DI JEPANG tidak ada subak. Itu sudah jelas. Oleh karenanya, saat pengabdian masyarakat di Subak Jatiluwih, Tabanan, mahasiswa Universitas Meiji, Jepang, terkagum-kagum.
Pengabdian tersebut dilaksanakan atas kerjasa sama dengan Program Studi Magister Bioteknologi Universitas Udayana, Bali, Selasa (5/9/2023).
Benar. Pemandangan alam berupa hamparan sawah—yang indah—itu membuat mahasiswa Jepang yang berpartisipasi dalam pengebdian masyarakat tersebut, selain kagum, juga merasa heran.
“Bagaimana warga di sini melestarikan sawah seperti ini? Kalau di negara saya, keindahan alam seperti ini sangat sulit dipertahankan,” kata Miharu Shimoyama, mahasiswa Universitas Meiji, Jepang.
Pertanyaan sekaligus rasa heran itu dijawab antusias oleh Wayan Suwiarka, seorang petani sekaligus pengelola DTW Jatiluwih.
Suwiarka menjelaskan, petani adalah profesi utama di Jatiluwih, dan sawah merupakan sumber penghidupan. Jadi, sawah harus tetap ada.
“Disamping itu, ada aturan dari pemerintah agar sawah tetap abadi dan tidak boleh dialih fungsikan,” tutur Asisten Manajer DTW Jatiluwih itu.
Mendapat jawaban seperti itu, mahasiswa Jepang lainnya, Naokazu Harada, merasa terpantik untuk menggali pandangan petani terkait aktivitas pariwisata. “Menurut bapak, aktivitas pariwisata di sini itu positif apa negatif?” tegasnya, penuh selidik.
Kelian Subak Jatiluwih I Wayan Mustra menuturkan bahwa aktivitas pariwisata menjadi sumber pendapatan tambahan, sehingga petani merasakan manfaat positif.
Meski begitu, Mustra juga mengakui ada dampak negatif dari perkembangan pariwisata, yakni meningkatknya kebutuhan ruang untuk tempat usaha, sehingga sawah sangat rentan dialihfungsikan.
“Syukurnya, penetapan Subak Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia juga diikuti dengan kesadaran masyarakat untuk melestarikan sawah, sehingga alihfungsi sawah dapat diminimalkan,” imbuhnya.
Kegiatan yang bertajuk “Sustainable Innovation to Support Rice Production” itu dihadiri sebanyak 30 peserta dari kalangan mahasiswa dan dosen dari kedua universitas maupun petani setempat.
Tujuh mahasiswa dari Universitas Meiji Jepang hadir dan berdialog dengan petani setempat. Mereka itu, antara lain Takumi Kambayashi, Risa Konda, Mutsumi Ikeda, Marina Okazaki, Rihito Yamagata, Miharu Shimoyama, dan Naokazu Harada.
Ketua S2 Bioteknologi Pertanian Dr. GN Alit Susanta Wirya, SP., M.Agr bersama Guru Besar FP Unud Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, M.Sc., I Putu Sudiarta, Ph.D., dan Dewa Gede Wiryangga Selangga, SP,M.Si, juga turut hadir dalam kegiatan tersebut. Mereka berbagi pengalaman tentang budidaya organik.
Prof. Dewa Suprapta memperkenalkan produk obat-obatan nabati berupa zat penyubur akar tanaman dengan merek dagang “Egary”. Menurutnya, produk ini belum dijual di pasaran, namun sudah diuji coba pihaknya di 5 kabupaten di Bali.
Prof. Suprapta menjelaskan, Egary sudah diaplikasikan dalam tanaman padi di Kecamatan Abiansemal, Badung dan di Kabupaten Buleleng. Kendati diterapkan pada budidaya padi di sawah yang kurang subur, hasilnya cukup melegakan bagi petani.
“Produksi beras yang dihasilkan petani di lahannya naik menjadi 2 kali lipat alias 100% daripada sebelum mengaplikasikan Egary,” terangnya.
Tak hanya memperkenalkan, ia juga mendemonstrasikan perlakukan dalam pemakian Egary pada pembenihan padi. Zat penyubur tersebut digunakan pada padi yang telah dieram selama dua malam dan sudah ada tanda-tanda bertumbuh atau ngecai dalam bahasa Bali.
Sebelum disemai di petakan sawah tempat pembenihan, jelasnya, bibit padi harus direndam selama 30 menit dengan Egary.
“Sebelum semai benih padi, air bekas rendaman itu disiramkan di bedengan untuk penyemaian benih padi. Jika ini dilakukan, niscaya benih akan tumbuh subur. Dan dalam jangka waktu 15 hari sudah bisa dicabut untuk ditanam,” paparnya, panjang lebar.
Sementara itu, akademisi Jepang Dr. Fumitaka Shiotsu memperkenalkan teknologi ratoon-rice atau salibu (salin ibu). Teknologi ini berupa merawat akar tanaman padi setelah panen, sehingga petani bisa berproduksi kembali tanpa harus melakukan proses penanaman sejak awal (mulai penyiapan lahan dan pembenihan).
“Keuntungannya, waktu panen lebih cepat,” katanya.
Petani yang hadir sangat antusias mengikuti kegiatan pengabdian tersebut. Dan sebelum kegiatan benar-benar diakhiri, pihak penyelenggara membagikan bingkisan Egary dan yang lainnya kepada para petani.[T][Jas/*]