Mungkin ada persaaan puas setelah selesai satu tulisan. Tapi lebih bahagia lagi jika tulisan ini mendapat pembaca. Menulis kemudian adalah sebuah perjuangan untuk mendapat pembaca. Pembaca tidak mudah diraih. Sangat ditentukan oleh kecocokan antara materi tulisan dan pembaca. Di tengah kesulitan itu, saya memang mendapat pembaca. Meskipun Terlalu sedikit. Setidaknya saya tidak hanya masturbasi (lagi).
Saya pernah tergelincir ke dalam situasi yang sangat sempit. Selingkup desa. Saya menulis satu persoalan konspirasi antara investor dan aparat desa. Yang akhirnya terjuallah tanah perkebunan milik warga secara paksa. Ada penipuan di sini. Yang paling saya tolak adalah pelanggaran teritori jalur hijau kuno yang membatasi alas tutupan dan pemukiman. Lalu saya menulis masalah ini. Berhasil dibaca banyak orang, di kalangan pembaca koran Bali Post. Dan, utamanya membuat heboh di desa saya.
Mendapat pembaca ternyata mudah. Tulis hal yang berkaitan dengan pembaca. Bisa pujian atau kritik. Tapi yang lebih mudah lagi mendapat pembaca adalah tulisan yang mengkritik pembaca, apalgi kiritik ini diterima sebagai hujatan atau pelecehan.
Hal ini memang bukan “resep” jitu bagi saya untuk mendapat pembaca (atau tidak dianjurkan). Cara ini terjadi secara alamiah dan jujur. Saya menulis topik yang memancing diri saya untuk berpendapat. Pun, berkali kali tersandung perkara dengan pembaca. Puncaknya adalah pada novel Inses, yang berlatar belakang Desa Batungsel, desa kelahiran saya. Novel ini saya perkaya dengan berbagai pengetahuan yang saya miliki, diberi oleh Bapak sebagai cerita ketika saya anak-anak, sebagai buah parenting seorang ayah.
Saya masih melewati beberapa kali kejadian buruk, akibat tulisan saya. Unjungnya permusuhan yang saya alami dengan pembaca yang dirugikan. Sungguh tidak enak. Tulisan yang bertentangan dengan pembaca tidak dihindari oleh pembaca itu sendiri tetapi justru sebaliknya, diburu. Pada skala yang lebih besar, inilah disebut tulisan yang memicu kontroversi.
Tulisan yang kontroversial bukan berarti jelek tetapi harus dikembalikan kepada wacana atau realitas yang ditulis. Benar, apakah ada kontroversi? Atau memang masyarakat pembaca sudah terbelah dalam kontroversi sebelum adanya tulisan. Maka tulisan pun harus berpihak atau sedikit lebih “aman” bagi penulis kalau dijadikan tulisan yang moderat.
Saya lebih paham setelah menulis epilog ini, tulisan-tulisan saya yang dibaca dan menimbulkan permusuhan di antara saya dan mereka adalah karena lewat tulisan, saya berpihak kepada salah satu kelompok. Tegasnya, masyarakat terbelah dalam pertentangan. Lantas tulisan yang dilempar ke tengah mereka menjadi infrastruktur memicu ”perang” terbuka. Dari banyak pengalaman ini saya dapat simpulkan kalau pada akhirnya sayalah yang terseret ke dalam pertentangan atau kontroversi itu. Sementara pihak yang diuntungkan atau yang dibela (walau ini hanya konsekuensi) di dalam tulisan pun cenderung bergeming. Maka saya sebagai penulis telah berani ambil risiko walaupun ketika satu tulisan disusun, sama sekali tidak sanggup memikirkannya. Kalau sudah dipikirkan, maka arah tulisan pasti belok. Pasti aman. Sehingga saya tidak dapat pengalaman masuk kandang harimau desa adat yang sangat ganas, bersama Bapak saya yang tidak sanggup lagi menjelaskan rasa cemas dan malunya; tidak sampai nginep di kantor Polsek Pupuan, tidak pernah menjalani ritual pengusiran dari desa.
Semua pengalaman itu ada dalam bingkai mendapatkan pembaca. Ada dua kategori pembaca: yang dikenal dengan baik (karena berdekatan) dan yang tidak. Pembaca yang dikenal dengan baik adalah pembaca yang dekat dengan penulis. Selebihnya tentu pembaca-pembaca yang jauh, waktu dan ruang.
Saya lebih banyak bermasalah dengan pembaca yang dekat. Mungkin ini satu prinsip yang saya kembangkan bahwa menulis bagi saya adalah untuk mengisi kekosongan teks tulisan di antara warga desa. Ada banyak sekali tulisan, entah buku atau berita di koran, tetapi tidak ada yang menulis tentang mereka dan hidupnya di Desa Batungsel. Anak-anak yang sekolah SD di Desa Batungsel juga tidak pernah membaca nama des aini di dalam buku Pelajaran. Karena itulah tanggung jawab saya sebagai penulis memulai dengan menghadirkan Batungsel di dalam tulisan-tulisan saya. Pembaca akan bertemu satu nama desa yang asing dan juga sangat sulit diucapkan. Jalan yang saya tempuh untuk hal ini adalah dalam cerpen. Sampai pada kasus novel Inses, yang saat terbit harus mengubah seting, dari Desa Batungsel, menjadi Jelungkap, lalu berubah lagi kelak dengan revisi besar, terbit sebagai edisi II, menjadi Kemoning; latar cerita saya selalu Desa Batungsel, dengan kebun kopi, sayong, Batukaru, jalan setapak, dengung lebah, harum bunga kopi, bunga sungenge dengan getah pahit (di Jawa Srengenge).
Tulisan-tulisan saya memang pada akhirnya menghadirkan Desa Batungsel ke dunia baru: tulisan. Hal ini tentunya sangat mengagumkan. Setidaknya saya alami ketika SD. Pada satu buku di perpustakaan sekolah SD 1 Batungsel, saya bertemu buku bergambar penuh warna. Ada ular yang saya kenal di dalam habitatnya: sawah. Yang lain lebih memukai saya. Tulisan pendek dan foto-foto burung pemakan padi. Satu jenis adalah burung peking yang sama dengan burung yang saya sering pelihara ketika musim padi berbuah, namanya berbeda sedikit ”petingan” yang sungguh membuat saya tercengang. Kok ada burung petingan di dalam buku sekolah? Bagaimana hal ini terjadi?
Pengalaman ini seperti memberi wawasan realitas baru bagi saya. Ada realitas sehari-hari hidup di desa dan ada realitas lain, realitas di atas buku atau realitas tertulis. Jika demikian halnya, buku jadi sangat menarik. Pembaca dapat menemukan hubungan erat antara realitas dengan tulisan di atas kertas. Inilah yang membuat saya sangat terkesan.
Pengalaman itu cukup lama jadi mimpi. Saya ingin sekali ada bacaan atau buku mengenai kehidupan di desa. Inilah yang banyak saya tulis dan menjadi satu cara untuk mendapat pembaca, selingkup desa. Ini sudah cukup. Lewat tulisan saya, mendapat pembaca dan materi bacaan ini dekat dengan mereka serta kehidupannya. Maka Batungsel adalah pilihan. Pun harus diterima karena pernah jadi malapetaka bagi saya.
Amat sedikit tulisan tersedia di desa saya. Apalagi yang berhubungan dengan berbagai variable kehidupan di desa. Saya pun banyak menulis tentang desa untuk mengisi dunia teks yang kosong. Harapannya, Masyarakat Batungsel, dapat membaca kehidupan mereka, sebagaimana ada banyak foto. Demikian juga harus ada banyak tulisan yang mendokumentasi kehidupan Batungsel. [T]
Catatan:
- Tulisan ini diambil dari Epilog dalam buku “Menafsir Realitas dan Wacana” karya I Wayan Artika