Tulisan ini merupakan pengantar untuk pameran Kriya Internasional yang diselenggarakan Program Studi Seni Kriya FSRD ISI Denpasar di Museum Puri Lukisan Ubud, mulai tanggal 15 Oktober 2023.
PERKEMBANGAN seni rupa kontemporer ditandai dengan terlampauinya batasan-batasan dan kategori serta sekat-sekat dalam seni rupa, seperti sekat antara fine art (seni murni) dan craft (seni kerajinan) dalam perkembangan seni rupa modern abad ke-20. Termasuk kategori seni murni dan desain yang dianggap mengedepankan nilai terapan, batas-batas kategorisasi menjadi penanda penting dalam konsep diferensiasi untuk menguatkan keotentikan dan kemurnian dalam seni rupa modern.
Akan tetapi setelah perkembangan seni rupa dalam tradisi seni murni bergerak begitu dinamis dengan semangat inovasi, justru meruntuhkan batasan dan sekat kategorisasi yang telah ditegakkan dan ajeg dalam naungan medan sosial seni rupa modern. Perupa modern tidak mau kreativitasnya terbatasi oleh konvensi dan paradigma seni, mereka kembali mempertanyakan batasan dan bahkan definisi seni itu sendiri.
Banyak kasus yang menjadi tonggak-tonggak kritisme tersebut, salah satunya karya fenomenal awal abad ke-20 Fountain yang tertanda “R-Mutt” berupa urinoir (tempat kencing) yang dipamerkan oleh Marcel Duchamp. Karya tersebut menjadi fenomenal karena menghadirkan benda terapan yang terbuat dari keramik diproduksi massal (ready made object), tidak ada yang spesial dari benda tersebut.
Namun ketika berhasil dipamerkan dalam ruang pameran yang prestisius melewati sistem kurasi dan diapresiasi dalam medan sosial seni rupa modern. Karya tersebut menjadi bahan kajian penting, betapa kekuatan kreativitas dan konsep seorang perupa berperan besar dalam mempertanyakan kembali esensi seni rupa serta mengguncang paradigma seni yang telah ajeg ditopang institusi seni rupa modern.
Kasus fountain Duchamp hanyalah secuil sampel dari gelombang besar kreativitas seni rupa yang tidak terbatas, kemudian melahirkan upaya terus-menerus untuk merumuskan ulang paradigma pengetahuan seni rupa. Perluasan tersebut juga berimplikasi melahirkan kategori baru yang lebih terbuka dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan eksplorasi media dan melintas batas konvensi medium seni rupa.
Merambah ruang seperti kecenderungan karya-karya seni instalasi, environmental art, mengeksplorasi tubuh sebagai medium dalam istilah performance art, bereksplorasi dengan teknologi (new media) hingga fenomena NFT berbasis blockchain yang menguat sejak masa pandemi covid-19.
Perluasan wacana dalam perkembangan seni rupa kontemporer tidak serta merta menjadikan seni-seni yang konvensional lantas punah dan menghilang, dalam praksisnya tetap saja ada perupa yang menjalankan penciptaan dalam naungan konvensinya.
Perkembangan seni rupa hingga ke multi media atau metaverse, tidak membuat seni lukis terhenti, tidak membuat seni patung, seni grafis, handy craft, atau seni yang berbasis material seperti seni kriya lantas menghilang ditelan zaman. Praksis berbagai kategorisasi yang tergolong konvensional, tetap berlangsung secara kesinambungan bahkan senantiasa menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana secara konseptual dalam siklus peradaban setiap gerakan yang mengarah keluar melampaui batas-batas, selalu akan disertai dengan gerakan sirkular yang mengarah ke dalam. Gerakan ke dalam ini juga memiliki dinamika tersendiri, mulai dari hanya sekadar menjaga kesimbungan dengan berbagai pengulangan; atau menginterpretasi kembali nilai-nilai yang bernaung di dalam konvensi. Setiap konvensi tentu dilandasi nilai dan paradigma, gerakan ke dalam baiknya berlandaskan asas kesadaran akan nilai-nilai tersebut.
Pameran karya-karya kriya yang diselenggarakan oleh Program Studi Seni Kriya FSRD ISI Denpasar mengangkat tema “Raka-Tirtha-Sadha”, dapat dimaknai dalam gerakan ke dalam konvensi ini. Tema yang mewadahi kreativitas pada penciptaan karya-karya yang dipamerkan dilandasi “kemuliaan (raka) yang mengalir (tirtha) dalam setiap kreativitas (sadha) penciptanya, kemuliaan dalam ide, gagasan, dan memvisualkan dalam bentuk karya tercermin mengalir dalam setiap penciptaan ini”.
Peserta pameran berasal dari berbagai daerah di Indonesia mewakili keragaman potensi kriya Nusantara, kemudian juga mengundang peserta dari tiga negara sahabat seperti dari negara Swiss, Amsterdam, dan Kenya.
Representasi karya-karyanya pun beragam, mulai dari relief, keris, tatah kulit, gerabah, keramik, batik, rajut, makrame, fashion dan seni tekstil lainnya, terlibat juga karya seni prasi dengan media daun rontal, hingga eksplorasi assembling barang bekas (ready made).
Karya-karya kriya dalam pameran ini menunjukkan bahwa basis penguasaan skill masih setia diusung perupa, (baik dari disiplin bidang khusus seni kriya, maupun dari disiplin lain) disertai dengan kaidah-kaidah konvensi medium tersebut.
Kaidah-kaidah yang terkait dengan konvensi medium meliputi material, teknik, dan karakteristik representasi karya seni yang dihasilkan. Contohnya kriya dengan material kayu menggunakan teknik pahat ditopang penguasaan skill memahat, dan karya yang dihasilkan mencerminkan karakteristik medianya.
Begitu juga kriya yang memakai media tanah terikat dengan konvensi teknik dan karakter medianya yang memakai peralatan khusus, melewati proses pembakaran atau glasir sehingga karya yang dihasilkan akan berkesesuaian dengan karakter medianya.
Selain karya-karya dalam konvensi media, pameran juga menghadirkan karya-karya yang bersifat terapan atau terikat pada nilai fungsionalnya, seperti keris, fashion (busana, tas). Walaupun karya-karya tersebut memiliki nilai fungsional (artinya dapat dipakai), tetapi intensitas penciptaannya didasari untuk mengedepankan kualitas nilai estetikanya maka karya-karya tersebut melampaui nilai fungsi praktisnya.
Seperti halnya karya keris, dengan kualitas estetikanya yang tinggi nilainya tidak lagi terletak pada keterfungsiannya, akan tetapi nilai simboliknya. Fenomena ini juga berlaku pada seni fashion yang mengedepankan ekspresi individual desainernya yang menekankan pada nilai estetikanya, membawanya menjauh dari nilai fungsi praktis sebagai pakaian.
Kecenderungan dari karya-karya yang lain, adanya upaya untuk memaknai kembali kekuatan skill untuk mengembangkan eksplorasi di luar konvensi media. Memanfaatkan benda atau barang bekas (recycle) seperti kain perca, onderdil motor, yang dipakai dan diolah (reuse) untuk melahirkan representasi baru dalam bentuk karya seni.
Keragaman konvensi medium disertasi kekuatan craftsmanship pada karya-karya yang tersaji dalam pameran ini, menunjukkan upaya menjaga kesinambungan nilai di dalam konvensi seni. Kreativitas tersebut berbanding lurus dan sama-sama bernilainya dengan gerakan yang keluar melampaui konvensi.
Gerakan eksploratif seni yang melampaui konvensi alih-alih mengkritisi paradigma seni, seringkali justru mengabaikan nilai estetik dan hadir dalam kebanalan representasi konseptual.
Kualitas artistik dan nilai estetika tidak lagi menjadi perhatian utama, karena yang diunggulkan adalah kualitas konseptualnya. Pengabaian pada kedua aspek tersebut menjadikan eksplorasi seninya lebih bertumpu pada kerangka rasional, tidak lagi pada rasa dan sensibilitas.
Kualitas estetik yang bertumpu pada nilai konvensi sebagaimana dipresentasikan dalam karya-karya pada pameran kriya ini, menunjukkan penghormatan kembali pada sensibilitas melalui pergumulan yang intens dengan media.
Dalam perkembangan seni yang semakin menjadi virtual di dalam kecanggihan teknologi digital berbasis AI, akan berujung pada hilangnya keterlibatan dan pergumulan bersifat fisikal. Seni berbasis teknologi digital semakin berada dalam kenyataan simulakrum, semakin tidak bersifat fisik, menjauh dari pengalaman bergumul melibatkan tubuh fisik.
Sebaliknya, seni kriya yang konvensional, misalkan praksis kriya kayu kita dapat merasakan uletnya serat kayu serta sensasi wangi kayu yang yang membawa pengalaman indrawi, merasakan tajamnya pahat sehingga dibutuhkan keterampilan untuk menggunakannya walaupun sesekali darah terpancar ketika kulit tergores pahat yang tajam.
Begitu pula pengalaman mengolah tanah liat yang elastis membutuhkan penguasaan atas sifat tanah dan penguasaan alat, menyaksikan secara langsung proses transformasi dari tanah yang ringkih mudah pecah dan kedap air, menjadi lebih keras ketika mengalami pembakaran dengan suhu tinggi pada keramik.
Seni konvensional dan manual tersebut menyajikan pengalaman tubuh dan indrawi bergumul dengan media, untuk menyeimbangkan imaji, rasa, pikiran dan motorik sehingga menjadi selaras.
Semantara pesatnya perkembangan teknologi digital metaverse perlahan dan pasti akan menjauhkan kita dari pengalaman-pengalaman ketubuhan tersebut, yang akan semakin menjadi kuno dan sekaligus langka.
Dalam konteks kemajuan serta keluasan wacana seni rupa kontemporer, maka kehadiran Kriya yang kembali pada konvensi dapat memberikan sebuah tawaran kritis dalam keserbabolehan berbagai kemungkinan (anything goes) seni rupa kontemporer. Karena perluasan itu juga harus siap dengan konsekuensi bukan saja tidak ada standar baku bagi kehadiran nilai, tetapi juga tidak adanya nilai sama sekali atau nihilisme.
Gerakan kembali kepada konvensi dalam karya-karya yang dinaungi istilah kriya, dapat menginterupsi wacana seni rupa kontemporer dengan menawarkan kembali pentingnya nilai konvensi seni. Atau dengan pilihan lain sikap kritis untuk berjarak dengan istilah wacana seni rupa kontemporer dan tidak terlalu hirau pada hiruk pikuk persilangan wacananya, memilih tetap khusuk dengan wilayahnya sendiri dan ketaatan pada kaidah-kaidah konvensi medium seni kriya.
Toh keragaman media kriya dari segi material, teknik, fungsi dan estetikanya selalu membuka peluang untuk secara terus-menerus diinterpretasikan dan dimaknai kembali, dibasuh tirtha sehingga kreativitas mengalir dalam kebijaksanaan melahirkan kreasi-kreasi dengan keunikannya masing-masing.[T]