TIGA HARI sebelum berpulang ke asal, sangkan paraning dumadi, salah seorang pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Jakarta, Hamdi El Gumanti, memberinya foto masa kecilnya yang sudah usang: warnanya pudar dan kertasnya tak lagi mulus. Namun, hari itu, 3 Februari 1993, mendapatkan foto tersebut, Mohammad Natsir gembira bukan main.
Sambil berbaring, matanya tak lepas dari foto dengan gambar rumah beratap joglo dengan halaman yang luas itu. Tak jauh dari rumah tersebut terdapat sungai jernih dengan jembatan kayu jati berukir di atasnya.
Mohammad Natsir tengah terkulai lemah di sebuah ruang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebelumnya, Natsir meminta Hamdi mencarikan foto-foto semasa kecilnya di Alahan Panjang, Sumatera Barat. (Kota sejuk itu sangat istimewa bagi Natsir. Di sanalah, dia lahir dan menghabiskan masa kecilnya, sebelum berpindah-pindah tempat tinggal.)
Mendapatkan permintaan itu, Hamdi terbang ke Alahan Panjang. “Saya kaget. Sebelumnya Pak Natsir tidak pernah seperti itu,” katanya mengenang. Setelah membongkar berbagai album, akhirnya dia menemukan foto yang diinginkan Natsir. Segera dia kembali ke Jakarta. Syukurlah, dia tidak terlambat. Sebab, tiga hari setelah melihat-lihat foto itu, Natsir pun berpulang. (Ia lahir 17 Juli 1908 dan meninggal 6 Februari 1993.)
Natsir, sebagaimana tertulis dalam buku Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2017), adalah orang yang puritan. Tetapi, kadang kala orang yang lurus bukan tak menarik. Meski hidupnya tak berwarna-warni seperti cerita tonil, tapi keteladanan orang yang sanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan ini punya daya tarik sendiri.
Karena Indonesia sekarang seakan-akan hidup di sebuah lingkaran setan yang tak terputus—regenerasi kepemimpinan terjadi, tapi birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebih baik, terlalu jauh dari jangkauan—Natsir seolah-olah menjadi wakil, sosok, yang berada di luar lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil, bersahaja.
Dalam buku Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (1978), George McTurnan Kahin—guru besar Universitas Cornell, Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu—bercerita tentang pertemuan pertamanya yang mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini.
Tapi, yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin.
Benar. Natsir hanya memiliki dua stel kemeja kerja yang sudah tidak begitu bagus. Natsir tak malu menjahit kemejanya itu bila robek. Hal itu sampai membuat para pegawai Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikannya baju agar terlihat seperti menteri sungguhan.
“Lagi pula, yang ada masih cukup. Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.” Demikianlah jawaban Mohammad Natsir atas pertanyaan putrinya, Lies, ketika mereka diberi sebuah mobil dari tamunya, pemimpin Fraksi Masyumi ketika itu.
Ia memang lebih suka memenuhi kebutuhan hidup dengan perjuangannya sendiri. Bertahun-tahun, Natsir tak malu nenumpang di paviliun rumah Prawoto Mangkusasmito. Ia juga sempat menumpang di rumah H. Agus Salim. Baru pada 1946, pemerintah memberikan rumah dinas kepadanya.
Lewat tulisannya Natsir, Menteri Tak Punya Uang, Tak Punya Rumah (1993), Amien Rais bercerita, suatu ketika seorang tokoh umat di Banjarmasin bernama Muis, yang juga sahabat Natsir, kehabisan bekal di Jakarta ketika akan pulang ke Banjarmasin. Merasa sebagai sahabat, Muis mencoba meminjam uang dari Natsir yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Apa jawaban Natsir?
“Kalau mau pinjam uang pribadi kebetulan saya tak punya. Tetapi saudara bisa pinjam uang dari majalah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu diperhitungkan…”
Waktu mendengar cerita itu, Amien tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin negara, seorang Perdana Menteri, suatu jabatan negara yang demikian tinggi, sampai tidak mempunyai uang. “Barangkali, hal seperti itu merupakan sesuatu yang aneh menurut sementara orang. Tetapi itulah tokoh Natsir yang agaknya merupakan manusia langka,” tulis Amien.
Narasi di atas merupakan sedikit contoh, meski memiliki posisi tinggi sebagai elite negeri, para pendiri bangsa hidup sangat sederhana—untuk tidak mengatakan miskin. Bahkan banyak di antara mereka tidak punya uang. Untuk makan pun, harus dipasok beras oleh koleganya. Tidak ada pemandangan para bapak bangsa itu memakan uang haram. Hidup bergelimang harta lewat deretan jabatan komisaris.
Hal tersebut sangat kontras dengan kondisi hari ini. Alih-alih sederhana, atau memakai kemeja bertambalan, para pejabat tinggi di negeri ini kini malah terus disoroti karena pamer kemewahan (flexing) dari harta yang dimiliki. Kondisi yang sangat bertolak belakang dengan gaya hidup Mohammad Natsir.
Kebersahajaan Natsir tak terlepas dari daerah asalnya, Alahan Panjang, yang dulu dikenal dengan nama Lembah Gumanti—dataran tinggi yang subur. Kebun kopi, sayur-mayur, dan persawahan terhampar di sana. Ayahnya bernama Muhammad Idris Sutan Saripado, seorang juru tulis Pemerintah Belanda, yang tinggal bersama di rumah Sutan Rajo Ameh, saudagar kopi yang kaya-raya.
Sayangnya, seperti tertuang dalam Seri Buku Tempo: Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, tidak banyak orang yang mengetahui kehidupan Natsir semasa di sana. Maklum, orang-orang yang satu generasi dengan Natsir sudah tidak ada. Selain itu, Natsir memang tidak lama tinggal di Alahan Panjang: sebelum dia masuk Holland Inlander School (HIS) atau sekolah rakyat, dia pindah ke Maninjau.
Satu-satunya orang yang mengenal Natsir kecil adalah Hamdi. Itu pun berdasarkan cerita Siti Zahara, neneknya. “Semasa kanak-kanak Natsir orangnya lugu, jujur, dan sudah kelihatan akan jadi pemimpin,” kata Hamdi menirukan ucapan Zahara. Selain itu, masih mengutip ucapan Zahara, Natsir juga suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. “Dia kerap merapikan kamar tidur dan suka membantu mencuci piring.”
Seperti umumnya anak lelaki Minang pada masa itu, Natsir kecil juga kerap pergi ke surau, yang tak jauh dari rumahnya, untuk mengaji. Surau itu bernama Surau Dagang, didirikan para pedagang dari nagari-nagari di sekitar Alahan Panjang. Dalam buku biografi memperingati ulang tahunnya yang ke-70, dikisahkan ketika kanak-kanak, hampir setiap malam, Natsir memilih tidur di surau berselimut kain sarung.
Masa kecil Natsir dihabiskan di berbagai tempat mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai pegawai kolonial Belanda. Setelah dari Alahan Panjang, Natsir sempat tinggal di Maninjau dan bersekolah hingga kelas dua. Kemudian pindah ke Padang, untuk bersekolah di HIS Adabiyah. Tak lama berselang, dia pindah ke Solok.
Dan ketika sang ayah pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang tinggal bersama kakaknya. Di sana dia menamatkan pendidikan dasarnya sebelum akhirnya melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onder-wijs (MULO) di Bandung (Tempo, 2017).
Kini, Alahan Panjang tidak banyak berubah. Lembah Gumanti masih berhawa sejuk. Ladang sayuran dan kebun kopi masih terhampar luas. Namun, sejak dihajar bom saat agresi militer Belanda, tempat kelahiran Natsir agak berubah. Rumah itu dibangun kembali pada 1957. Kini rumah yang dihuni seorang kerabat itu lebih kecil dari ukuran sebelumnya.
Politikus Intelektual
Sub judul di atas lahir dari seorang mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dalam esainya yang berjudul Natsir, Politikus Intelektual. Dalam esainya, Anwar Ibrahim menyampaikan kekagumannya terhadap sosok bernama Mohammad Natsir.
“Rekan-rekan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), seperti Fahmi Idris, Mar’ie Muhammad, dan Ekky Syahruddin membawa saya, yang ketika itu baru berumur sekitar 20 tahun, menemui Pak Natsir. Karena saya begitu muda, dan melihat Pak Natsir sebagai mantan perdana menteri, pernah memimpin Masyumi—aliansi partai dan organisasi Islam yang terbesar di dunia—saya lebih banyak mendengar daripada berkata-kata,” tulis Anwar Ibrahim.
Di Bandung, tepatnya di toko buku Van Hoeve—toko buku yang merupakan penerbit karya-karya besar kajian Indonesia seperti karya Van Leur, Indonesian Trade and Society, dan karya B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies—di atas lantainya yang berdebu, Anwar Ibrahim menemukan dua jilid Capita Selecta karya Natsir, lantas membelinya.
“Sewaktu menjadi Menteri Keuangan, tatkala memacu pertumbuhan ekonomi, saya sering mengulangi pesan Mohammad Natsir, jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan,” ujar Anwar Ibrahim.
Sebagai seorang intelektual, Natsir sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keislamannya. Meski ia juga tidak alergi dengan paham atau ideologi lain. Benar, Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia.
Tetapi, meskipun ia berpikir Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu, tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.
Namun, meski kenyataannya demikian, sebagaimana telah ditulis Anwar Ibrahim, pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di Barat selalu tidak berlaku adil terhadap Natsir dan perjuangan umat Islam Indonesia umumnya. “Sekiranya mereka mengkaji pemikiran Natsir dan Gerakan Masyumi serta sejarah ‘demokrasi konstitusional’ di Indonesia sebelum dihancurkan oleh Orde Lama, persoalan compatibility atau kesejajaran Islam dan demokrasi itu tidak akan timbul.”
Satu-satunya sarjana Barat yang berlaku adil terhadap Natsir dan Masyumi sebagai pelopor constitutional democracy di dunia selepas Perang Dunia Kedua ialah sarjana besar Herbert Feith, yang magnum opus-nya berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
Mohammad Natsir adalah intelektual cum politikus demokrat yang terisolasi. Ia berada di dalam tradisi Islam Indonesia yang inklusif, dari tokoh seperti H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Hal ini tidak akan kita temukan di negara-negara Arab yang menpembenturan dengan tajam antara tokoh-tokoh sekularis dan tokoh-tokoh islamis, antara Taha Hussain dan penghujah-penghujahnya dari Universitas Al-Azhar, Mesir, misalnya. Di Indonesia kita tidak menyaksikan pertembungan yang sebegini antara Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki orientasi yang hampir sama dengan Taha Hussain dan tokoh-tokoh Islam.
Meski puritan, sebagai seorang intelektual, Natsir memiliki pikiran yang egaliter. Pada pengujung 1930-an, saat ia berpolemik melalui tulisan di majalah Pembela Islam dengan Bung Karno, Mohammad Natsir bersikap dan tampil layaknya intelektual. Ia menerbitkan tulisan-tulisan yang membela Soekarno. Salah satunya adalah karya H. Agus Salim yang cukup tajam, “Hakim, Hukum, dan Keadilan”.
Saat itu Soekarno menjagokan nasionalisme-sekularisme, sedangkan Natsir mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya. Melalui polemik tersebut, alih-alih menimbulkan dendam pribadi, justru mengantarkannya ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti dengan Soekarno.
Sebenarnya, menurut pengakuan Natsir, ada tiga guru yang mempengaruhi pemikirannya. A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Ahmad Sjoorkati. Yang terakhir adalah ulama asal Sudan, pendiri AlIrsyad, dan juga guru A. Hassan. Tapi intensitas pertemuanlah yang membuat Natsir lebih dekat kepada Hassan.
“Karena Natsir bergabung dengan tokoh pendiri Persis dan A. Hassan, maka Natsir mendapatkan pemikiran baru yang tercerahkan. Natsir muncul sebagai tokoh intelektual muda,” kata Profesor Dadan Wildan, guru besar Universitas Padjadjaran yang pernah menjadi Sekretaris Umum Persis.
Meski tak pernah masuk kepengurusan Persis, Natsir dianggap memberi warna modern pada organisasi ini. “Sehingga Persis waktu itu dikenal sebagai kelompok modernis atau pembaharu dalam Islam,” kata Shiddiq Amien. Natsir jugalah yang memperkenalkan sistem organisasi yang modern dan tertib di Persis.
Pertemuannya dengan Hassan dan para tokoh Persis membuat Natsir banting setir. Cita-citanya untuk dapat menjadi meester in de rechten—seorang ahli hukum—pun ditanggalkannya. Padahal, sebagaimana telah tertulis dalam buku Tempo, ketika menerima ijazah AMS Afd AII pada 1930 yang berangka memuaskan, Natsir berhak mendapat beasiswa kuliah di fakultas hukum di Batavia atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, Belanda.
“Aneh! Semua (beasiswa) itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali,” tulis Natsir kepada anak-anaknya.
Ia ingin membuat lembaga pendidikan Islam yang modern. Jauh dari kesan pesantren dan madrasah pada saat itu. Ia ingin menggabungkan ilmu pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah Belanda dengan pelajaran agama Islam. “Maka sistem pendidikan Islam itu, ringkasnya, adalah ditujukan kepada manusia yang seimbang. Seimbang kecerdasan otaknya dengan keimanannya kepada Allah dan Rasul,” kata Natsir.
Tentu, sampai di sini, masih banyak hal tentang Mohammad Natsir yang belum tersampaikan dalam artikel ini, khususnya pemikirannya tentang agama, negara, politik, dan pendidikan. Ya, pendidikan adalah salah satu hal yang ia perjuangkan.Bahkan, sampai akhir hayatnya, Natsir tetap konsisten dengan pilihannya. Baginya, kaum muslim wajib memberikan suara kepada tiap-tiap pendidik muslim dalam mengemudikan perahu pendidikannya.[T]
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana