MASYARAKAT adat suku Baduy Dalam di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten pada bulan Juni 2023 mengajukan permohonan kepada pemerintah agar wilayah pemukiman mereka bebas dari jaringan internet. Permohonan tersebut diajukan berdasarkan musyawarah para tetua adat Baduy.
Menanggapi permohonan masyarakat adat Baduy tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika memberi respons positif. Sejak September 2023 wilayah Baduy dalam menjadi blank spot atau wilayah yang tidak dapat menjangkau akses internet.
Mengapa masyarakat Baduy menolak kehadiran internet di wilayahnya? Sementara masyarakat pada umumnya sangat tergantung pada layanan internet? Bahkan, beberapa tempat fasilitas publik memberikan layanan internet gratis kepada masyarakat; baik itu di hotel, restoran, maupun perkantoran.
Jauh sebelum muncul penolakan internet, masyarakat Baduy juga pernah mengajukan permintaan agar istilah Destinasi Wisata Baduy dihapus dan diganti dengan Saba Budaya Baduy atau Silaturahmi Budaya Baduy.
Mereka juga meminta agar dilakukan pembatasan kunjungan wisatawan ke Baduy. Permintaan yang tentu saja di luar kelaziman, karena daerah lain justru berharap menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan.
Perlawanan
Penolakan masyarakat adat Baduy terhadap internet bukan berarti mereka menolak kemajuan. Mereka ingin menjaga dan merawat nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini mampu menghadirkan harmonisasi kehidupan di masyarakat. Oleh sebab itulah mereka melakukan perlawanan dengan cara mereka sendiri.
Perlawanan masyarakat Baduy bukan tanpa alasan. Internet dianggap sebagai ancaman bagi masa depan generasi Baduy. Tentu saja mereka belajar dari perilaku netizen saat ini. Media yang berbasis internet sering membawa petaka bagi nilai-nilai adat dan tradisi.
Ketika internet dibiarkan masuk di wilayah Baduy, dikhawatirkan masyarakatnya akan banyak mengalami perubahan perilaku. Tak salah kekhawatiran itu. Media sosial berbasis internet kerap dijadikan ajang eksistensi diri, pamer kekayaan dan kedudukan, saling mencaci-maki, dan meniru budaya negara seberang yang tidak jelas juntrungannya. Ini semua sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan adat masyarakat Baduy yang bersahaja.
Penolakan internet sebagai simbol perlawanan bukan berarti pula masyarakat Baduy menolak perubahan. Sebagaimana masyarakat adat lainnya, perubahan sosial budaya adalah keniscayaan. Akan tetapi perubahan itu biasanya berjalan lambat dan datang dari dalam masyarakat sendiri (intra systemic change).
Kehadiran internet berpotensi menyebabkan perubahan secara cepat dan meluas. Dan pastinya, perubahan yang datang dari luar masyarakat (extra systemic change) akan menimbulkan masalah serius bagi masyarakat adat. Maka wajar jika masyarakat Baduy melakukan perlawanan dengan menolak internet di wilayahnya.
Tontonan
Sejatinya masyarakat adat Baduy tidak menolak pariwisata. Mereka cukup diuntungkan dengan kunjungan wisatawan ke wilayahnya. Berbagai hasil kerajinan masyarakat menjadi buah tangan bagi wisatawan. Mereka hanya ingin kedatangan orang lain ke wilayah Baduy bukan sebagai wisatawan, melainkan sebagai tamu.
Kata wisata maupun wisatawan berkonotasi masyarakat Baduy sebagai tontonan bagi orang lain. Sedangkan makna kata Saba Budaya adalah silaturahmi, saling mengormati adat istiadat masing-masing, saling melindungi dan saling menjaga. Pembatasan kunjungan wisatawan juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan fisik dan budaya di Baduy.
Watak pariwisata yang kapitalistik memang dapat membuat masyarakat Baduy was-was. Baduy akan menjadi produk yang dijual ke pasar wisata. Lantas Baduy dianggap sebagai destinasi yang unik bagi wisatawan sekaligus menjadi destinasi wisata massal.
Harapan masyarakat Baduy agar mereka bukan sekadar tontonan dalam industri pariwisata. Perilaku wisatawan selayaknya menghormati nilai dan tradisi masyarakat. Jangan sampai wisatawan berperilaku tidak sopan atau membuang sampah sembarangan di wilayah mereka.
Masyarakat adat Baduy, termasuk juga masyarakat adat lain di Indonesia; memang selayaknya tidak dijadikan destinasi wisata massal. Hal itu berpotensi menimbulkan permasalahan, baik secara sosial, budaya, maupun lingkungan. Interaksi masyarakat dengan wisatawan secara terus-menerus dalam waktu lama dan dalam jumlah banyak dapat mengancam keberadaan masyarakat adat.
Diperlukan konsep yang tepat dalam pengembangan pariwisata di Baduy. Pariwisata yang berkualitas (quality tourism) dan wisata edukasi (edutourism) lebih tepat diterapkan di Baduy. Dengan konsep itu, wisatawan yang berkunjung dapat belajar adat dan tradisi serta melestarikan lingkungan. Orientasi pariwisata yang berkualitas bukan pada jumlah wisatawan yang banyak berkunjung, namun pada kualitas perilaku wisatawan.
Masyarakat adat Baduy adalah contoh sukses perlawanan terhadap rezim teknologi dan pariwisata. Sementara banyak masyarakat adat daerah lain yang pasrah dan dengan senang hati menerimanya.
Begitulah rezim pariwisata, kadang rakus terhadap segala sumber daya. Termasuk menjual serta melahap adat dan tradisi.[T]
BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU