MEMASUKI bulan September, kenangan tentang perang Puputan Badung yang menewaskan ribuan rakyat Bali selalu membayangi kening. Kita yang hidup saat ini seperti amnesia bahwa nun jauh di abad XIX gerombolan orang berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut pirang pernah menyerang rakyat Bali dengan bedil-meriam. Tak sedikit anak-anak dan perempuan yang seharusnya tidak turun ke medan laga, justru dengan nyali yang menyala ikut melakukan perlawanan.
Pertumpahan darah pun tak terelakkan. Peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 20 September 1906 itu menjadi penanda sejarah tunduknya Bali Selatan di bawah kekuasaan Belanda. Menyusul dua tahun setelahnya, Belanda akhirnya berhasil pula mengalahkan Kerajaan Klungkung pada tanggal 28 April 1908.
Peristiwa kelam atas perang Puputan Badung dan Puputan Klungkung tampaknya sangat membekas di hati seorang kawi-wiku (pendeta-sastrawan) Ida Padanda Ngurah yang berasal dari Gria Gede Belayu-Tabanan. Ida Padanda Ngurah sendiri secara khusus telah mencatat perang dahsyat yang menelan ribuan korban tersebut dalam karya sastra berjudul Kidung Bhuwana Winasa atau Rundah Pulina. Dari kreativitas yang dilakukan Ida Padanda Ngurah, kredo yang menyatakan bahwa sejarah hanya ditulis oleh pemenang tampaknya tidak berlaku dalam konteks Bali. Sebab, usai kalah bertempur dengan keris, para pujangga justru tak kenal lelah mengangkat pisau tulis untuk mengabadikan peristiwa itu dari sudut pandangnya sendiri.
Puputan Badung dan Klungkung dalam Bhuwana Winasa
Dari Kidung Bhuwana Winasa yang ditulis oleh Ida Padanda Ngurah kita tahu bahwa Puputan Badung diawali dengan tuduhan Belanda atas perampasan kapal dagang Sri Komala oleh masyarakat Sanur. I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Denpasar melakukan konfirmasi atas tudingan itu. Setelah masyarakat Sanur menyatakan bahwa mereka tidak melakukan penjarahan melalui sumpah, Raja Denpasar memaknai itu sebagai alasan Belanda untuk menyerang Kerajaan Badung. Maka, Raja Denpasar pun mempersiapkan diri dengan melakukan serangkaian upacara pitra yadnya untuk kakaknya, berkonsultasi dengan para pendeta penasihat kerajaan, termasuk memercikkan tirta pangentas bagi mereka yang akan turun ke medan tempur.
Pilihan Raja Denpasar dalam suatu diskusi yang sangat intim dengan para penasihat kerajaan jatuh pada mati di jalan sunya merta yang artinya gugur di medan tempur. Rakyat Badung yang merasa terancam kedaulatan atas tanah dan natahnya ikut dalam keputusan sang raja. Pertempuran dimulai dari Sanur menuju arah Tanjung Bungkak lalu menuju Sanglah dan merangsek ke wilayah Tain Siat. Di tempat itu, Raja Badung mengeluarkan keris Jala Kadingding dan Singaparaga sebagai senjata pamungkasnya, meski akhirnya tak sanggup melawan desing peluru yang ke luar dari bedil dan meriam Belanda. Raja Denpasar yang juga sastrawan itu menyatu dengan keabadian pada tanggal 20 September 1906 diiringi dengan peristiwa masatya dari rakyat dan permaisurinya.
Tak puas dengan kekalahan Kerajaan Denpasar, tantara Belanda memasang strategi lanjutan untuk menyerang Kerajaan Klungkung. Raja Klungkung yang bernama Ida I Dewa Agung Jambe tampaknya masih mewarisi prinsip bahwa jalan mati terbaik untuk ksatria bukanlah di tempat tidur, tetapi medan tempur. Cara bertahan yang terbaik adalah menyerangpun akhirnya dilakukan oleh ksatria Klungkung, meski kekalahan sejak awal sudah bisa dibayangkan. Setelah melewati pertarungan yang sengit, kepala pangeran yang pecah akibat peluru dan kematian sang raja pada tanggal 28 Apirl 1908 menjadi tanda takluknya Kerajaan Bali secara penuh di bawah kendali Belanda.
Bayang-Bayang Kekuasaan Belanda
Meski sudah menarasikan dengan sangat rinci peristiwa Puputan Badung dan Klungkung, bayang-bayang suram atas kekalahan Bali menghadapi Belanda juga masih muncul dalam karya sastra karangan Ida Padanda Ngurah yang lain, yaitu Kidung Yadnyeng Ukir. Kidung Yadnyeng Ukir yang berarti ‘senandung yadnya di gunung’ memang tidak langsung membahas konflik Bali vs Belanda. Karya sastra ini mengisahkan penyucian jagat di tiga puncak penting Bali yaitu Pucak Padang Dawa, Pura Beratan-Bedugul, dan Pura Luhur Wangaya (Batukaru). Entah ada hubungan apa upacara-upacara besar ini dengan tapak kekuasaan Belanda di Bali yang diraih melalui jalur perang. Adakah upacara ini dilakukan sebagai upaya untuk memulihkan keadaan Bali usai terjadi pertumpahan darah di berbagai wilayah? Kita simpan pertanyaan ini untuk benih tulisan yang lain.
Yang jelas, Ida Padanda Ngurah seolah merasa terpanggil untuk mewacanakan kembali peristiwa Puputan Badung dan kekalahan Sri Bandana Raja atau Raja Badung melalui Kidung Yadnyeng Ukir. Ida Padanda Ngurah bahkan mengatakan kekalahan Raja Badung oleh prawira Jawi sekaligus menandai kekalahan Kerajaan Bali (nging wus alah, ikanang bali puliṇnā, denikang prawirā jawi, saka kalān ikā, liman netra asti nattā, śiwa guru we anneki, antakān nira, śri natteng nambangan nguni). Jawi yang dimaksud dalam konteks ini adalah Belanda, sedangkan Sri Nateng Nambangan adalah Raja Badung.
Ungkapan Ida Padanda Ngurah ini secara tidak langsung mengindikasikan betapa kuat kerajaan Badung yang dimaknai merepresentasikan Bali, tentu selain Kerajaan Klungkung yang dijadikan junjungan raja-raja Bali. Secara politis, Kerajaan Badung di tahun tersebut memang baru saja mengalahkan Kerajaan Mengwi tahun 1891 Masehi yang bentang wilayahnya juga sangat luas. Di sisi lain, Kerajaan Badung memiliki koalisi dengan Kerajaan Tabanan karena berasal dari leluhur yang sama yaitu Arya Damar. Oleh sebab itu, dengan mengalahkan Badung, tiga kerajaan di Bali selatan secara tidak langsung dapat ditundukkan. Bagaimana dengan posisi kerajaan Bali yang lain? Kerajaan Bali yang lain tampaknya memilih jalur kompromis dengan Belanda! Hitunglah kerajaan Bali yang tidak melakukan puputan. Dari sana kita akan tahu kerajaan-kerajaan yang takluk terhadap Belanda tanpa sekalipun menghunus senjata.
Dengan demikian, sangat beralasan bagi Belanda untuk menyerang wilayah Bali Selatan dengan pintu masuk Kerajaan Badung. Badunglah yang dijadikan sasaran oleh Belanda setelah menaklukkan Kerajaan Singaraja tahun 1849. Belanda membutuhkan sekitar 57 tahun untuk mengalahkan Kerajaan Badung dan 59 tahun untuk menundukkan Kerajaan Klungkung. Apabila dihitung sejak keruntuhan Kerajaan Buleleng hingga kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda menguasai Bali sekitar 96 tahun. Nyaris satu abad.
Pasca penaklukkan Kerajaan Bali, Ida Padanda Ngurah secara samar-samar menyinggung wilayah Bali yang ditempati Belanda dan proses koordinasi raja-raja Bali dalam penyelenggaraan upacara yang juga harus mendapat persetujuan Belanda.
Dalam suatu perjalanan pulang dari tirta yatra di Pura Pulaki menuju Tabanan, Ida Padanda Ngurah menunjuk salah satu wilayah di Buleleng yang ditempati Belanda. Di wilayah yang bernama Panyabangan, pendeta yang gemar mendaki ini menyebut bahwa wilayah itu ditempati oleh seorang Belanda bernama Tuan van De Par (Tūr tinuju angungṣi ring panyabangān, twan pan dhĕ par angubonin). Entah siapa Tuan van De Par yang disebut oleh Ida Padanda Ngurah dan perannya dalam sistem pemerintahan Belanda. Yang jelas, ia masuk dalam ingatan sang pendeta.
Tidak hanya menyebutkan wilayah yang dikuasai Belanda, Ida Padanda Ngurah juga menarasikan realisasi penyelenggaraan suatu upacara di Pura Beratan-Tabanan yang dikoordinasikan oleh Kerajaan Belayu kepada Belanda. Sebelumnya, Kerajaan Belayu yang menjadi manggala karya telah melaporkan kepada Kerajaan Mengwi mengenai rencana upacara yang akan digelar di Pura Hulun Danu Beratan pada bulan Oktober. Setelah mendapat persetujuan dari Raja Kawya Pura (Mengwi), Raja Belayu selanjutnya meminta persetujuan dari Belanda. Ida Padanda Ngurah menyatakan bahwa Sri Raja Tuan telah setuju rencana tersebut (śri subalā tan anger pawtunning jagat, sigrā ya tta apanguning, ring śri raja tuwan, sampun pwa yā pinisarjjā).
Sri Raja Tuan yang dimaksud oleh Ida Padanda Ngurah di atas adalah Penguasa Belanda. Penggunaan kata “Tuan” untuk menandai orang Belanda tidak berbeda dengan “Tuan van De Par” yang telah disinggung di atas. Yang menarik di sini, penyelenggaraan suatu upacara sekalipun tak luput dari pengawasan Belanda. Belanda mencengkram Bali hingga ke tata cara manusia Bali berhubungan dengan Tuhannya!
Kekuasaan Belanda atas Kerajaan Bali berulang kali disebut oleh Ida Padanda Ngurah sebagai zaman kali (Kaliyuga), bahkan Kali Agung. Zaman Kali Agung adalah zaman kehancuran yang dahsyat. Kehancuran dalam hal ini tentu bukan hanya kehancuran fisik, tetapi juga tatanan sosial yang sebelumnya telah mapan di Bali. Pikiran orang yang salah arah (idĕppi wong nasar laku) dan mengabdi pada orang beruang (prasamma apti danendrā, angamu hamu ring buddi) adalah dua ciri zaman kali yang ditonjolkan oleh Ida Padanda Ngurah. Dua hal yang masih terasa relevan hingga saat ini.
Lalu bagaimana cara menghadapi zaman kali itu? Mari kita simak petikan Kidung Yadnyeng Ukir di bawah ini.
Apan rakwa titahing hyang, angdhanning idĕpping wong sasar sisir, pangriduning kali agung, hawya sira nirupekṣā, ĕnto krańna sastra gammane ya tinut, tan len maka paṇdhipaṇnan, idĕppe hala mwang yukti.
Terjemahan.
Karena sudah titah Tuhan, menakdirkan pikiran manusia salah arah, sebagai imbas dari zaman kekacauan yang dahsyat, janganlah engkau lengah, oleh karena itu patuhilah sastra agama, tiada lain sebagai alat penerang, pikiran yang baik atau buruk.
Berdasarkan petikan di atas, Ida Padanda Ngurah menawarkan jalan untuk menghadapi zaman kali dengan cara mematuhi sastra agama. Dalam situasi pikiran orang yang bingung dan salah arah serta hanya tunduk kepada para orang kaya, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan sastra sebagai pelita. Ida Padanda Ngurah menyebut peran sastra itu sebagai pandhipanan idep ‘penerang pikiran’. [T]
- Klik untuk BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA