SATUA atau cerita Bali I Durma tergolong cerita yang sudah dikenal eksis di masyarakat Bali. Popularitasnya saat ini telah hadir di berbagai ajang lomba dan tayangan youtube. Bahkan sebelum medium komunikasi masyarakat Bali disentuh media, pementasan drama, seni tari menjadi santapan rohani yang sangat di tunggu-tunggu.
Masih kuat dalam ingatan penulis, di tahun 1975-an tayangan drama tari yang sangat populer era itu, salah satunya adalah pentas seni Rajapala. Sebuah drama yang diramu tentang romantisme percintaan seorang pemuda Rajapala yang akhirnya memboyong seorang bidadari – Ken Sulasih menjadi istrinya.
Ada perjanjian di antara mereka, jika kelak ada anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, maka diminta agar Rajapala mengembalikan selendang milik Ken Sulasih agar bisa kembali ke Swargaloka.
Ending cerita Rajapala ditinggal oleh Ken Sulasih dengan lahirnya I Durma. Walaupun masyarakat saat itu sudah mengenal ceritanya, namun saat dipentaskan ulang, sudah dipastikan tidak pernah sepi penonton. Hanya saja, saat itu pentas seni hanya lebih diserap sebagai hiburan semata, di tengah terbatasnya hiburan yang tersedia. Tidak mengherankan drama gong, wayang kulit atau pentas seni lainnya senantiasa ditunggu, pemainnya dirindukan dan diidolakan bak layaknya aktris dan aktor seperti era sekarang ini.
Tersedianya tayangan-tayangan satua I Durma lewat media massa saat ini dimaksudkan untuk mengirim literasi kepada masyarakat luas bahwa cerita ini sarat dengan pesan-pesan moral yang masih relevan dewasa ini tentang kemandirian, kesantunan adalah dua pesan kunci yang sesungguhnya menonjol dalam cerita ini. Apa menariknya?
Yang jelas, kemasan cerita yang menonjolkan sosok seorang ayah dengan peran feminin yang sedang dijalankan menawarkan suatu cerita yang keluar dari pola umum tentang peran pengasuhan yang lazimnya ada di pundak seorang ibu.
Pokok Satua I Durma
Kisah ini hadir dari penggalan kisah kasih Rajapala dengan Ken Sulasih – seorang bidadari yang diceritakan turun ke bumi bersama bidadari lainnya. Sesampainya di bumi, para bidadari tersebut dikisahkan mandi di telaga. Pada saat yang bersamaan muncul seorang pemuda tampan I Rajapala yang berasal dari Desa Singapanjaron.
Rajapala sangat terkesima menyaksikan kecantikan para bidadari, muncullah niatnya mencuri selendang dari salah satu bidadari. Melalui ketangkasan dan kecerdikannya dia berhasil mengambil salah satu selendang yang ternyata milik Bidadari Ken Sulasih. Rajapala memasang jurus menahan selendang milik Ken Sulasih dan akan mengembalikan jika dia bersedia menjadi istrinya.
Tidak ada pilihan bagi Ken Sulasih menyanggupi keinginan I Rajapala dengan 1 syarat, jika nanti ada anak yang lahir dan telah berusia 7 tahun, maka Rajapala harus mengembalikan selendang yang dicuri darinya, sehingga Ken Sulasih bisa kembali ke Kendran (Istana Dewa Indra di Kahyangan).
Perkawinan antara keduanyalah melahirkan I Durma. Saat I Durma berusia 7 tahun Rajapala menepati janjinya, merelakan Ken Sulasih kembali ke Kahyangan dengan selendang miliknya. Selama Ken Sulasih pergi, I Rapala menjadi pengasuh tunggal. Selama 3 tahun I Durma ada di bawah asuh sang ayah.
Selama pengasuhan selama 3 tahun, ada masa-masa yang paling berkesan bagi I Durma yakni saat di setiap sore dia dipanggil oleh ayahnya agar duduk di sampingnya. Saat itulah ayahnya menjadi penutur. Sembari mendengar tutur ayahnya, dia merasakan kelembutan dan curahan kasih sayang ayahnya.
Berbagai wejangan tentang kehidupan, aturan-aturan norma ditanamkan padanya. Semua ini dilakukan oleh Rajapala untuk menyiapkan anaknya agar menjadi anak yang tabah, tawakal dan siap mandiri saat ditinggal oleh orang tuanya. Di saat usia 10 tahun, I Durma ditinggal oleh ayahnya mengembara ke hutan, dan pendidikan karakter dirinya diserahkan kepada Jro Dukuh.
Selama di pedukuhan dalam gemblengan Jro Dukuh, I Durma senantiasa ingat akan wejangan ayahnya. Dalam suasana pendidikan yang menyenangkan di pedukuhan, dengan karisma yang dimiliki Jro Dukuh serta penanaman karakter oleh ayahnya, dikisahkan I Durma tumbuh menjadi anak yang mandiri dan sukses dipercaya menjadi penyarikan (Sekretaris) di bawah raja Wanakeling.
I Durma dan Pemaknaan Hari Ayah
Satua I Durma sesungguhnya bisa masuk dalam asset sains lokal yang bermuatan model pendidikan karakter yang ingin memutarbalikan kultur dominan tentang peran pengasuhan yang selam ini ditimpakan pada sosok perempuan. Munculnya ide hari ayah yang notabena lahir dari pemikiran Barat (Amerika) sebenarnya bukanlah hal yang baru jika kita merunutnya dari cerita tradisional I Durma.
Satu pemikiran positif yang mengemuka dari deklarasi kelahiran hari ayah di Kota Solo pada tahun 2006 adalah tidak dimaksudkan untuk menciptakan narasi tandingan karena adanya hari Ibu yang dirayakan secara Nasional setiap tgl 22 Desember, namun lebih dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat kita bahwa gagasan tentangnya dalam rangka menegakkan pandangan bahwa keluarga haruslah dilihat sebagai kesatuan yang utuh dari keterlibatan peran ibu dan ayah.
Pemikiran ini sebenarnya peneguhan atas pentingnya menegakkan fungsi manusia tanpa sekat jenis kelamin (perempuan maupun laki-laki) dalam pola pengasuhan anak. Apapun jenis kelaminnya bisa mengambil peran secara natural dalam pengasuhan karena di dalam diri manusia sesungguhnya memiliki unsur feminin dan maskulin yang bisa dimainkan untuk tujuan pengasuhan. Inilah yang disebut dengan manusia androgyn, yakni manusia yang bisa menyeimbangkan unsur feminin dan maskulin secara seimbang.
Meminjam pemikiran Roland Barthes tentang upaya mencari pemaknaan atas suatu kultur, maka satua/cerita I Durma dapatlah dicerna dalam pemaknaan denotatif dan konotatifnya. Pada makna denotatifnya, cerita ini secara gamblang menuju pada pemahaman berikut.
- Perkawinannya bisa dimakanai sebagai tindakan transaksional, dimana ada kejelasan antara hak dan tanggung jawab. Dalam konteks ini kisah Rajapala dan Ken Sulasih memberi pesan bahwa rancang bangun keluarga harulah melalui komunikasi yang diladasi atas dasar kesetiaan dan tanggung jawab kedua belah pihak, sehingga terbangun keluarga berdasarkan kesepakatan dan tiada dusta satu sama lain. Pemufakatan dalam berkeluarga bermuatan janji kedua belah pihak yang harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sederetan pandangan ini menjadi bingkai kisah Rajapala membangun keluarga bersama Ken Sulasih. Dan, di ending cerita keduanya memenuhi janji perkawinannya dengan penuh tanggung jawab.
- Di kisahkan I Rajapala menunjukkan kesanggupan sebagai orang tua tunggal dalam mengasuh I Durma setelah ditinggal oleh Ken Sulasih. Dia digambarkan dapat menjalankan dua peran sekaligus sebagai ayah dan ibu. Pesan-pesan moral yang ditanamkan kepada anaknya tidak berat sebelah. Artinya, dia bukan hanya menanamkan unsur maskulin (tanggung jawab, mandiri), namun juga dimensi feminin (kasih sayang, empati) kepada I Durma sebagai anak laki-laki.
- Penanaman nilai kepada anak memang strategis dimulai pada usia 7 tahun, yang mana anak mulai mengenal “dunia lain”, yakni dunia sekolah – dunia yang penuh warna di luar duania
Sedangkan pemaknaan konotatif dapat diartikan bahwa cerita I Durma bermuatan makna pembongkaran/dekonstruktif atas budaya dominan tentang pengasuhan yang selama ini dibebankan pada pundak perempuan. Dalam kultur budaya dominan, tugas pengasuhan di pantas kan untuk perempuan. Sosok ibu dihadirkan sebagai sosok yang memiliki kewajiban utama dalam tumbuh kembang anak.
Dalam konteks sosial, harapan besar dalam pengasuhan anak ada pada sosok ibu, bahkan jika ada kesalahan dalam proses tumbuh kembang anak maka kesalahan akan ditimpakan kepada sosok ibu. Ini pertanda betapa timpangnya cara pandang dalam hal pengasuhan.
Kehadiran sosok ayah dalam pengasuhan umumnya dinapikan dengan alasan seorang anak terlahir dari rahin seorang ibu, maka wajarlah kedekatan secara psikologis dan sosial ada pada sosok ibu, maka wajar pula peran pengasuhan pada pada ibu. Ini penjelasan yang bersumber dari aspek sosiobiologis yang memiliki kelemahan.
Pemaknaan dekonstruktif yang terkandung dalam cerita I Durma memberi ajaran bahwa wacana pembakuan atas sesuatu yang dianggap benar hendaknya dilakukan penundaan, bukan sesuatu yang final. Artinya, peran pengasuhan yang ada di pundak perempuan secara sosial kultural bukan harga mati, bukan pula sesuatu yang tidak bisa diubah, namun produk wacana tersebut hanyalah hasil sebuah konstruksi sosial. Menjadi ayah maupun menjadi ibu hanyalah hasil sebuah konstruksi yang diidealkan dan tentunya bisa diubah. Itulah sebuah esensi dari konsep dekonstruksi.
Kehadiran peran ayah yang dibuatkan perhelatan melalui adanya hari ayah di level dunia maupun di Indonesia bisa diartikan sebagai tindakan positif dalam menghasilkan cara pandang yang berbeda dari sebelumnya tentang pentingnya peran ayah di tengah-tengah telah populernya peran ibu. Ibarat melahirkan wacana penyeimbang, maka kelahiran hari ayah adalah upaya melatihkan kita untuk adil terhadap laki-laki. Keadilan itu bisa dibentuk melalui konstruksi gender yang seimbang.
Konstruksi Gender Sosok Ayah di Hari Ayah
Ayah yang tergenderkan digambarkan sebagai sosok yang tegas dan berkuasa. Memiliki privilese yang lebih dibandingkan anggota keluarga lainnya. Pengambil keputusan dan sederetan predikat lainnya yang dilekatkan secara budaya. Steriotyp semacam itu bukanlah sesuatu yang secara otomatis diterima oleh seorang anak laki-laki dari sejak lahir, namun semua itu diperoleh dari bentukan sistem sosial yang idealkan sebagai calon ayah.
Kehadiran anak laki-laki pada masyarakat yang mengusung budaya patriakhat sedemikian diistimewakan sebagai persiapan kelak menjadi sosok ayah yang mewarisi dan melanjutkan budaya yang diidealkan. Lihatlah pada tayangan youtube tentang perlakuan atas kelahiran seorang anak laki-laki, melalui tayangan ritual tiga bulanan, demikian istimewanya, demikian meriahnya dan sedemikian megahnya, dan sampai saat ini belum ditemukan tayangan dan perlakukan yang sebanding untuk kelahiran anak perempuan.
Bahkan sebuah riset antropologi menemukan adanya etnis tertentu yang memberikan penyambutan istimewa atas kelahiran anak laki-laki dengan ritual khusus yang dilengkapi dengan tembakan senapan ke udara, dan jika ada anak perempuan yang lahir, tidak akan mendapatkan perlakukan yang serupa. Perlakuan itu berujung pada tujuan untuk menyiapkan anak laki-laki sebagai calon ayah kelak di kemudian hari.
Bentukan anak laki-laki melalui gender yang baku akan menghasilkan konstruksi pribadi maupun karakter yang tidak utuh atas potensi diri manusia. Ketika seorang anak laki-laki maupun perempuan dibentuk hanya dengan gender spesifiknya masing-masing, sebenarnya itu sama halnya dengan membuka ruang ketidakadilan bagi keduanya untuk tumbuh secara maksimal.
Misalnya, laki-laki yang tergenderkan dalam kebiasaan untuk dilayani dalam segala hal, ini adalah sesuatu yang tidak adil bagi laki-laki. Karena ketergantungan itu akan membuat laki-laki menjadi tidak berdaya di saat tidak ada yang membantunya, padahal kemandirian bisa dibentuk.
Dalam sebuah percakapan santai di kampus, ada teman saya berseloroh : “coba aja perhatikan kalau laki-laki ditinggal mati istrinya, belum kering kuburannnya sudah nikah lagi, alasannya nggak kuat nggak ada istri. Beda dengan perempuan begitu rupa dijejali pesan moral kalau ditinggal mati suami, ingat selalu sama anak. Dalam bahasa Bali ujarannya :yasaang panake, de kalaine nganten”.
Seloroh teman saya sebenarnya ingin menyorot suatu anggapan bahwa laki-laki itu adalah mahkluk yang kuat. Kalaupun pengalaman empirik banyak dijumpai sebagai seloroh teman saya, sebenarnya itu terjadi juga berakar dari hasil konstruksi.
Secara kultural sosok ayah bisa diartikan sebagai seuatu yang sudah di strukturkan secara sosial budaya. Dalam artian struktur, seorang ayah memiliki simbol/tanda, kekuasaan dan legitimasi. Ketiganya, bisa dijadikan bahan untuk melakukan penanaman nilai karakter kepada anak. Misalnya, tanda bisa berupa ekspresi seorang ayah akan mempengaruhi cara seorang anak mengekspresikan dirinya.
Penyaluran kekuasaan yang dimiliki seorang ayahpun akan ikut menentukan cara seorang memainkan kekuasaan yang dimilikinya atas orang lain. Misalnya, cara suami memberlakukan istrinya dalam bentuk interaksi, perlakuan, merupakan cermin dari praktik kuasa suami akan menjadi tontonan yang diserap oleh seorang anak.
Demikian juga dalam wujud legitimasi yang dimiliki seorang ayah bisa berbentuk larangan/batasan yang diciptakan oleh seorang ayah di dalam keluarga akan bisa menjadi penentu harmoni tidaknya iklim sosial yang terbangun.
Deklarasi hari ayah di Indonesia yang telah ditetapkan dan dirayakan setiap tgl 12 Nopember seharusnya dijadikan bahan perenungan mendalam tentang cara para ayah memainkan struktur yang telah dimilikinya. Bukan hanya dimaknai sebagai perhelatan menuju kemenangan atas pengakuan pentingnya sosok ayah. [T]
- BACA artikel lain dari penulisLUH PUTU SENDRATARI