“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” – Pramoedya Ananta Toer
Menulis itu sederhana, sederhananya tinggal kita temukan kubangannya lalu berendamlah di sana. Sungguh sederhana dalam menulis, namun apakah dalam kesederhanaan itu apakah menulis mampu dipahami secara sederhana juga?
Dalam acara workshop menulis karya sastra serangkaian Pekan Raya Cipta Karya Mahima, 28 November 2023, kami, para pemula, dituntun untuk menyederhanakan pikiran kami dalam menulis.
Banyak hal istimewa yang kami dengar dari para narasumber (dibaca: suhu). Ada si feminis Pranita Dewi, lalu sosok misterius Supartika, hingga sang anggun dewan tertinggi Mahima, Bu Sonia (Kadek Sonia Piscayanti) dan tak kalah kondang sang inspirator Pak Ole (Made Adnyana Ole).
Dari mereka, kami para pemula menarik benang merah bahwasannya dalam kesederhanaan muncul kata “bebas”.
Katanya menulis itu bebas, bebas mulai dari pikiran lalu dibicarakan hingga melakukannya (menulis).
Namun saya secara pribadi bertanya apakah sebuah bentuk kebebasan tersebut?
Tentu kebebasan tidak sesederhana dalam ranah perkataan, secara sederhana dalam alam bawah sadar manusia, Masing-masing individu memberikan sebuah standar pada dirinya, dan memberikan tekanan pada setiap langkah memulainya.
Narasumber pada workshop cipta karya sastra di Komunitas Mahima
Standar ini dimulai dalam diri kita sudah sejak mendengar kata bebas itu. Coba saja dalam langkah awal di saat memulai memikirkan, sebut saja saat mencoba open mind, tentu akan ada sound of judgement (suara-suara penghakiman) dalam benak kita. Bener gak ya tulisanku? Bagus gak ya tulisanku? Dan sejenis lainnya.
Lalu di saat kita memulai open heart, mencoba untuk menyingkirkan suara-suara penghakiman entah darimana datangnya, angin Pantai Penimbangan memunculkan sound of sinism, suara-suara bernada sinis dari sebelah, dengan hinaan purba, menyatakan, “Ih sok serius sekali menulis!” Ih, ih dan ih gak jelas banget, dan sinis-sinis yang lain.
Suara ini membuat tekenan yang luar biasa untuk kita (baca: saya) untuk menutup laptop dan tidak melanjutkan menulis.
Namun setelah mendengar kicauan manis kakak Pranita, hey, hey, menulis itu katanya gak usah diambil pusing.
Dalam diri kita, kata Pranita, ada Jin Iprit yang menjadi sumber inspirasi dan tenaga untuk terus berkarya. Jadi, jadikanlah dia sebagai pembantu imajinasimu, dan tinggalkan dan biarkan suara-suara penghakiman dan sinis berlalu ditelan gerimis.
Sebagai manusia kita merdeka untuk menulis, ini ditambahkan oleh Bu Sonia.
Wah bener juga yaa. Oke, aku selesaikan menulisnya, entah kenapa lagi selalu ada kendala dalam prosesnya. Selanjutnya di saat sudah ada karya dan memulai open will (dibaca: menulis) muncul sound of fear. Nah ini yang biasanya menjadi terali kebebasan dalam berkarya.
“Tulisan apa yang dibuat ini, tulisan yang tidak berkelas, tulisan yang jelek!”. Suara-suara ketakutan kembali muncul dalam berkarya,
Namun bak pelangi di senja Pantai Indah, Ole datang dengan rokok masih melekat di bibirnya. Eh engko nulis jangan takut.
Oke ini contoh sederhana, misalnya seorang bersepeda gunung (downhill) jika ingin berhasil maka jangan melihat banyaknya pohon sebagai penghalang, tapi melihat banyaknya celah-celah jalan guna menjadi rute. Bungkam suara-suara tak penting dengan sudut kreativitas yang wajib menyenangkan, dan dibawa senang.
Hal-hal yang menyenangkan adalah hal-hal kita tahu, hal-hal yang dekat dengan kita, dan untuk membicarakan sebuah tujuan, arah lebih penting daripada sebuah kecepatan. Jeg lagasang gen.
Sastrawan Panita Dewi saat menjadi narasumber dalam workshop cipta karya sastra di Komunitas Mahima
Aku mulai tersadar bahwasannya manusia hadir dan hidup karena sebuah harapan, seiring berjalannya waktu muncul kecemasan dari setiap harapannya. Jadi masa bodo, kalau mau jadi penulis yang baik, maka bacalah karya-karya yang baik, dan mulai berpikir bahwa manusia berpikir.
Jadi bilamana ingin menjadi manusia maka menulis. Karena menulis, manusia butuh berpikir.
Menulis itu subyektivitas di antara sudut padang yang muncul. Diantara sebuah kalimat bahkan kata selalu muncul berbagai intepretasi yang berbeda. Pada waktunya sebuah kalimat memunculkan beberapa paragraf yang memberikan hadiah dari waktu, itu yang kami sebut kenangan.
Terakhir bangunkan logika-logika estetika seorang sastrawan yang memilih dan memilah diksi yang mampu mempengaruhi psikologis pembaca. Mampu menjadi influencer bagi pembaca. Membaca menentukan manis pedasnya tulisan yang lahir. Membacalah karya yang manis, membacalah karya yang pedas.
Aku merasa senang dapat belajar, dan aku akan selalu rindu untuk belajar, apabila rindu itu punya nama, aku harap itu adalah Mahima. [T]