“Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apa pun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang dia belum miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.”
— Filosofi Teras
***
BERBICARA mengenai filsafat memang tak pernah ada habisnya. Dari sejak zaman Thales hingga hari ini, sebagai sebuah ilmu pengetahuan, filsafat masih terus dipelajari, dibicarakan, dan tak jarang juga diperdebatkan.
Dalam konteks pengetahuan atau filsafat sebagai cara, sosok bernama Henry Manampiring, masih mempelajari dan mengembangkannya menjadi tulisan-tulisan menarik yang konteks dengan kehidupan kita sebagai anak muda, khususnya.
Dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras, misalnya, lelaki yang akrab dipanggil Om Piring itu mampu menerjemahkan konsep stoic—filsafat Yunani-Romawi Kuno yang bagi saya pembahasannya memang berat—ke dalam sebuah buku dengan gaya bahasa ringan yang dapat dinikmati banyak kalangan.
Maka tak heran, buku yang diterbitkan Kompas pada 2019 itu, seketika menjadi semacam bacaan wajib bagi anak muda—yang hari-hari ini sepertinya memang lebih banyak mengeluh daripada bekerja keras.
Pada Jumat, (29/9/2023) sore, Om Piring hadir secara perdana di acara Singaraja Literary Festival di Kawasan Gedong Kirtya, Singaraja, Bali. Ia bersama Kadek Sonia Piscayanti, sastrawan sekaligus festival founder, membedah buku bukunya di hadapan anak-anak muda milenial dan penggemarnya di Bali.
Kadek Sonia Piscayanti dan Henry Manampiring pada sesi bedah buku Filosofi Teras serangkaian mata acara Singaraja Literary Festival 2023 / Foto: Dok. Saka
Sebelum acara dimulai, sempat saya bersalam sapa dengannya. Ramah, itu yang saya tangkap dari tutur kata tegas saat ia menyebutkan nama seraya menjabat tangan saya. Dalam hati saya begitu berdebar.. Hahaha. Siapa yang tidak deg-degan berjabat tangan dengan penulis terkenal?
Saat acara dimulai, bersama Bu Sonia, ia duduk tepat di depan saya. Bu Sonia, pada kesempatan tersebut, mulai membedah buku Filosofi Teras dengan menjelaskan tentang “trikotomi kendali”. Mendengar penjelasan tersebut, dalam hati saya bergumam, “Kenapa ini sepertinya sulit ya?”
“Kalau baca Filosofi Teras, kalian juga harus paham isinya,” begitu celetuk Bu Sonia kepada peserta bedah buku yang membludak sampai ada yang tidak kebagian kursi. Deg. Saya tiba-tiba merasa fomo. Berarti sekarang saya harus serius mendengarkan.
Bu Sonia kembali menjelaskan bahwa “trikotomi kendali” dalam Filosofi Teras menegaskan bahwa manusia di dalam hidupnya bisa hidup rileks namun bukan berarti menjadi malas. Dalam artian, manusia bisa sefleksibel mungkin menjalankan hidupnya. Fleksibel di sini artinya apa adanya, penerimaan atas segala sesuatu, semampunya, sewajarnya, dan bukan sebagai alasan untuk bermalas-malasan atau pasrah.
Mendengar penjelasan tersebut, seorang gadis berkebaya merah merasa tercerahkan dan kemudian berkata, “Kalau begini sebenarnya saya disadarkan, ya. Selama ini saya selalu bermalas-malasan.” Sedangkan saya bergumam, “Duh, saya ini sadar apa tidak ya?” pikir saya sembari menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
Semakin lama, penjelasan Bu sonia dan Om Piring semakin menyadarkan saya. Bu Sonia kembali menyinggung tentang Stoisisme yang ada pada buku Filosofi Teras. Ia menyampaikan bahwa manusia harus menggunakan nalar dan rasionalitas yang kemudian dihubungkan dengan “Trikotomi Kendali”.
Sementara itu, Om Piring menimpali, bahwa dalam hal hidup, manusia kebanyakan menginginkan hidup yang bebas atau jauh dari emosi negatif. “Hal ini dapat dilakukan apabila manusia memiliki kendali terhadap dirinya sendiri,” begitu katanya, menegaskan, dengan gerak tangan dan muka serius.
Pada saat Om Piring berkata “Kalau saya hubungkan antara filosofi teras, filsafat, dan kegiatan literasi seperti ini, ada satu hal yang terjelaskan dalam pikiran saya” membuat saya penasaran sekali. “Memangnya filsafat dan literasi—apalagi bukunya—ada hubungan?”
Dan Om Piring melanjutkan, “Bahwa bagaimana sebuah ide bisa menembus zaman. Event-event literasi dan ilmu filsafat bisa dikatakan terus maju sesuai zaman yang terus berkembang pesat.” Ah, kenapa saya tidak berpikir sampai ke sana, ya? Kenapa saya malah berpikir bahwa filsafat itu terlalu sulit? Kenapa… kenapa… dan kenapa? Pikiran itu terus berputar dalam benak saya.
Filosofi Teras, Way of Life
Berdasarkan laman Dianns.org—website resmi dari Lembaga Pers Mahasiswa FIA UB—Filosofi Teras adalah buku yang ditulis Henry Manampiring karena ia pernah didiagnosis menderita Major Depressive Disorder atau depresi pada tahun 2017.
Pada masa pemulihan, Henry menemukan dan membaca sebuah buku yang berjudul How to Be a Stoic karya Massimo Pigliucci yang berisikan ajaran stoisisme atau filsafat stoa.
Dengan membaca dan mempraktikkan ajaran yang terdapat pada buku itulah, Henry merasa menjadi lebih tenang dan dapat mengendalikan emosi negatifnya. Hal itulah yang melatarbelakangi Henry Manampiring untuk menulis buku ini. Dengan menciptakan buku ini, Henry berharap bukunya dapat meningkatkan minat baik pembaca sehingga pembaca dapat memperoleh hidup yang lebih tenang.
Dalam buku ini, Henry tidak sedang membahas mengenai pikiran buruk orang-orang tentang filsafat, tapi justru mengenalkan salah satu ilmu filsafat bernama stoisisme atau yang sering disingkat dengan filsafat stoa. Filosofi teras sendiri merupakan terjemahan langsung dari filsafat stoa tersebut.
Henry menganggap bahwa filsafat stoa adalah sebuah way of life, jalan hidup. Filsafat seringkali dinilai sebagai cara berpikir yang ruwet dan njelimet, namun filsafat stoa justru berbeda. Filsafat stoa berisi ajaran untuk kita dapat berpikir lebih simpel.
Filsafat stoa dapat memberikan banyak pelajaran-pelajaran mengenai kehidupan bagi setiap kalangan tanpa memandang latar belakangnya apa. Stoisisme bersifat “dogmatis” karena filsafat ini bukan agama yang memiliki aturan mutlak yang tidak boleh dilanggar, atau terdapat ancaman masuk neraka ketika dilanggar.
Filsafat ini tidak menjamin kita agar selalu hidup dalam kebahagiaan tetapi hidup dengan ketenangan hati dan pikiran. Hal tersebut selaras dengan tujuan dari filsafat stoa yaitu hidup bebas dari emosi negatif dan hidup mengasah kebajikan.
Dalam buku Filosofi Teras ini, dijelaskan mengenai prinsip utama dari stoisisme adalah in accordance with nature, yang berarti hidup selaras dengan alam. Manusia yang hidup selaras dengan alam adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu makhluk bernalar.
Buku Filosofi Teras cetakan terbaru yang dijual saat bedah buku di Singaraja Literary Festival 2023 / Foto: Dok. Saka
Sederhananya, hidup selaras dengan alam berarti sebisa mungkin di setiap situasi hidup kita tidak kehilangan nalar kita dan berlaku seperti binatang. Kehilangan nalar tersebut pada akhirnya berujung pada ketidakbahagiaan pada diri manusia itu sendiri.
Ah, saya paham sekarang. Sebenarnya Om Piring ingin pembacanya untuk memisahkan antara hal yang “bisa dikendalikan oleh diri dan tidak bisa dikendalikan oleh diri” agar tidak selalu fokus pada hal-hal yang sebenarnya di luar kendali.
Henry mengemas buku ini dengan uraian-uraian yang begitu mudah dimengerti dengan memberikan contoh-contoh realistis dalam kehidupan sehari-hari. Benar yang dikatakan Bu Sonia, semakin membaca lembaran demi lembaran buku Filosofi Teras, akan semakin banyak mengerti bagaimana harus bersikap agar dapat hidup dengan pikiran yang tenang tanpa diikat dengan pikiran-pikiran yang menyiksa diri.
Saat scara selesai, saya melangkahkan kaki perlahan menuju tempat Om Piring dikerubungi penggemarnya. Mereka semua hendak meminta tanda tangan dan berfoto bersama—kerumunan itu tampak begitu rampai.
Kaki saya terus berpijak pada paving-paving dan melangkah kecil mendekati Om Piring. Sampai, pikir saya. Saya menunggu di belakang penggemarnya yang masih asyik berfoto dan bergurau. Hingga dua puluh menit berlalu, akhirnya sepi.
Saya mendekati Om Piring yang sedang menunduk mengambil tas. “Pak, terima kasih sudah datang. Saya disadarkan oleh buku Filosofi Teras ini. Saya jadi sadar bahwa selama ini saya sering malas dan menjalani hidup dengan pikiran sulit yang saya timbulkan sendiri,” ucap saya dengan dada penuh debar.
Ia mengangkat kepalanya, menatap tepat di bola mata saya. Ia tersenyum tulus sembari menjawab, “Terima kasih juga telah mendengarkan saya. Tetaplah hidup dan jadi manusia hebat,” katanya sembari menggendong tas dan menepuk bahu saya dua kali. “Saya duluan, ya,” katanya, melangkah pergi dan kembali bercengkerama dengan orang lain di lain tempat.
Saya membeku, ah dia baik sekali. Akhirnya saya melangkah pergi dari keramaian—tempat penggemar Henry Manampiring—menuju sepeda motor saya untuk bersiap pulang. Hah, hari yang menyenangkan. Saat perjalanan pulang, saya menikmati sepoi angin sore itu.[T]
Editor: Jaswanto