MUSIK, selain menjadi hiburan, juga dapat dijadikan sebagai ajang untuk menyampaikan berbagai ekspresi. Bagi mereka yang terlibat langsung kedalam proses kreatif musik itu sendiri, musik akan lebih menarik, jika memiliki ekosistem musik yang berkelanjutan. Seperti, tumbuhnya pelaku seni musik, penikmat musik, apresiasi serta interpretasi dalam sebuah karya musik, sangat diperlukan untuk membangun ekosistem musik yang berkelanjutan.
Dalam beberapa dekade terakhir, misalnya. Semenjak masuknya sub kultur musik barat ke Indonesia—seperti Punk, Blues, Rock n Roll dan Metal—musik, berevolusi dari sekadar hiburan massa, menjadi sebuah lifestyle baru, dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Dimana, hal itu menciptakan gelombang masyarakat baru, dengan munculnya kelompok identitas yang ditandai dari berbagai atribut yang mereka kenakan. Berbagai atribut tersebut meliputi, trend rambut gondrong ataupun model rambut mohawk, sepatu Boots tinggi, jaket kulit yang berisi berbagai emblem, dan juga kaos band sesuai dengan selera musik yang mereka sukai.
Maka, dari adanya kelompok identitas tersebut, lahir juga komunitas pecinta musik di berbagai daerah di Indonesia. Atas dasar kesamaan mereka dalam hal mencintai dan mengapresiasi musik—atau meminjam istilah sekarang, yakni anak skena—biasanya, untuk menunjukan eksistensinya, mereka kerap mengadakan festival musik dengan sebutan musik bawah tanah atau lebih dikenal dengan musik underground.
Di Jembrana, misalnya. Sebuah kabupaten di ujung Barat Pulau Bali itu, muncul sebuah komunitas yang bernama JEMBATAN MOVEMENT, sebagai wadah bagi para musisi Jembrana, untuk menuangkan ekspresi bermusiknya. Jembatan Movement merupakan akronim dari Jembrana Musisi Bawah Tanah, yang berfokus mengadakan festival musik-musik underground di Jembrana.
Seperti, Dimas Billy, misalnya. Pemuda kelahiran Kota Negara, Kabupaten Jembrana, itu, menganggap Jembatan Movement, sebagai ruang krerasi bagi musisi jembrana, atas dasar kesamaan mereka didalam industri musik di Jembrana
“Jembatan Movement itu, merupakan sebuah komunitas yang dibentuk berdasarkan kegemaran kami dalam mendengarkan musik, datang ke acara musik, termasuk main musik juga” ujarnya, kepada tatkala.co Kamis (26/10/23) malam.
Billy—sebagaimana ia akrab dipanggil—menjelaskan, kelahiran komunitas jembatan movement, merupakan suatu rasa keprihatinan mereka terhadap ekosistem skena musik di Jembrana, yang mulai redup waktu itu. Karena adanya kendala selama masa Pandemi covid berlangsung.
Benar, selama masa pandemi, semua hal yang berbau kerumunan, mengalami pembatasan kegiatan selama hampir kurang lebih satu tahun. Maka dari adanya pembatasan kegiatan tersebut, menjadikan banyaknya kegiatan kreatif masyarakat, seperti skena musik di Jembrana waktu itu mengalami vakum untuk sementara waktu.
”Selama masa pandemi covid kemarin, skena musik di Jembrana mengalami mati suri” ujarnya. Sesaat setelah mengisap rokoknya, ia menambahkan “maka dari itu, kami memberanikan diri membuat komunitas ini, yang tujuannya untuk menghidupkan skena musik kembali di Jembrana” Pungkasnya.
Sebagai salah satu pendiri komunitas Jembatan Movement, Billy, menjelaskan bahwasannya, Jembatan Movement, selain menjadi pemantik bagi pelaku seni di Jembrana untuk mulai bermusik lagi, ia menjelaskan bahwasannya komunitas tersebut merupakan sebuah ruang kreasi, bagi musisi Jembrana tanpa membeda-bedakan genre musik yang tergabung dalam satu festival musik.
”Sebelum adanya Jembatan Movement, skena musik di Jembrana mengalami pengkotak-kotakan genre, yang menjadikan skena musik di Jembrana mengalami sedikit konflik” terangnya. Sesaat setelah memberi jeda, ia menambahkan “jadi bisa dikatakan, bahwa, Jembatan Movement merupakan komunitas musik pertama yang mengadakan festival musik lintas genre, di Jembrana” akunya sembari tertawa.
.
Namun, jauh sebelum pengkotak-kotakan genre musik di Jembrana muncul, era Orde Baru, tepatnya awal tahun 1970-an, skena musik Rock menjadi primadona, dengan munculnya band-band beringas seperti, God Bless, SAS Group, The Rollies, dan Duo Kribo yang terlibat konflik dengan skena musik Dangdut.
Dimana anak skena musik Rock menyebut anak skena Dangdut dengan sebutan kampungan. Sedangkan, anak skena Dangdut, menyebut anak skena Rock sebagai musik terompet setan.
Maka, apa yang dilakukan Billy dan kawan-kawan di Komunitas Jembatan Movement, merupakan sebuah upaya untuk memajukan industri musik di Jembrana, dengan cara memutus kultur pengkotak-kotakan genre dan merangkul band dari berbagai genre kedalam satu festival musik bersama.
Meskipun, sebagai sebuah komunitas masih terbilang baru terbentuk—satu tahun yang lalu, tepatnya awal Agustus tahun 2022—Jembatan Movement, mendapat respon yang baik dari skena musik di Jembrana. Hal itu terbukti dari antusiasmenya Band yang mengikuti festival musik mereka sangat beragam, yang terdiri dari berbagai lintas genre musik.
”Di event pertama kami yang bertajuk Pesta Djelata, pada tanggal 25 September 2022, tahun lalu, kami, memberikan ruang bagi band-band lintas genre seperti Punk, Metal, Ska, Reggae, dan Rock n Roll untuk tampil dalam satu panggung bersama” ujar pemuda berambut gondrong itu.
Sebagai sebuah komunitas, Jembatan Movement, dapat ditemui di Kedai Pilan Kopi Jln. Danau Poso, Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Sebagai tempat berkumpul mereka—untuk sekadar nongkrong ataupun membahas tentang perkembangan skena musik di Jembrana—.
Musik Untuk Kemanusiaan
Musik, merupakan sebuah bentuk penyampaian ekspresi, yang lahir dari berbagai pengalaman, kedalam rentetan nada yang berirama dan memiliki makna dan tujuan tertentu di dalamnya.
Dalam sejarahnya, musik selain sebagai hiburan dan fisioterapi, juga dapat dijadikan sebagai alat propaganda yang masih dapat dipertimbangkan hingga saat ini. Maka, tak salah jika banyak musisi yang menyampaikan isu-isu tertentu lewat lagu yang mereka ciptakan.
Seperti, misalnya, kelompok musik punk. Meskipun seakan yang terdengar hanya suara dari terikan vokalisnya, dan distorsi dari suara gitar yang terdengar bising, lagu-lagu punk kerap menyampaikan isu politik dan kemanusiaan didalamnya.
.
Selain musik Punk, banyak genre musik yang juga menyampaikan isu yang sama dengan cara yang sama pula—dengan lagu yang mereka ciptakan—. Seperti, misal, Bob Marley. Ia, dengan musik Reggae nya, berhasil menyampaikan kritik sosial dan perlawanan terhadap maraknya budaya perbudakan dan rasisme kulit putih terhadap ras kulit hitam yang terjadi di Jamaika pada saat itu.
Oleh sebab itu, maka, selain menjadi wadah untuk memberikan panggung bagi musisi-musisi di Bali, kususunya di Jembrana, Komunitas Jembatan Movement, juga menyampaikan kritik dan melakukan aksi kemanusiaan ke dalam kegiatan mereka.
Billy, mengaku, bahwasannya, pemilihan tanggal 25 september tahun lalu, sebagai event pertama mereka bukan karena kebetulan belaka, melainkan memang dengan sengaja mereka memilih tanggal tersebut, karena bertepatan dengan hari tani.
“Event pertama kami yang bertajuk Pesta Djelata itu, memang kami pas-kan di hari Tani Nasional. Sebab, selain ada acara musiknya, kami juga ada kegiatan bakti sosialnya” ujar pemuda kelahiran 1994 itu.
Dalam serangkaian event Pesta Djelata, komunitas Jembatan Movement, juga melakukan aksi kemanusiaan yang mereka sebut sebagai aksi pangan untuk rakyat. Dalam aksi kemanusiaan tersebut, mereka membagikan beras di tiga titik lokasi desa di Kabupaten Jembrana. Antara lain; Desa Banyubiru, Desa Bb. Agung dan Desa Pendem.
“Total kami memberikan bantuan sebanyak 600 kg beras kepada 30 Lansia. Yang data-data penerimanya kami dapatkan dari pihak dinas terkait” tegasnya.
Ia juga menjelaskan, alasan mereka melakukan aksi bagi-bagi pangan tersebut, karena, sebagai sebuah upaya yang mereka lakukan, untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Karena pada saat itu, kondisi masyarakat masih dalam tahap pemulihan ekonomi, setelah terkena dampak dari Pandemi covid beberapa waktu yang lalu.
Di dalam event pertamanya, Jembatan Movement, mendapat apresiasi dari banyak pihak, yang melibatkan langsung kedalam berbagai kegiatan yang mereka lakukan. Seperti, adanya support dari berbagai komintas yang ada di Jembrana, dan banyaknya sponsor yang masuk dari berbagai pihak, dalam bentuk sumbangan materi maupun non materi.
Maka, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, keberhasilan Jembatan Movemennt, dalam event musik, dan kegiatan kemanusiaan mereka, berhasil atas dasar hubungan baik yang mereka jalin dengan berbagai komunitas, dan dari berbagai pihak yang membantu dalam bentuk sponsor, guna kelancaran kegiatan yang mereka lakukan.
Selain melakukan aksi mebagikan pangan untuk Lansia, di dalam serangkaian event Pesta Djelata, mereka juga memberikan penghargaan kepada tiga Subak terbaik se-kecamatan Negara, antara lain; Subak Pemangket Awen Barat, Subak Tegalwani Cibunguran, dan Subak Pangkung Jelepung II. Dimana dalam penyerahan penghargaan tersebut, diberikan langsung oleh Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Jembrana. [T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS atau tulisan menarik lainnya YUDI SETIAWAN
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto