TIDAK banyak bahasa di dunia yang memiliki sistem tulisan atau aksara. Di Indonesia sendiri, dari 718 bahasa daerah, hanya 11 bahasa daerah yang memiliki sistem aksara. Bahasa-bahasa daerah yang juga mewarisi aksara itu adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bugis (Makassar), bahasa Karo, bahasa Mandailing, bahasa Toba, bahasa Rejang, bahasa Kerinci, bahasa Lampung, bahasa Melayu, dan bahasa Bali.
Maka beruntunglah aksara Bali memiliki sistem aksara untuk menuliskan bahasa Bali sebelum masuknya huruf Latin. Dengan aksara itu, seluruh pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan para leluhur diabadikan.
Aksara memang berfungsi secara linguistis untuk mendokumentasikan dan mengawetkan bahasa lisan. Namun jauh melampaui fungsi linguistisnya, aksara Bali menjadi simpul utama penghubung energi semesta dengan energi dalam sarira manusia. Para leluhur Bali menandai gugusan energi yang tersebar di seluruh penjuru mata angin itu dengan aksara Bali untuk disatukan di dalam diri. Aksara-aksara yang jumlahnya seepuluh itu lalu disebut dengan dasāksara ‘sepuluh aksara’.
Pustaka Tutur Aji Saraswati menyebutkan letak aksara itu di bhuwana agung dan di dalam sarira manusia masing-masing sebagai berikut. Aksara Sa terletak di arah timur, berwarna putih, dan dalam tubuh menempati organ jantung. Aksara Ba terletak di arah selatan, berwarna merah, dan di dalam tubuh menempati organ hati.
Aksara Ta terletak di arah barat, berwarna kuning, dan di dalam tubuh menempati organ ginjal. Aksara A terletak di arah utara, berwarna hitam, dan di dalam tubuh menempati organ nyali. Aksara I terletak di tengah, berwarna lima jenis, dan di dalam tubuh menempati pangkal hati. Aksara Na terletak di arah tenggara, berwarna merah muda, dan menempati organ paru-paru.
Aksara Ma terletak di barat daya, berwarna jingga, dan menempati organ urung-urung gading. Aksara Si terletak di barat laut, berwarna hijau, dan menempati organ limpa. Aksara Wa terletak di arah timur lauut, berwarna biru, dan menempati posisi rongga dada (ineban). AKsara ya terletak di arah tengah, berwarna lima jenis, dan terletak pada puncaknya hati.
Penjelasan pustaka tersebut telah jamak diketahui oleh para praktisi kadiatmikan yang banyak berkiprah di lanskap spiritual. Pustaka Aji Saraswati seolah menegaskan bahwa manusia Bali memiliki kesadaran bahwa sariranya dipenuhi aksara. Aksara Bali sesungguhnya telah mengiringi manusia Bali sejak lahir hingga kembali ke pangkuan Ibu pertiwi. Sejak lahir, di dalam ari-ari sesungguhnya telah dibekali aksara Bali sesuai dengan jenis kelamin sang bayi.
Demikian pula ketika beranjak dewasa, aksara Bali dimanfaatkan oleh para pendeta untuk menetralkan pengaruh sad ripu dalam upacara potong gigi atau mapandes. Di sisi lain, pada saat seseorang akan manunggal dengan Muasal Kehidupan, aksara Bali kembali berperan terutama dalam rajah-rajah kajang. Ini artinya, aksara Bali adalah bekal dari lahir hingga mati.
Peran aksara Bali menurut pustaka lontar Aji Saraswati juga berkaitan erat dengan dimensi penyucian diri dan pengobatan. Berdasarkan keterangan pustaka tersebut, teknik ngringkes Dasaksara menjadi kunci dasarnya. Jika proses peringkesan itu telah sampai pada dwi aksara yaitu aksara Ang dan Ah maka seseorang bisa memanfaatkannya untuk penyucian diri dan pelebur segala penyakit.
Aksara Ang adalah bija aksara yang berstana pada nabhi atau pangkal pusar. Dengan teknik tertentu, api rahasia yang ada di dalam pusar tersebut bisa dihidupkan seseorang. Melalui agni rahasia itulah, penyucian dan pengobatan diharapkan. Kobaran api rahasia itu dibayangkan menyala berkobar-kobar dan memusnahkan segala kotoran dan penyakit.
Setelah seluruh kotoran dan penyakit menjadi abu, mantra Ong awighna winasa ya nama mesti diuncarkan. Apabila proses peleburan tersebut berhasil, seseorang selanjutnya berusaha menghanyutkan kekotoran dan penyakit itu dengan menurunkan amerta atau air suci kehidupan yang ada pada tempayan permata (dyun manik) yang terletak di otak. Mantra yang diucapkan adalah Ang Ah. Amerta itu dituntun untuk perlahan-lahan menetes melalui pembayangan Ongkara Sungsang pada tengkorak menuju ujung hidung dan jatuh pada ujung lidah Ongkara Ngadeg pada dada.
Seluruh kekotoran dikonsentrasikan berkumpul pada satu titik yaitu windhu rahasya muka atau bagian bahwa leher. Setelah terkumpul, perlahan-lahan segala kekotoran dan penyakit dihanyutkan melalui seluruh tubuh ke bawah, sampai pembuangan terakhir melalui ujung ibu jari kaki yang disebut ulu puhun.
Demikianlah aksara Bali dimanfaatkan oleh para intelektual-spiritual melampaui fungsi-fungsinya sebagai perekam bahasa lisan. Aksara Bali di titik ini adalah sumber daya budaya yang memiliki dwifungsi. Fungsi itu adalah linguistis dan mistis. [T]
- Klik untukBACAartikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA