Yudhistira ANM Massardi, Penyair dan Novelis yang juga Jurnalis, tetap aktif dan produktif. Tak lelah keliling ke kampus-kampus bersafari sastra. Punya beban berat dalam mengelola sekolah gratis.
BULAN November 2023, tiga kali saya berkumpul dengan teman-teman alias reuni, dari tiga kelompok berbeda, tapi ada pertalian yang sama dan malah menyita lebih dari separuh hidup saya. Ketiga kelompok kawan itu berasal dari himpunan sejenis, yaitu pekerja media, atau setidaknya berhubungan dengan media.
Reuni pertama berlangsung 4 November, di Bekasi, Jawa Barat. Lokasinya lebih dekat dari Jakarta dibanding dari Bandung selaku Ibukota Provinsi Jawa Barat. Kami berkumpul di rumah Mas Yudhistira Adi Noegraha Moelyana (ANM) Massardi, pengarang novel keren “Arjuna Mencari Cinta” (terbit pertama pada 1977).
Saya “kenal” nama Mas Yudhis, begitu saya memanggil namanya, saat di bangku SMAN Gianyar (1975-1978/1999). Soal tahun sekolah ini perlu dijelaskan sedikit. Saat lulus SMP Desember 1974, saya melanjutkan ke SMAN Gianyar Januari 1975. Kala itu, awal tahun ajaran baru sekolah pada Januari.
Reuni bersama Mas Yudhis
Ketika duduk di kelas tiga pada 1978, dan sudah selesai ujian akhir, pemerintah mengubah awal tahun ajaran sekolah dari bulan Januari tiap tahunnya menjadi Juni. Sehingga saya seangkatan di SMA, dipaksa memperpanjang masa SMA selama 6 bulan. Jadi, saya sekolah tingkat SMA selama 3 tahun 6 bulan.
Nama Yudhistira ANM Massardi, saat itu saya kenal lewat karya sastra, yang dibahas pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diampu Bapak Nyoman Manda. Soal Pak Manda ini pun perlu diceritakan seringkasnya. Pak Manda guru Bahasa Indonesia SMAN Gianyar. Beliau juga seorang penulis sastra berbahasa Bahasa Bali modern.
Pak Manda, teman baik ayah saya, Made Sanggra, sama-sama berkecimpung di areal sastra Bahasa Bali modern. Saat di SMA, saya tinggal di rumah Pak Manda bersama beberapa teman dari sejumlah desa sekitar Gianyar. Selain mengajar di kelas, Pak Manda juga melatih teater. Kebetulan saya tertarik dan ikut berteater. Kami mempunyai kelompok teater di SMA dengan nama Teater Malini.
Main drama bukan sesuatu yang asing bagi saya. Sebab, ketika duduk di kelas 3 dan 4 SD (1966-1970), saya salah seorang pemain drama gong anak-anak Dharma Kumara, Banjar Bedil, Desa/Kecamatan Sukawati, Gianyar. Kebetulan salah seorang pendiri dan pembina “sekeha drama gong alit-alit” ini adalah ayah saya. Dengan lakon “I Buda lan I Budi”, karya almarhum ayah saya, kami pentas hampir setiap pekan. Paling jauh, kala itu, kami ditanggap manggung di salah satu desa di Kabupaten Klungkung.
Mas Yudhis membaca karya sastra
Kegemaran main teater kemudian terbawa ketika tamat SMA dan saya merantau ke Yogyakarta (1979). Di kota inilah saya banyak bergaul dengan seniman dan menonton banyak pementasan teater. Tapi, sayang Mas Yudhis sudah pindah ke Jakarta, sehingga saya masih mengenalnya sebatas lewat karya-karyanya.
Pada perjalanan saya berikut, akhirnya saya pindah ke Jakarta. Di kota inilah saya bertemu langsung untuk pertama kalinya dengan Mas Yudhis. Kami sama-sama berada di Majalah Gatra. Di majalah ini Mas Yudhis yang mulanya bekerja di Majalah Editor pindah ke Gatra dan saya pindahan dari Sindo RCTI.
Tak berapa lama saya minta pulang ke Bali dan dikabulkan menjadi Kepala Biro Gatra di Bali. Selama di Bali, saya banyak menulis soal seni dan Rubrik Seni dan Budaya, menjadi salah satu bagian dari Kompartemen yang dipimpin Mas Yudhis. Hal ini, membuat saya sering berhubungan jarak jauh dengan Mas Yudhis.
Kami baru betul-betul satu kantor di Gatra Jakarta, saat gonjang ganjing 1998. Paska 1998, sejumlah kawan, keluar dari Gatra untuk menerbitkan Majalah Gamma. Saya terpaksa, tepatnya dipaksa menetap di Jakarta. Nah, sejak saat itulah saya sangat dekat dengan Mas Yudhis. Apalagi, setiap Selasa, Mas Yudhis mengevaluasi isi majalah yang terbitnya setiap Senin.
Dari evaluasi inilah muncul kritik dan pujian setiap tulisan di Gatra. Jadi semacam sekolah rutin awak Gatra setiap pekan. Pada kesempatan seperti ini, tak jarang kami berdisksui cukup intensif, apalagi menyangkut tulisan Rubrik Nasional, dimana saya menjadi Jabrik (Penangungjawab Rubrik).
Hal ini berjalan sampai akhirnya kami bersama-sama ikut dalam program amputasi alias pensiun dini atawa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari Gatra pada April 2006. Kemudian, dalam kurun 2006 sampai 2023, kami bertemu tidak lebih dari empat kali dan yang kelima kali inilah terjadi pada Sabtu, 4 November lalu.
Dalam status pensiunan Gatra, Mas Yudhis tetap produktif menulis puisi yang diposting di laman Facebook. Pusi-puisi tersebut kemudian dibukukan dan ada yang mendapat anugrah sebagai buku kumpulan puisi terbaik. Buku kumpulan puisi Mas Yudhis berjudul, “Cerita Cinta dalam 99 Sajak (2015), “Jangan Lupa Bercointa (2017-2020), dan “Luka Cinta Jakarta” (2018). Selain puisi, Mas Yudhis tetap menulis novel. Novel terakhirnya “Penari Dari Serdang” (2019).
Mas Yudhis membaca karya sastra
Yang hebat dari Mas Yudhis adalah energinya melakukan keliling ke kampus-kampus untuk membacakan puisi-puisinya, dalam acara bertajuk “Safari Sastra Yudhistira”. Teman seperjalanannya, selain sang istri, Siska, adalah Reny Jayusman. Reny, pemain teater dan film ini, membacakan puisi karya Mas Yudhis dalam acara tersebut.
Pada setiap daerah atau kampus yang menggelar safari sastra ini, penyair lokal dan mahasiswa dilibatlkan, entah sebagai panitia atau ikut membaca puisi. Biasanya juga dimeriahkan dengan musikalisasi puisi oleh grup musik setempat. Kemudian, setelah acara selesai, dilanjutkan dengan diskusi, atau bincang-bincang santai. “Aku berharap tahun depan bisa bersafari ke Bali,” kata Mas Yudhis.
Sebagai sastrawan, berkarya sastra, novel atau puisi, mungkin sudah seharusnya atau kewajiban karena predikat yang disandangnya. Tapi, di masa “pensiun” sebagai pekerja media, Mas Yudhis ternyata mengelola sebuah sekolah (awalnya) Taman Kanak-Kanak yang diberi nama Al-Ilmi.
TK ini lebih dikenal sebagai TK Batutis (Baca, Hitung, Tulis) gratis, dengan menerapkan metode Sentra. Tujuannya, membangun generasi baru yang berakhlak mulia, cerdas, bahagia, dan cinta belajar sepanjang hayat.
Awalnya, TK ini diperuntukkan bagi anak-anak tidak mampu. Peserta didik kebanyakan anak-anak pemulung, buruh atau pekerja lepas lainnya, alias anak pinggiran. Mereka selain tidak dikenakan biaya, juga mendapat makan sebagai asupan gizi. “Dalam perkembangannya, aku sudah tidak bisa menggratiskan mereka lagi,” kata Mas Yudhis.
“Apalagi peserta didik sekarang sudah bermacan ragam latar belakang,” kata Mas Yudhis lagi.
Di sekolah Batutis
Selain itu, ada perubahan sosial dan “gengsi” dari orang tua murid. “Mereka sudah tidak nyaman lagi ke sekolah berlabel “gratis”. Akibatnya, Mas Yudhis harus berbasah-basah, bahkan “berdarah-darah” mengelola sekolah yang sekarang sudah ada tingkat Sekolah Dasar ini.
“Aku betul-betul membutuhkan uluran tangan donatur untuk merlanjutkan sekolah ini,” kata Yudhistira ANM Massardi.
Bagi yang tertarik mengetahui apa dan bagaimana metode SENTRA itu, bisa berkunjung ke wibsitenya https://metodesentra.com/. [T]