PADA SIANG yang panas, Profesor Pande bangkit dari tempat duduknya setelah pewara mempersilakannya untuk menuju ke panggung Sasana Budaya. Semua orang yang hadir di sana mengiringinya dengan tepuk tangan yang tak henti-henti. Profesor Pande melangkah dengan tenang menuju tempat yang telah ditentukan, di mana rebab, alat musik kebanggannya, diletakkan. Hari itu, Profesor Pande akan menunjukkan kebolehannya dalam memainkan rebab.
Di atas panggung besar itu ia tidak sendiri. Ada dua puluh lima pemain rebab dan sekitar sembilan penabuh gamelan, yang juga akan menunjukkan kebolehan, setelah Profesor Pande selesai memainkan alat musik yang tergolong sebagai instrumen “kordofon”—atau alat musik yang sumber bunyinya berasal dari dawai atau senar yang dimainkan dengan cara digesek seperti halnya biola—itu.
Suasana menjadi hening, setidaknya sebelum deru kendaraan di Jalan Veteran memecahkannya, saat profesor berambut putih itu mulai memutar sebuah kidung dari telepon genggamnya. Selanjutnya, dua puluh lima pemain rebab yang duduk di samping kanan dan kirinya menundukkan kepala, seperti hendak mengheningkan cipta, sesaat setelah Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si.,—nama lengkap Profesor Pande—mulai menggesek senar rebabnya, mengiringi kidung yang diputar dari telepon pintarnya.
Suara rebab Prof. Pande sangat lembut, nyaris menyayat hati. Suara itu seperti ratapan kesedihan yang sulit digambarkan. Oleh sebab posisi pengeras suara yang tidak pas, yang menyebabkan suara rebab itu timbul-tenggelam, menjadikan suasana terasa semakin menenangkan—jika bukan menyedihkan.
Begitulah suasana penutupan “Workshop Pembelajaran Rebab Bali” yang diselenggarakan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng di Wantilan Sasana Budaya dari tanggal 9 sampai 11 November 2023. Pelatihan tersebut diikuti 25 peserta dari beberapa sanggar yang ada di Kabupaten Buleleng.
Prof. Pande saat memainkan rebab-nya di Sasana Budaya / Foto: Jaswan
“Pelatihan ini kami selenggarakan dengan tujuan mengenalkan, menyosialisasikan, dan mengembangkan rebab di Buleleng. Saya melihat, instrumen ini tidak terlalu populer di sini,” ujar Prof. Pande, kepada tatkala.co sebelum acara penutupan, Sabtu (11/11/2023) siang.
Menurut Prof. Pande, di kalangan seniman Bali, khususnya seni karawitan, rebab merupakan instrumen yang sedikit peminatnya. Hal tersebut menyebabkan Bali, khususnya Buleleng, tak banyak memiliki pemain rebab yang andal. Meskipun di beberapa daerah di Kabupaten Buleleng masih ditemukan pemain rebab, tetapi jumlahnya tak lebih banyak dari jari tangan manusia.
“Di Bali sebenarnya ada banyak pemain rebab, tapi saya melihat belum banyak yang menguasi teknik memainkannya,” kata Prof. Pande, sesaat setelah terbatuk.
Sebagai alat musik, menurutnya, rebab di Bali awalnya digunakan sebagai salah satu instrumen kesenian dramatari Gambuh. Namun, pada dekade 1920-an, alat musik tersebut digunakan juga dalam kesenian arja—semacam opera khas Bali—juga gamelan semar pegulingan. “Belakangan Gong Kebyar juga menggunakan rebab—karena ada bagian-bagian yang harus diisi oleh alat musik tersebut, seperti pengrangrang atau gending-gending yang pelan dan lirih,” terangnya.
Profesor kelahiran Tejakula, 31 Desember 1953 itu memang dikenal sebagai pemain rebab pilih tanding. Sebelum kuliah karawitan di ISI Surakarta pada 1979, lebih dulu ia belajar rebab di Konservatori Karawitan di Denpasar tahun 70-an. Baginya, rebab termasuk alat musik yang memiliki karakter sendiri. “Memainkan rebab harus menggunakan perasaan, harus lembut,” katanya.
Selain dikenal sebagai seniman rebab, Prof. Pande juga dikenal sebagai seniman pengamat kesenian, khsusunya Gong Kebyar. Pada 2016, ia menerbitkan sebuah buku berjudul Gong Kebyar yang Tidak Ngebyar. Dalam buku tersebut ia mempertanyakan Gong Kebyar yang mengalami fase ‘tidak ngebyar’ lagi, baik dari segi spirit, fisik, reportoar, garapan, dan estetika tabuhan. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh akibat pengaruh timbal-balik gamelan Gong Kebyar dengan gamelan lainnya, seperti penggunaan repertoar, tungguhan, dan teknik tabuhan.
“Gong Kebyar itukan tabuhan bersama yang ngebyar, mengagetkan, keras, dan dinamis. Nah, sekarang, karena perkembangan kebutuhan estetik, reportoarnya sudah lain. Sekarang ada gending-gending lelambatan yang masuk. Sehingga kebyar-nya itu sudah berkurang, tidak seperti dulu. Waktu saya kecil, Gong Kebyar itu sangat mengagetkan,” jelasnya.
Di Solo, Jawa Tengah, tempatnya mengajar, ia disebut sebagai “seniman strings”, seniman yang jago memainkan alat musik bersenar seperti rebab dan penting—salah satu alat musik tradisional khas Kabupaten Karangasem, Bali.
Membumikan Rebab
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber, termasuk buku Rebab dalam Seni Pertunjukan Bali (2011), awalnya alat musik rebab berasal dari wilayah Timur Tengah, namun kemudian beralih ke Persia dan India, dan sampai ke kepulauan Nusantara. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa alat musik rebab adalah alat musik yang berasal dari luar, namun dalam perjalanan dan permainannya, alat musik tersebut memiliki warna yang berbeda dari negara asalnya.
Saat ini, dalam khazanah karawitan Bali, rebab dapat dijumpai pada beberapa barungan gamelan, seperti gamelan pegambuhan, palegongan, gong kebyar, gong suling, dan lainnya sebagai pemberi aksen “pemanis” dari melodi yang dimainkan pada bagian gending tertentu. Dalam hal tersebut, rebab memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu primer dan sekunder.
Disebut primer karena rebab menjadi instrumen penting dalam permainan melodi, seperti pada gamelan pegambuhan. Sedangkan sekunter karena pada Gong Kebyar atau dalam gamelan semar pegulingan, rebab hanya dijadikan sekadar pemanis saja—ada tidaknya rebab tidak terlalu berpengaruh.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, khususnya di Kabupaten Buleleng, alat musik rebab tidak terlalu diminati. Oleh karena kondisi itulah, bersama Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Prof. Dr. Pande Made Sukerta, S.Kar., M.Si., mengadakan “Workshop Pembelajaran Rebab Bali” di Sasana Budaya, Buleleng.
Prof. Pande bersama para peserta “Workshop Pembelajaran Rebab Bali” di Sasana Budaya / Foto: Jaswan
Menurut Prof. Pande, setidaknya ada dua syarat dasar dalam belajar dan memainkan rebab, yakni pemain harus memiliki pendengaran yang baik dan menguasai teknik gosokan dan penutupan senar rebab. “Dalam pelatihan ini, selain kembali mengenalkan alat musik rebab, saya juga lebih menekankan pada teknik memainkannya. Sebab itu sangat penting. Karena kalau teknik sudah dikuasi, gending apa saja akan bisa,” ujarnya.
Di Buleleng, Prof. Pande sudah mengajarkan rebab sejak tahun 1992. Hal itu dilakukannya supaya rebab tidak punah—supaya rebab juga didudukkan setara dengan alat musik lain, katanya. Untuk saat ini, menurutnya, perkembangan pemain rebab di Bali secara kuantitas mengalami peningkatan. Hanya saja, sebagaimana telah disebutkan di atas, tak banyak pemain rebab yang menguasi teknik memainkannya.
“Makanya saya harap, peserta workshop ini memiliki teknik yang bagus, supaya dia bisa menularkannya pada orang lain. Bila perlu kita membentuk komunitas rebab di Buleleng,” ucapnya.
Apa yang dilakukan Prof. Pande tak lain sebenarnya bertujuan untuk membumikan rebab di Buleleng. Mengingat, secara kuantitas, Buleleng memang kalah jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Bali. Namun, meski demikian, Buleleng masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Ia menyebut, pada tahun 1979 Buleleng pernah memiliki seorang pengrebab asal Desa Mayon, dan kini telah meninggal dunia. Hingga saat ini tidak ada lagi seniman yang tertarik untuk memainkan alat musik dengan cara digesek itu.
Maka dari itu, seperti yang dikatakan Prof. Pande, melalui Dinas Kebudayaan, pemerintah harus segera mengambil tindakan akan hal ini. “Yang lebih penting daripada pelatihan ini adalah tindak lanjutnya. Setelah ini mau ngapain dan mau dibawa ke mana para peserta ini?” ujarnya, tegas.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana