Kabar mengejutkan datang saat aku bangun tidur pagi ini. Kabar duka itu aku lihat melalui story whatsapp temanku yang telah diunggah jam 11 malam kurang 15 menit kemarin malam.
Kemudian aku chat personal yang bersangkutan. “Sajaan pak de bandi sing nu?”tanyaku.
Sembari menunggu balasan temanku tadi, aku buka grup whatsapp KAISAR 13 (Karawitan ISI Denpasar Angkatan 2013, grup WA kuliahku). Eh ternyata benar, hampir sama, teman-teman di grup WA ternyata sudah “ribut” dari kemarin malam.
Dari WA aku tahu, Senin malam, 16 Oktober 2023, Pak De Bandi (begitu aku memanggilnya) sedang bermain tenis meja. Tiba-tiba ia pingsan, kemudian dilarikan ke rumah sakit, sampai akhirnya ia meninggal dunia. Katanya juga karena darah tingginya kumat. Seperti itu informasi yang aku dapatkan di grup WA kelasku.
Hmmm, sungguh aku ini memang kurang update informasi. Selanjutnya aku buka facebook untuk memastikan informasi tersebut, dan ternyata telah banyak teman-temanku membuat stori di facebook terkait kepulangan Pak De Bandi.
Dan di tengah secrol-secrol stori facebook, terlihat notifikasi balasan WA temanku tadi, “sajaan blitu”. Waduh.
Tapi benarkah Pak De Bandi telah tiada?
Aku rasa tidak. I Made Subandi tidak akan meninggalkan kita.
Pak De Bandi telah memberikan dedikasi yang luar biasa di dunia kesenian tradisi Bali, kususnya dunia karawitan (megambel). Banyak karya yang ia hasilkan dan sudah barang tentu karya-karyanya menjadi sumber inspirasi dan sumber penciptaan bagi komposer muda Bali dalam menciptakan komposisi karawitan Bali.
Sosoknya yang selalu nyentrik, gaya berpakaiannya yang ikonik dengan cara meudeng yang khas, mungkin saja itu untuk melindungi kepala botaknya yang ia pertahankan beberapa tahun belakangan ini. Entah kenapa memilih botak, akupun tak paham.
Demikian juga cara menuangkan gending. Ia seniman yang unik. Pak De Bandi dikenal dengan spontanitas dan improvisasi yang luar biasa dalam menciptakan komposisi serta dalam bermain alat-alat musik. Seakan apa yang ada di kepalanya, sangat gampang ia terjemahkan dalam bentuk gegebug dan senandung mulutnya.
Otaknya seperti menyimpan data gending yang tak terbatas, yang sewaktu-waktu bisa dikeluarkan jika diperlukan. Memang bakat yang luar biasa, bak Leonel Messi di dunia sepak bola.
Hal itu semua tentu akan terkenang di hati keluarga, kerabat, rekan, pengagum, murid-muridnya dan semua yang mengenal dia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebenarnya aku bukan orang yang mengenal Pak De Bandi secara dekat. Menimba ilmu secara langsung pun aku tak pernah. Tapi ibarat Ekalawya yang menjadikan Drona sebagai guru secara diam-diam, aku pun demikian.
Aku rasa banyak di luar sana yang menjadikan Subandi sebagai guru secara diam-diam. Ya, sudah tentu belajar dari karya-karyanya. Terkhusus aku, salah satu karya Subandi di dunia karawitan yang aku idolakan hingga sekarang adalah ketika ia menggarap iringan pragmentari Lebur Kangsa dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2007.
Dari iringan itu aku belajar tentang penggunaan bagian-bagian gending yang efektif dan efesian serta tepat sasaran untuk mengiringi setiap tokoh dan adegan dalam alur cerita dalam sebuah pragmentari. Di mana tidak semua perpindahan adegan dalam alur cerita harus diisyaratkan dengan menggunakan “kebyar”, serta penggunaan gending yang sama untuk mengiringi seorang tokoh.
Misalnya kapan pun tokoh Balarama yang mucul sebagai titik fokus, maka Pak De Bandi dalam karya ini akan membawa arah gending ke gending Balarama yang telah dimainkan sebelumnya. Demikian juga perlakuan yang sama diberikan kepada tokoh Krisna.
Tentu hal yang menjadikan karya ini semakin ikonik adalah melodi suling yang digunakan untuk mengiringi kemunculan tokoh Krisna. Ya, melodi itu sangat indah sekali.
Dan aku pernah membuat iringan pragmentari diajang PKB tahun 2018, Gugurnya Drona. Aku menjadikan iringan pragmentari Lebur Kangsa ini sebagai inspirasi utama dalam mencipta. Tentu masih banyak lagi karya Pak De Bandi yang aku dengarkan dan aku jadikan pelajaran.
Semisal Tabuh Kreasi Ceng-Ceng Kebes, Bintang Kartika, Ulu Chandra, Palu Gangsa, dan Bajradara yang selalu menjadi salah satu play list di saat aku ingin mendengar musik gamelan Bali.
***
I Made Subandi, lahir 23 Februari 1966. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Made Dig dan Ni Wayan Saba. Ia lahir dan tinggal di Banjar Budeng Ireng, Desa Batuyang, Sukawati, Gianyar.
Ayahnya merupakan seniman gender wayang yang terkenal. Karena itulah ia sudah terkena sentuhan seni sejak dini, terutama dari kedua orang tuanya.
Pada tahun 1984 ia bersekolah di KOKAR Bali (SMKN 3 Sukawati), kemudian melanjutkan pendidikan di STSI pada tahun 1988.
Dan pada tahun 2004 ia mendirikan Sanggar Seni Ceraken. Tidak hanya seniman lokal saja yang menimba ilmu padanya, namun banyak muridnya yang berasal dari berbagai belahan dunia seperti Amerika, India, Jepang dan lain-lain.
Sanggar Seni Ceraken juga kerap dijadikan tempat praktik kuliah lapangan (PKL) bagi mahasiswa ISI Denpasar.
Pada tahun 1999 Subandi melawat ke Amerika untuk mengajar kelompok gamelan Sekar Jaya, tepatnya di San Francisco.
Tahun 2015 ia mulai melakukan kolaborasi dengan Balawan & Batuan Etnic Fusion. Di sana ia sebagai pemain kendang sunda dan tabla. Adapun lagu yang viral yang ia dan Balawan bawakan adalah “Kle Nyakcak Nok.”
Selain dari semua itu, Subandi kerap dipercaya menjadi pembina tabuh atau composer di ajang PKB di seluruh kabupaten di Bali. Banyak karya yang ia lahirkan, baik berupa gending instrumental, maupun iringan tari. Baik itu di gong kebyar, semarpegulingan, angklung, bleganjur, gender wayang dan lainnya.
Diakhir ayatnya, I Made Subandi masih bersetatus pengajar di SMK 3 Sukawati dan telah diangkat PNS sejak 2014 setelah menjadi guru kontrak kurang lebih 20 tahun di sekolah itu.
***
Dari semua yang dikerjakan Subandi, dan dari semua pelajaran yang pernah diberikan kepada orang-orang, termasuk aku pribadi, maka sesungguhnya I Made Subandi tidaklah benar-benar meninggalkan kita.
Tubuh boleh terbakar oleh api, namun ide gagasan baik dalam bentuk pemikiraan maupun karya akan selalu hidup di tengah-tengah pelaku, pendengar dan pecinta musik karawitan Bali.
Maka dari itu, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada sanak keluarga yang ia tinggalkan, melalui tulisan ini kami segenap kerabat, rekan, murid bahkan pengagumnya turut berbela sungkawa atas berpulangnya Pak De Bandi ke Sang Pencipta.
Jatasya hi druvo mrtyur,
Dhruvam janma mrtasya ca,
Na tvam soritutn arhasi,
Tasmad apariharye’rthe
Artinya:
Karena pada apa yang lahir, kematian adalah pasti dan pasti pula kelahiran pada yang mati. Oleh karena itu pada apa yang tidak dapat dielakkan, engkau seharusnya tidak bersedih hati. (Bhagawad Gita II. 27)
Dan terkhusus bro @Emonbandi, anak Pak De Bandi, secara pribadi kita tak saling kenal, namun aku mengetahuimu melalui sosial media teman-temanku.
Meskipun sulit, tapi bersabarlah dan tabah menerima semua ini. Kesedihan dan kebahagiaan bersifat sementara dan akan bergantian datangnya.
Matrasparsastu kaunteya sitosnasukhaduhkhadah,
Agamapayino nityastamstitiksasva Bharata.
Artinya:
Hubunganya dengan segala sesuatu, akan menimbulkan dingin dan panas, senang dan sedih.
Keadaan ini tidaklah kekal, ia muncul dan menghilang, untuk itu engaku bersabarlah, oh arjuna. (Bhagawad Gita II. 14)
Sekali lagi, I Made Subandi tidak benar-benar meninggalkan kita. Sama seperti pendahulunya, I Wayan Brata, Lotring, Gde Manik, Mario dan lain lain, karya-karyanya akan selalu hidup di tengah-tengah kita. Tubuh boleh tiada, namun karya akan selalu hidup.
Selamat jalan I Made Subandi (1966-2023). We Love You. [T]