śrirankwa srahang kwiki,
gya tibḥānin hastra lungid,
yattā dadya trus tumus,
wkas ngwang nemwa hanantā,
Akan aku serahkan tubuhku ini,
segeralah rajam dengan panah tajam,
sampai tertusuk tembus,
Hingga akhirnya aku sampai di ujung [kehidupan].
Cinta diyakini berasal dari kata cit yang bermakna pikiran. Oleh sebab itulah seseorang yang tengah ditumbuhi benih cinta di dalam hatinya tak akan pernah berhenti memikirkan orang yang dicintainya. Jika ia bisa memalingkan pikirannya, kadar cintanya masih bisa ditakar dan mungkin pula ditukar.
Namun, tak sedikit dari mereka yang perlu usaha keras untuk bisa bebas dari kungkungan cinta yang terlanjur bersemi di dalam ruang rahasia hatinya. Itulah Sang Jayendria yang dikisahkan oleh Ida Tjokorde Ngoerah, seorang kawi nipuna dari Puri Saren Kulwan (Kauh) Ubud. Dari tangan-tangan kreatif beliau, generasi saat ini menerima warisan sastra yang tidak ternilai harganya.
Dalam lanskap sastra Kawi dan Bali, Ida Tjokorde Ngoerah dikenal luas sebagai kawi yang menulis Kakawin Gajah Mada, Geguritan Rajendra Prasad, Geguritan Sudhamala, dan yang lainnya. Di antara karya-karya yang beliau tulis, mari kita baca bagian kisah petualangan dari Sang Jayendria untuk melampaui rasa cinta di dalam batinnya.
Bagian Awal
Kisah Sang Jayendria menjadi satu bagian dengan Gurit Sri Nata Wasitwa Amla Nagantun. Pada bagian awal, geguritan yang dikoleksi di Puri Anyar Ubud itu memuat pengungsian sementara Raja Karangasem ketika Gunung Agung meletus. Di tengah kering dan kurangnya karya sastra yang memuat situasi dan mitigasi bencana ketika Hyang Giri Tohlangkir erupsi, karya sastra ini adalah salah satunya yang sangat penting dibaca.
Sawang lwir yyang kalantakā, hantyan krodḍā tan kadi, mayun ngĕntya mangan jagat, dinmon hikang wiṣya gni, ptĕng hujan hawu tan mari, gĕntuḥ ñañad batu ngluluk, rusak hakeḥ kablabaran, desa deṣā kawurugin, kataḥ rarud, ninggāl humaḥ tan katṛĕṣṇan (Pupuh Sinom, 8).
Terjemahan.
Seperti perwujudan Hyang Kalantaka, yang sangat murka, berkeinginan untuk segera memakan dunia, dimuntahkanlah api beracun (lahar) itu, sehingga langit gelap disertai hujan abu, banjir lumpur batu terpelanting, banyak yang hancur diterjang banjir, desa-desa yang ditimpa, banyak mengungsi, meninggalkan rumah seperti tidak dicintai.
Itulah gambaran situasi mencekam ketika Gunung Agung meletus. Ida Tjokorde Ngoerah menganalogikannya sama dengan Hyang Kalantaka yang murka. Beliau memuntahkan api beracun (lahar), hujan abu, dan banjir lahar dingin yang memporak-porandakan wilayah Karangasem. Desa-desa juga banyak yang hancur. Sementara itu, penduduk mengungsi meninggalkan rumahnya seperti tak dicintainya lagi.
Saat itu, Raja Karangasem yang bernama Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem bersama sanak keluarga pindah sementara ke Puri Anyar Ubud. Di samping karena masih memiliki hubungan keluarga, Usadhi Desa atau Ubud diyakini menjadi salah satu tempat yang aman dari dampak letusan Gunung Agung kala itu. Di tempat yang kini menitis menjadi destinasi wisata dunia, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem mengisi hari-hari sembari menunggu erupsi Hyang Tohlangkir yang perlahan berhenti.
Dalam situasi yang sedih karena desa-desa di Karangasem tengah dilanda musibah lahar api, hujan debu, dan gempa kecil, Ida Anak Agung Anglurah Karangasem dihibur dengan pembacaan sastra oleh kerabat di Puri Ubud dan Bhagawantanya yang berasal dari Gria Mangosrami. Untaian sajak-sajak sastra klasik yang sejuk ditembangkan untuk melipur lara beliau yang tengah berada dalam kesedihan yang tak berkesudahan.
Tampak adanya solidaritas dari puri-puri lain yang juga menjenguk Raja Karangasem di Ubud. Di antaranya adalah Anak Agung Gde Oka dari Puri Gianyar, Tjokorda Gde Oka dari Puri Peliatan, Tjokorda Gde Agung Sukawati, Tjokorda Putu Batubulan, Anak Agung Niang Pejeng Aji, dan keluarga brahmana yaitu Ida Padanda Gria Aan serta Ida Putu Maron[i].
Kedatangan para kerabat puri dan brahmana ini pasti dapat menguatkan batin beliau yang tinggal terpisah dengan masyarakatnya yang masih berjuang menyelamatkan diri di daerah-daerah pengungsian. Tak diceritakan berapa lama Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem di Puri Anyar Ubud. Ketika situasi erupsi sudah terkendali beliau kembali ke Puri Karangasem. Situasi letusan Gunung Agung yang dahsyat didokumentasikan dalam bentuk yang memikat oleh Tjokorde Gde Ngoerah.
Pada bagian akhir karyanya, pengarang yang juga dikenal dengan sebutan Cokorda Lingsir Saren Kauh ini menyebut bahwa beliau menulis kisah ini sebagai pengingat dan rasa cinta kepada Puri Karangasem.
Sang Jayendria
Setelah menceritakan bencana Gunung Agung yang terjadi pada tahun 1963, Ida Tjokorde Ngoerah mengisahkan perjalanan seorang pengelana muda bernama Sang Jayendria. Ia jatuh cinta kepada seseorang yang tidak disebutkan identitasnya dengan jelas oleh pengarang. Dengan bekal rasa cintanya, ia mencari sang pujaan hati di gunung. Gunung tampak kehilangan keindahan karena bunga-bunga yang kembang di punggung gunung justru mekar menyusup di taman hatinya.
Meski perjalanan sudah demikian panjang melewati jurang, lembah, dan sungai, Sang Juita tak jua ditemuinya. Sementara rasa cintanya terus berkecamuk tiada henti di dalam palung hatinya. Jarak fisik membuat jurang rindunya menganga. Maka, Sang Jayendria dengan suara lirih mengucapkan kata-kata berikut ini kepada pujaan jiwanya.
tulya kadi manglalaṇnā, pangliḥ kwi tumut kwari, mangku dyaḥ ring pangkwan, murccḥa kalĕson ring marggi, leddangang haśiḥ yayaḥ bibi, kinkinĕn ngawwe kidung, rumnya hada munggweng gitthā, haturaknā denta kwa ri critthan hipun, holiḥ nglanglang ring ngacalā (Pupuh Sinom, 7).
Terjemahan:
Sama seperti mengembara, usahaku mencarimu Dinda, untuk merangkulmu di pangkuan, kala kelelahan di jalan, dengan perkenan ayah dan ibumu, akan aku buatkan sajak, yang keindahannya ada di dalam nyanyian ini, akan aku haturkan isinya kepadamu, sebagai hasil yang aku peroleh dari berkelana di gunung.
Dalam pengembaraan di hutan dan gunung yang sunyi, Jayendria mencari sang kekasih dengan harapan bisa merangkulnya ketika kelelahan di jalan. Di samping itu, ia yang berbekal pisau tulis dan daun pandan hanya bisa membawa sajak sebagai oleh-oleh atas penjelajahannya di hutan. Maka, untaian kata-kata yang dirajutnya dengan hati-hati dan hati itulah persembahannya kepada sang kekasih.
Namun demikian, persembahan itu tampaknya sia-sia belaka. Sebab, yang dicari tak ditemukan (ndḥi paran hibu sang ngarum, ntan hanā ngganyā kawarṇnā). Ia mulai bingung dan kehilangan harapan. Dewa Cinta yang disalahkannya atas rindu dan derita yang dirasakannya pada saat yang bersamaan.
śrirankwa srahang kwiki, gya tibḥānin hastra lungid, yattā dadya trus tumus,wkas ngwang nemwa hanantā,
Terjemahan:
Akan aku serahkan tubuhku ini, segeralah rajam dengan panah tajam, sampai tertusuk tembus, Hingga khirnya aku sampai di ujung [kehidupan].
Itulah ungkapan Jayendria kepada seseorang yang dianggapnya jiwa hidup atau atma jiwa. Ia menyerahkan dirinya untuk segera dirajam panah-panah tajam hingga menembus dan membuatnya mati seketika. Panah apakah yang dimaksud oleh Jayendria untuk dilepaskan oleh kekasihnya? Dalam penjelasan berikutnya dengan terang ia menyebut astra manobhawaalias panah cinta.
Panah cinta itu dilepaskan diam-diam oleh Sang Anangga kepada seluruh insan (tan pangling hyang smarā riku, ring sang lannang waddḥon tikā, kneng sarā maddḥaṇnā singid), termasuk Sang Jayendria. Ia yang sangat menderita akibat panah cinta yang sudah bersarang di dalam jiwanya. Meski begitu, ia terus menapaki bukit dengan tetesan air mata berwarna merah serupa darah.
Sampai di puncak gunung yang lengang, samar-samar ia melihat padukuhan. Padukuhan yang memancarkan nyala bisa dirasakannya, meski dengan mata tak terbuka. Ternyata, Sang Sughati yang telah sempurna dalam yoga yang menghuninya. Usai menikmati indah pemandangan samudra yang juga tampak dari atas gunung, Sang Jayendriya masuk ke dalam asrama Sang Yogi. Ia ingin meminta ajaran agar rahasia (nuhun wisik warah irā, sukṣma singit, ri sang parartthā kṛĕtthāñaṇnā).
Sang Sugati terperanjak karena ada seseorang yang masuk ke dalam asramanya dengan tiba-tiba. Walaupun masih belum percaya ada seseorang yang mengunjunginya di puncak bukit nan tinggi dan sepi, ia segera mempersilakan Sang Jayendria untuk masuk dan beristirahat sejenak sembari makan ala kadarnya di pertapaannya. Meski tidak menyatakan diri, Sang Sugati melihat jelas rasa lelah yang ada di dalam diri Sang Jayendria.
Usai menikmati makanan dan minuman ala pertapaan, Sang Jayendria menyampaikan maksudnya berkunjung ke pertapaan Sang Sugati. Ia menyatakan bahwa dirinya sedang ditinggalkan cinta (kaputungan katinggalalan sih) dan sesak sakit asmara (kapyuhan lara honneng) karena kekasih yang dicintainya teguh pada patibrata. Oleh sebab itu, ia memohon ajaran agar bisa terbebas dari rasa itu kepada sang pendeta.
Mendengar permohonan tulus dari Sang Jayendria, pertapa itu kemudian menyampaikan ajaran yang dimilikinya. Ia menyatakan bahwa banyak orang yang berpura-pura tahu pawarah itu, meskipun sejatinya tidak. Kita baca kegundahan Sang Sugati terhadap perilaku orang-orang itu dalam petikan di bawah ini.
siliḥ ngajummang pangrasā, hikang wong hakeḥ wtu cngil, mapakṣa makumā prajñan, nora mangkaṇna sang nganmu, ri putus bwat dhenirā, lwĕs tan banggi, kacedā kapuri mnĕngngā.
Terjemahan:
Saling menyombongkan diri dalam perasaan, sehingga banyak orang yang bertengkar, terpaksa seperti orang yang pandai, sesungguhnya tidak seperti orang yang telah menemukan, sesuatu yang telah purna dikuasainya, ia lues tidak congkak, dihina sekalipun ia diam.
Demikianlah karakteristik orang yang menurut pertapa Sugati telah bertemu dengan hakikat ajaran. Ia lues dan tidak congkak. Dihina sekalipun, tetap diam dalam ketenangan. Terlebih orang itu juga tidak susah hatinya sebab pikirannya tidak terikat cinta (citta tan karaketan sih). Ia mampu memutus kelekatan sehingga ada yang hilang tanpa dirasakan. Itulah ajaran yang patut dilakukan oleh Jayendria untuk membebaskan dirinya. Dengan bekal itu, bisa dicapailah ia yang sesungguhnya tidak berbatas alamnya dengan kita (jatinya tan pahletan ika, kang ngagung powakasing ngalit).
Cara mengetahui hakikat itu tiada lain melalui jalan panjang tak berterminal bernama yoga dan samadhi (sikĕp ring yogghā samaddhi). Hanya dengan itulah keheningan abadi bisa diraih. Apalagi mereka yang mendambakan kekebasan dari ikatan trasna dan asih (ddhen ta mamriḥ mriḥhing ngiḍhĕp, tan kaworran trĕṣṇā haśiḥ).
Sampai di sana ajaran yang disampaikan oleh pertapa Sugati kepada Sang Jayendria. Ida Tjokorde Ngoerah menyelesaikan perjalanan sang pengelana dengan pewarah dari sang pertapa. Pada bagian akhir, beliau memohon maaf sembari menyembah ke hadapan Hyang Widhi (sĕmbaḥhang kwi, ri jĕng sang hyang widi samudayā)
Memetik Makna
Dari gambaran perjalanan Sang Jayendria, ia sesungguhnya adalah seseorang yang berhasil mengubah energi cinta yang semula tertuju kepada insan menjadi tercurah kepada Tuhan. Tresna yang berarti keterikatan perlahan dilepaskannya menggunakan yoga dan samadhi ‘pengetahuan penyatuan’ dari guru bernama Sugati yang ditemuinya di pedukuhan.
Di puncak sebuah gunung yang indah sebagai linggastana Siwa, seorang pemuda pengelana tak kembali. Konon pengelana tak pernah tersesat, sebab setiap jalan yang ditemuinya adalah tempat pengembaraan baru. Sayang, sebagian dari kita bukanlah Sang Jayendria yang mampu menang atas cinta. Kita adalah hamba-hamba Hyang Smara yang mendapat anugerah cinta dengan cara tak terduga. Semoga benih cinta memekar menjadi daya cipta dan mempertemukan kita pada yang sedang hadir dalam setiap lamunan. [T]
[i]Pertalian antara Puri Ubud dan Karangasem bisa dibaca di dalam tulisan Cokorda Gde Bayu Putra yang diunggah di media tatkala.co berjudul “Mengintip Pertalian Ubud dan Karangasem di Masa Lalu” pada tanggal 11 Februari 2021. Suksma disampaikan kepada Cok Bayu dan Ratu Aji Oka Manobhawa karena telah memberikan kesempatan menerjemahkan karya sastra ini.
- Klik untuk BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA