SAAT itu jam menunjukkan pukul 20.00 wita, setelah persembahyangan Rahinan Buda Cemeng Klawu. Malam memang sudah beranjak larut, namun penulis sudah memiliki janji untuk datang ke Banjar Anyar Desa Perean Kangin, Baturiti, Tabanan. Banjar Anyar memiliki sekehe gong kebyar yang bereputasi bernama Sekehe Gong Abdi Budaya.
Disana saat itu penulis melatih sekehe gong Putra Abdi Budaya (regenerasi dari Sekehe Gong Abdi Budaya) gending ciptaan lelambatan tabuh kutus yang penulis ciptakan merupakan program hibah pendanaan Dipa ISI Denpasar tahun 2023. Penulis melatih ciptaan gending tabuh kutus bersama rekan sesama dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yaitu Putu Tiodore Adi Bawa.
Foto 1. Sekehe Gong Putra Abdi Budaya
Perjalanan dari Ubud menuju Banjar Anyar, menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam 15 menit mengingat penulis memang tidak terbiasa mengendarai sepeda motor dengan kecepatan diatas 40 km/jam. Perjalanan penulis ke Banjar Anyar melewati jalan alternatif dari Sangeh menuju Cau Blayu (Marga), tidak melewati rute jalan utama Denpasar-Singaraja. Rute yang penulis tempuh setelah sampai di Desa Sangeh adalah menuju ke arah Desa Babakan Cau Blayu, Desa Padang Aling, Desa Piun, datang dari timur Desa Leba dan menikung ke arah utara maka sampai di Banjar Anyar.
Perjalanan dalam suasana malam semakin larut melewati bengang (lingkungan tanpa penghuni), sawah, desa-desa tersebut diatas yang hampir tertidur karena memang waktu untuk beranjak tidur. Beberapa kali harus melewati tempat-tempak sakral yang mengharuskan penulis untuk memohon izin secara bathin. Begitu juga ketika pulang latihan menuju ke Ubud, kembali penulis melewati desa-desa ini yang benar-benar telah terlelap dalam tidur karena pukul sudah menjunjukkan angka kecil yaitu 00.00 wita.
Terhadap peristiwa perjalan ini, penulis jadi ingat dengan pangendikan (tutur) Ida Pedanda Gede Jungutan Manuaba dari Grya Peling Padangtegal: “Dulu ketika betara lepas (Ida Pedanda Gede Manuaba) akan dikukuhkan menjadi sulinggih, beliau oleh Guru Nabe diperintahkan untuk melewati 4 kuburan ditengah malam, hal ini bermaksud melatih dan menguji keteguhan”. Hal ini juga penulis maknai untuk melatih keteguhan penulis untuk melahirkan karya. Ini adalah yoga keteguhan dan kemantapan hati.
Hal yang patut dicatat, sebagai manusia normal yang memiliki rasa takut, penulis sering merasa bergidik jika melewati tempat-tempat sepi apalagi ditengah malam. Bergidik mengingat sebagai orang Bali percaya terhadap energi lain yang berdampingan dengan manusia. Hal lain yang membuat lebih bergidik adalah ancaman kriminal dan motor mogok di daerah sepi yang gelap (walau performa motor penulis sudah dipersiapkan dengan service yang memadai).
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prebawa Ida sebagai Ratu Gede di Banjar Anyar, Perean Kangin selalu memberikan penulis perlindungan niskala dan sekala. Penulis tidak malu mengakui, ketika akan memasuki bengang Desa Cau Blayu, mulut penulis penuh komat-kamit memohon kehadapan Ratu Gede agar penulis senantiasa dilindungi keselamatan dalam perjalanan, begitu juga saat pulang penulis selalu memanjatkan doa. Penulis yain beliau Ratu Gede sangat kasih, penulis merasa betul-betul dilindungi hingga sampai dengan selamat sampai tiba di rumah.
Tepat pukul 21.00 wita penulis tiba di Balai Banjar Anyar, Perean Kangin di bawah ringdangnya Pohon Wandira. Penabuh sudah berada pada masing-masing tungguhan gamelan, nampaknya posisi penabuh telah diatur sebelumnya. Sedangkan di pinggir gamelan, di tepi balai banjar dan di lumbung juga terdapat beberapa masyarakat yang tengah menanti latihan dimulai. Perhatian penulis justru tertuju pada masyarakat yang berada luar gamelan, mengapa? Karena dari tatapan matanya yang awas penulis curiga mereka bukan masyarakat awam mengenai gamelan. Memang penulis telah mengetahui Banjar Anyar memiliki sekehe gong kekebyaran yang tersohor. Dari sini penulis sudah harus memofuskan proses pelatihan gending sesuai dengan konsep yang telah disiapkan sebelumnya dalam bentuk notasi. Sampai tahapan ini penulis kembali yoga, yoga agar fokus tetap terjaga.
Sebelum memulai latihan, penulis dijelaskan mengenai barungan Gamelan Gong Kebyar yang sangat disakralkan bergelar Ratu Gede oleh Jro Bendesa dan para tokoh Sekehe Gong Abdi Budaya seperti I Wayan Tusti Adnyana serta Kelihan Sekehe yaitu I Wayan Kencana. Sebelumnya penulis telah mengetahui “bunyi” dari gamelan Gong Kebyar milik Banjar Anyar yang tersohor. Utamanya pada larasnya dengan karakter begah (demung). Sekarang dengan diberitahu informasi bahwa gamelan ini bukan sembarang gamelan, maka nyali penulis menjadi ciut. Tetapi atas dorongan dari masyarakat Banjar Anyar, Perean Kangin penulis menjadi bersyukur dapat menuangkan gagasan musikal pada Ratu Gede (gamelan gong kebyar).
Pertemuan Pertama
Penulis pertama kali mendengar Banjar Anyar, Perean Kangin dengan kekebyarannya pada tahun 2006. Saat itu adalah kepulangan guru saya I Wayan Sudirana (Bli Sudi) dari Canada untuk melakukan pementasan silang budaya antara composer Amerika dengan kami Sekehe Gong Cenik Wayah. Seperti biasa setiap kepulangan dari Kanada, Bli Sudi selalu membawa oleh-oleh yaitu berupa gending-gending gamelan dari gaya klasik sampai avangarde. Gending-gending itu kemudian dideskripsikan oleh bli Sudi secara gamblang bahkan sudah pada tataran tematik mengenai urusan gagasan, metode dan penemuan. Secara tidak langsung, penulis yang saat itu baru duduk di bangku SMA kelas 2 menjadi terbiasa dengan analisa terhadap bentuk formil musik.
Pada saat itu gending yang dibahas adalah kumpulan gending-gending gamelan karya composer-composer barat seperti Evan Zyporin, Michael Tenzer dan Wayne Vitale. Satu persatu Bli Sudi menjelaskan gending-gending ciptaan kawan-kawan barat itu, bagaimana idenya, bobot komposisinya, sampai ke metode penciptaannya. Penulis dan teman-teman Gamelan Cenik Wayah saat itu: Gusti Dika, Awan Galung dan Kadek Hendra mendengarkan dengan seksama. Sampai akhirnya kami tiba pada pemutaran gending kekebyaran dari gamelan Gong Kebyar berlaras demung.
Foto 2. Sekehe Gong Abdi Budaya
Bli Sudi membuka diskusi: “Tawang gending ape ne? Tawang nyen ne ngae? (Tahukah ini gending apa? Tahukah siapa penciptanya?) Disertai tawa yang memancing rasa penasaran kami’. Sambil gending berjalan kami belum juga dapat menebak ini gending apa dan oleh siapa. Setelah lama kami dalam rasa penasaran, bli Sudi kemudian memberi tahu kami bahwa ini adalah gending kekebyaran yang berjudul Khayalan Tiga karya Pak Wayne Vitale dan dibawakan oleh sekehe gong dari Banjar Anyar, Perean Kangin.
Seketika kami kaget, apakah benar ini sekehe gong dari Perean?. Pertanyaan kami saat itu sangat wajar terlontar, mengingat pengetahuan kami terhadap horizon gamelan Bali sangat terbatas. Paling kami tahu popularitas Sekehe Gong Gladag, Pinda, Sad Merta, Peliatan, dan Buleleng. Sekehe gong di Buleleng pun kami tidak tahu detailnya di desa mana dan sekehe apa?. Bli Sudi meyakinkan kami: “ya ini sekehe dari Perean, dan mendapat pengaruh dari Buleleng”. I Gusti Bagus Suarsana adalah orang yang berjasa sebagai pelatih gending kekebyaran di Banjar Anyar Perean Kangin.
I Gusti Bagus Suarsana berasal dari Banjar Jero Gusti, Desa Bungkulan, Singaraja yang sekarang menetap di Desa Panji, Singaraja banyak memberikan gending-gending kekebyaran seperti Sapta Bhuana, Abdi Budaya dan Merak Angelo. Menurut Bli Sudi, bahwa pak Wayne Vitale yang kebetulan berteman baik dengannya pernah mengatakan kalau pak Wayne betah di Perean. Dari sinilah pertama kali saya mengengal sekehe gong dari Banjar Anyar, Perean Kangin yang kemudian saya ketahui nama sekehenya Abdi Budaya.
Foto 3. Sekehe Gong Abdi Budaya Saat Pentas di PKB
Sorot Mata yang Mencurigakan
Saran saya pertama dan paling utama bagi siapapun yang mengunjungi Sekehe Gong Abdi Budaya, Banjar Anyar, Perean Kangin untuk kepentingan melatih atau menciptakan gending mohon tetaplah rendah diri jangan jumawa. Mengapa sebab? disamping sekehe yang duduk dibalik tungguhan gamelan terdapat masyarakat ditepian balai banjar, di jineng dan bahkan di bawah rindang pohon beringin yang senantiasa menyaksikan jalannya latian.
Memang mereka terlihat acuh, santai, bahkan sambil ngobrol mengenai sawah atau ladang. Namun jangan salah, kuping dan mata ngicir mereka selalu bekerja merekam dan mengamati proses serta pencapaian latian. Khotbah 3 sks bisa muncul kapan saja jika dipandang sangat perlu dan sesuai dengan desa, kala, patra. Bahkan dengan bahasa tajam, setajam silet (meniru gaya retorika pemandu acara gossip Feny Rose).
Penulis pada saat melatih gending tabuh kutus lelambatan garap baru bersama Tiodore, paham betul dengan situasi ini. Karena sebelumnya penulis sudah mendengar dan mempelajari siapa Sekehe Gong Abdi Budaya Banjar Anyar Perean, Kangin. Bahkan karya kekebyarannya pernah penulis mainkan. Oleh sebab itu penulis setiap sampai di Banjar Anyar, Perean Kangin hal pertama yang dilakukan adalah mengamati sekeliling sudut untuk memastikan berapa ada “cctv” hidup yang mengawasi jalannya latihan.
Seperti biasa sambutan ramah dan sangat kekeluargaan selalu diberikan oleh para “cctv” ini. Intinya penulis dalam hati tahu, para “cctv” ini adalah penabuh dari Sekehe Gong Abdi Budaya yang tersohor ini. Sangat tenang dalam keseharian, namun dapat mematikan jika menyajikan kotekan bolak-balik pada bagian gegenderan. Terutama jika Pekak Metra datang melihat jalannya latian.
Foto 4. I Gusti Bagus Suarsana dan Para Tokoh Sekehe Gong Abdi Budaya
Pekak Metra yang akrab dipanggil Kak Met pernah suatu ketika pada saat penulis menuangkan progresi melodi ke wilayah nada rendah, seketika dia bereaksi dengan ucapan berdinamika lirih namun sangat keras menusuk kuping penulis: “pih ke gede abe e alihan-alihane, nyak nyak nyak” (wah progresi melodinya dibawa ke register rendah, seusai!). Mengapa Kak Met berguman kalau dibawa ke wilayah register nada rendah dibilang sesuai, memang ini unggulnya pelarasan Gamelan Gong Kebyar di Banjar Anyar, Perean Kangin. Ketika dibawa ke register rendah justru melodi menjadi sangat lembut dan jernih kualitas suaranya. Jadi Kak Met selain ingin mendukung jalannya latian juga sekaligus menjadi reviewer atas gending yang diciptakan.
Selain Kak Met pernah juga seorang kakek berambut agak putih penulis amati matanya agak dipicingkan, alisnya menaik, dan kadang disertai gerutuan. Khususnya pada saat penabuh reyong gagal dalam memainkan pola kilitan dan ketika ubitan polos-sangsih gangsa bertabrakan. “Aduh, jeg……….meh san, peh cek!”, vokabuler non kalimat berupa ungkapan ini keluar. Penulis dalam hati sangat bangga dan haru melihat peristiwa ini. Kadang penulis tertegun, benarkan kita yang disematkan gelar akademis dapat berprilaku awas seperti mereka yang tidak dinobatkan sebagai seniman akademis (bahkan mereka memang tidak memilih posisi itu), tapi dengan jeli dapat menangkap bentuk musikal selayaknya para analis dan para filsuf musik/gamelan.
Pekak Metra dan kakek berambut putih itu hanya salah dua dari “cctv” musikal tersebut. Masih banyak lagi “cctv-cctv” yang bertebaran jika sudah Ratu Gede (gamelan Gong Kebyar) mesuara (bersuara). Bagi penulis kecurigaan terhadap sorot mata mereka terbukti. Mata yang dipicingkan dengan alis dikernyitkan menghimpit dahi adalah cara mengapresiasi. Hal ini adalah sikap awas agar menemukan hal-hal kecil yang kadang luput dari amatan. Mengenai hal ini penulis jadi ingatan Mas Don (Sardono W Kusumo) maestro tari dari Surakarta dalam bukunya “Hanoman, Tarzan dan Homo Sapiens” yang mengatakan Pak Kakul adalah guru tari yang selalu detail dalam mengamati dengan mata yang dipicingkan. Hal ini dilakukan untuk dapat fokus dalam melihat hal-hal yang detail dan penting. Jadi apa yang dilakukan oleh para sekehe Gong Abdi Budaya Perean sejalan dengan prinsip maestro Pak Kakul dari Batuan.
Kecurigaan penulis akhirnya terkonfirmasi oleh penuturan salah satu penabuh muda dari Banjar Anyar, Perean Kangin yaitu Kadek Andi. Andi mengatakan: “Ketika tidak ada pak Ana (penulis) dan bli Tu Tiodore, para Sekehe Gong Abdi Budaya yang sudah senior selalu memberikan kritikan yang tajam terkait teknik dari penabuh muda”. Disinlah khotbah setara 3 sks terjadi. Sejatinya dalam diam, santai dan terkadang cueknya mereka betul-betul bagai “cctv” yang merekam dan saban waktu diminta konfirmasi data peristiwanya, mereka dengan lugas dan presisi menjelaskan hasil amatan mereka.
Bagi penulis mereka benar-benar bagai pepatah Bali: “payuk prungpung misi berem” (alat mengukus dari bambu yang sudah tua, namun menyimpan air berem) yang artinya boleh saja penampilan mereka biasa-biasa saja namun pemikiran dan pengalaman mereka sangat hebat dan luas.
Sekali lagi dalam konteks ini kita harus mengakui mereka sebagai seniman yang tidak pernah mengenyam pendidikan seni formal (bahkan tidak ingin) lebih mampu membicarakan hal an-sich tentang gamelan. Kadang yang terlahir dalam dunia pendidikan seni formal masih belum mampu menampilkan argumen dan gagasannya secara an-sich dan esensial terhadap gamelan, justru lebih banyak berbicara masalah esensi non gamelan yang bertendensi sensasional.
Sabit, Cangkul dan Panggul
I Wayan Tusti Adnyana (salah seorang tokoh gamelan di Banjar Anyar, Perean Kangin) dalam satu kali pertemuan mengatakan: “Yan (panggilan untuk penulis) gamelan bagi masyarakat Banjar Anyar adalah kekayaan yang tak ternilai yang mereka miliki selain tanah sawah dan tegalan tempat mereka menggantungkan hidupnya”. Dari pernyataan pak Wayan Tusti penulis kemudian menarik dua hal esensial dari masyarakat Banjar Anyar Perean yaitu gamelan dan petani. Kemudian dari dua hal tersebut penulis mulai menarik hipotesa bahwa antara gamelan dan petani adalah dua hal yang sangat mempengaruhi kebudayaan di Banjar Anyar, Perean Kangin.
Hipotesa penulis terbangun atas dua hal yaitu 1) Ciri khas gending kekebyaran Banjar Anyar, Perean Kangin yang menyajikan kotekan dengan artikulasi prima dan 2) Atas sajian artikulasi kotekan yang prima menyebabkan mereka menjadi memiliki ciri khas atau gaya. Pertanyaan penulis berikutnya adalah, apa yang menyebabkan sajian artikulasi kotekan dari Sekehe Gong Abdi Budaya tersaji dengan prima seperti pada gending Abdi Budaya, Sapta Bhuana dan Merak Angelo?. Hal apa yang mempengaruhi? Salah satu faktor adalah tempaan I Gusti Bagus Suarsana seorang guru yang sangat berjasa bagi sekehe Gong Abdi Budaya. Kedua, penulis berasumsi bahwa karena Sekehe Gong Abdi Budaya bermata pencaharian sebagai petani.
Dasar asumsi penulis mendudukan profesi petani berdasarkan filosofi dari Fung Yu Lan. Fung Yu Lan dalam buku Dasar Filsafat Cina mengatakan: “pelaut adalah orang bijaksana dan petani adalah orang yang baik”. Filosofi tersebut mengajarkan bahwa para pelaut senantiasa bergerak kemana ikan bergerak dan berkumpul, artinya pelaut akan selalu berpindah-pindah guna mendapatkan ikan. Sedangkan petani dengan tanah sawah atau ladang yang mereka garap tidak dapat bergerak kemana-mana.
Oleh sebab itu mereka harus telaten mengerjakan dan merawat tanah sawah dan ladang mereka. Semisal terjadi bencana, apakah mereka akan pindah dengan serta merta membawa tanah sawah dan ladang mereka? Atau jika harus berpindah ke daerah lain apakah dengan mudah akan mendapatkan tanah sawah atau ladang kembali untuk digarap?. Oleh sebab itu mereka pasti akan bertahan dengan segala keuletan dan kegigihannya. Sebagi seorang petani, jika merujuk pada filosofis Fung Yu Lan maka Sekehe Gong Abdi Budaya adalah sekehe gong yang ulet dan gigih. Ulet dan gigih berakumulasi menjadi disiplin. Disiplin dalam berlatih gamelan tentunya akan melahirkan kemampuan teknis yang mumpuni.
Kotekan dengan artikulasi yang prima pasti terlahir dari keuletan, kegigihan dan disiplin dalam berlatih. Bahkan pada saat ditunjuk sebagai duta Gong Kebyar Kabupaten Tabanan, Sekehe Gong Abdi Budaya pernah melakukan latihan dua kali dalam sehari yaitu subuh sebelum pergi menggarap sawah serta tegalan dan petang setelah datang dari sawah serta tegalan. Hanya dengan etos ulet, gigih dan disiplin latihan subuh dapat diwujudkan. Inilah jiwa dan spirit petani.
Kemudian sebagai petani jangan abaikan faktor sabit dan cangkul. Sabit dan cangkul adalah aparatus utama peralatan bertani. Sabit dan Cangkul hanya dapat difungsikan dengan baik oleh tangan serta lengan yang terampil. Terampil mengolah sabit dan cangkul adalah skill utama petani. Karena atas skil mengolah sabit dan cangkul, tanah untuk menaman dapat disiangi dan digemburkan dengan baik. Keterampilan mengolah sabit dan cangkul menyebabkan kinetis pergelangan dan lengan menjadi luwes serta kokoh. Pergelangan tangan luwes dan kokoh adalah salah satu syarat memainkan panggul dalam menyuarakan gamelan dengan kualitas baik. Nah, pertanyaan penulis mengenai apa yang menyebabkan sajian kotekan dari Sekehe Gong Abdi Budaya terdengar berkualitas? Ternyata sangat berhubungan dengan kinetis pergelangan dan lengan mereka yang luwes dan kokoh akibat dari keterampilan mengolah sabit dan cangkul.
Korelasi sabit, cangkul dan panggul (tabuh) bagi Sekehe Gong Abdi Budaya dikuatkan oleh pernyataan Ida Bagus Made Widnyana (Gus De) salah seorang seniman, komposer dan pelatih gamelan mumpuni dari Desa Tulikup, Gianyar. Gus De dalam kesempatannya memberikan masukan kepada Sekehe Gong Cenik Wayah ketika berlatih memainkan gending Kebyar Abdi Budaya yang akan dipentaskan dalam acara mebarung di Desa Kedisan, Tegalalang, yaitu: “Sebenarnya yang menyebabkan kotekan ini (gending Abdi Budaya) menjadi berkualitas, bukan karena disajikan dengan tempo yang cepat, melainkan karena teknik gegebug dan tetekep yang apik dan tekes”. Tekes artinya presisi. Pernyataan Gus De juga disetujui oleh I Wayan Sudirana yang melatih gending Kebyar Abdi Budaya di Sekehe Gong Cenik Wayah, Ubud.
Teknik gegebug apik dan tekes hanya dapat dilakukan dengan keluwesan serta kekuatan pergelangan dan lengan. Karena kinetis pergelangan tangan sebagai pusat pergerakan yang menghasilkan pola serta artikulasi kotekan. Sedangkan lengan sebagai tumpuan tenaga untuk menyangga energi gerakan kitentis pergelangan ketika melalukan gerakan pola kotekan.
Tebasan sabit melatih kinetis pergelangan, ayunan cangkul melatih tumpuan lengan. Sipirit ulet, gigih dan disiplin baik petani menjadi kontrol eksistensi. Sehingga ketika memegang panggul untuk menyuarakan gamelan, otomatis kinetis pergelangan dan kekuatan lengan terbawa disertai kedisiplinan. Hasilnya kotekan menjadi jelas, kuat dan artikulasi tersaji dengan presisi. Kualitas gending Kebyar Abdi Budaya, Sapta Bhuana dan Merak Anggelo dengan menggunakan piranti panggul tidak dapat dilepaskan dari faktor petani yang lihai dan terampil dalam mengolah sabit dan cangkul. Jadi sabit, cangkul dan panggul merupakan nyawa serta kualitas dari Sekehe Gong Abdi Budaya Banjar Anyar Perean Kangin. [T]