. Masih di kutub yang serupa, peran orang tua yang permisif adalah kecenderungan superego yang mengalah dan membebaskan Id.
Peran alam bawah sadar yang terakhir adalah peran yang berada di antara kanak–kanak dan orang tua. Peran ini mengambil posisi dewasa yang dapat merepresentasikan ego–jika memandang menggunakan kaca mata Freud.
Peran dewasa menempatkan logika dengan dominan dalam mengambil keputusan. Cara ini memungkinkan pengambilan keputusan yang jauh dari perasaan subjektif terhadap sesuatu. Oleh karena itu, hasil dari aksi yang disebabkan oleh peran dewasa tentu akan logis dan efektif.
Setiap manusia memiliki tiga peran tersebut. Tetapi, dalam setiap komunikasi, akan ada satu peran yang mendominasi tanpa melihat usia. Dominasi peran dapat berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada kondisi yang sedang terjadi.
Misalkan saja, terdapat peran anak bebas yang mendominasi pada orang tua yang sedang bermain judi; peran orang tua yang otoriter pada anak kecil yang memerintah adiknya untuk tidak jajan sembarangan; atau peran dewasa pada pebisnis yang membicarakan data penjualan dengan logika yang jernih.
Selain menggunakan satu peran yang dominan, alam bawah sadar seseorang juga mengharapkan umpan balik berupa peran alam bawah sadar tertentu dari lawan komunikasinya. Alam bawah sadar dari lawan komunikasi tersebut ditangkap dari sinyal– sinyal, baik verbal atau nonverbal, yang berupa gestur, cara bicara, atau nada. Bahkan, semua sinyal tersebut dapat dimanipulasi agar seolah – olah muncul peran alam bawah yang berbeda dari yang sejatinya ada.
Contoh kasus dari pengharapan umpan balik berupa peran alam bawah sadar tertentu adalah pada seseorang laki–laki berusia 30 tahun yang dengan semangat mengajak istrinya untuk bertamasya ke luar kota. Pada kondisi itu, laki–laki tersebut menggunakan peran anak bebas yang juga mengharapkan umpan balik berupa peran anak bebas yang digunakan oleh istri.
Komunikasi tersebut dapat berjalan baik jika sang istri juga menggunakan peran anak bebas yang setuju untuk bertamasya dengan semangat menggelora. Kesepakatan untuk bertamasya yang bebas konflik pun dapat terjadi.
Lalu, apa yang terjadi jika istri tidak mengeluarkan peran anak yang bebas? Misalkan saja, sang istri menggunakan peran dewasa yang berargumen mengenai untung rugi dari bertamasya; peran orang tua yang otoriter dengan langsung menolak karena bertamasya hanya akan menghamburkan uang; atau peran orang tua yang permisif yang setuju untuk bertamasya, tetapi tidak terlalu bersemangat jika dibandingkan dengan peran anak bebas.
Konflik besar akan terjadi jika peran dewasa dan orang tua yang otoriter muncul dari pihak istri. Walaupun konflik besar tidak terjadi saat istri mengeluarkan peran orang tua yang permisif, kondisi ini akan membuat tamasya menjadi lebih hambar jika dibandingkan dengan istri yang menggunakan peran anak yang bebas.
Dari penjabaran di atas, terlihat bahwa permainan peran adalah hal yang krusial dalam interaksi sosial. Interaksi sosial yang menjadi baik atau buruk, dapat ditentukan oleh kecocokan antara peran yang diambil dan munculnya peran yang diharapkan dari lawan komunikasinya. Bahkan, konsep peran ini dapat digunakan lebih jauh untuk memanipulasi orang lain. Manipulasi tersebut digunakan dengan cara memanfaatkan kelemahan dari masing – masing peran.
Misalkan saja, seorang penjaga toko yang mengompori pembeli untuk membeli produknya dengan memanfaatkan sisi lemah dari peran anak bebas. Penjaga toko tersebut seolah menantang pembeli dengan mengatakan bahwa pembeli tidak akan mampu membeli produk di toko tersebut.
Pada kondisi tersebut, penjaga toko menggunakan topeng berupa peran anak bebas yang menantang pembeli yang sedang berperan sebagai anak bebas. Karena sisi lemah dari peran anak bebas adalah tidak suka diremehkan, maka pembeli akan terpancing untuk membeli produk tersebut agar dapat mengalahkan tantangan dari penjual.
Atau, penjual mobil yang menyadari kesempatan pada pasangan suami–istri yang sedang menentukan pembelian sebuah mobil. Pada kondisi tersebut, penjual mobil melihat permainan peran di antara pasangan suami–istri tersebut adalah istri yang berperan sebagai orang tua otoriter dan suami yang berperan sebagai anak yang penurut.
Peran yang dimainkan oleh suami–istri tersebut membuat penjual mobil cukup melakukan persuasi terhadap istri–yang berperan sebagai orang tua otoriter–sehingga suami–yang berperan sebagai anak penurut–akan mengikuti apapun kata istrinya.
Pada akhirnya, interaksi sosial tidak hanya berupa sesuatu yang kasat mata. Variabel abstrak seperti alam bawah sadar yang bermain peran juga sangat berpengaruh dan perlu untuk diperhitungkan. Seseorang dapat memanfaatkan variabel ini untuk memanipulasi keadaan setelah paham cara kerjanya—atau dimanipulasi oleh orang lain yang lebih mengerti cara kerja bermain peran.[T]
- BACA ESAI-ESAIKRISNA AJA