4 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sebuah Kabar Pada Larut Malam | Cerpen Agus Wiratama

Agus WiratamabyAgus Wiratama
September 2, 2023
inCerpen
Sebuah Kabar Pada Larut Malam | Cerpen Agus Wiratama

Ilustrasi: Putu Dudik Ariawan

MALAM telah suntuk untuk kita lanjut ngobrol. Terlalu banyak bualan yang aku muntahkan. Kau pura-pura tak paham apa yang kita bicarakan.

Kau berusaha membuka mata sembari mengutus air matamu untuk menggenang lalu terjun membasahi kain yang menutup pinggang hingga mengalir di mata kakimu.

Sesekali, tanganmu tak kuasa ditahan untuk melempar telapaknya ke pipimu sendiri. Aku berusaha tak peduli tapi pipimu betul-betul merah.

Kipas angin kunyalakan dengan kecepatan maksimal agar tak terdengar isakanmu dari luar. Aquarium yang tetap memutar air keruh, sedikit menutupi desah napas tersendatmu. Empat jam aku bicara tanpa putus.

Aku ingin menjelaskan hingga benar-benar kau paham keputusanku. Namun di sela-sela mulutku yang menggerutu dan mata yang memerah, kau justru menyela dengan tepukan di pipimu. Pipi kiri, lalu pipi kanan.

Kakimu gemetar dan napasmu tersendat entah karena tangisan yang kau tahan atau anti nyamuk bakar yang aku nyalakan.

Habis sudah kata-kataku tapi kau yang kusuruh pergi tak juga mengangkat tubuhmu yang lemas dari sebuah ranjang kecil di kamar kita. Sesekali kutarik tanganmu berusaha membangunkan tubuhmu. Kau menolak. Sesekali kutarik kakimu agar segera pergi tapi tak juga kau bergeming.

Hingga aku lelah, kubiarkan kau diam begitu saja. Aku menghadap ikan-ikan dan sengaja membelakangimu sambil menyulut api pada sebatang rokok.

Pikiranku yang kusut, sementara bisa ditangani tembakau bakar dan sekaleng kopi kemasan. Asap anti nyamuk dan tembakau bercampur aduk, mataku masih merah dan basah meskipun rambutku yang berantakan karena kujambak bisa dirapikan dengan mudah. Itu yang membuatku enggan keluar kamar karena para saudara yang tersedu di luar akan tambah kalut ketika melihat keadaanku dan air matamu yang nampak berbeda dengan air mata mereka.

Pintu tertutup rapat, begitu pula jendela dan gorden. Tetapi asap dupa dengan aromanya menyelinap lewat ventilasi yang tidak terlalu besar. Suara obrolan yang berbisik terajut menusuk kamar.

Kita sedang berduka, tetapi pada saat ini pula kau membuat duka yang lebih dalam dari sebuah kematian untukku. Yang lebih menyedihkan, aku tak pernah curiga padamu sedikit pun. Aku terlalu percaya. Aku baru tahu bahwa aku hanya bisa percaya pada diriku sendiri, tidak pada siapa pun karena setiap orang menyimpan borok yang dibalut rapi. Aku sangat menyesal.

Aku ingin terisak sepertimu, tapi isakanku sudah habis sebelum kita masuk ke kamar.

Sementara aku masih memikirkan segala penyesalanku dan menimbang jalan keluar, tiba-tiba langkahmu bertenaga dan kau mendekat. Kau memelukku dengan harapan aku memaafkanmu. Sekarang kita hanya akan berpura-pura baik karena semua saudara tak mungkin siap mendengar kabar ini.

Kau menanyakan anak-anak kita? Mereka akan tetap bersamaku di sini. Masih ada ibu yang meskipun mulai renta, siap menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Tak ada masalah tentang itu. Tugasmu sekarang adalah berpura-pura tak terjadi apa-apa dan tidak membuat siapa pun di luar sana curiga. Aku hanya meminta waktu barang sebulan hingga dua bulan sebelum pembicaraan kita menjadi sebuah mimpi buruk yang nyata.

Kamar masih berantakan. Lebih berantakan dari pada biasanya. Tapi ibu menggedor pintu berkali-kali karena kita pura-pura tak mendengarnya.

“Bar, cepat keluar. Ajak Luh juga!” ucap ibu berulang-ulang dengan gedoran yang semakin menegas.

Ketika kubuka pintu, kulihat mata ibu yang tak habis-habisnya menggenangi air itu menatap mataku. Punggungnya yang bungkuk membuat ibu harus menatap agak ke atas yang seolah-olah memamerkan air matanya. Kata ibu, teman kita datang menjenguk. Aku tak habis pikir, siapa yang datang pada malam-malam suntuk seperti ini.

Penasaranku dijawab dengan langkah kaki yang mengantarku mendekati teman kita yang dimaksud ibu. Ketika melihat bahu orang yang dikatakan ibu itu, aku sudah mengenalinya. Kemarahanku lagi-lagi tersulut begitu saja. Tanganku gemetar dan mengeras seolah-olah seluruh tenaga berada pada kepalan itu.

Dia menyadari kedatanganku. Tetapi aku tak percaya, seluruh tenaga di kepalan itu luntur setelah dia tersenyum dan memamerkan mata yang mirip dengan mata ibu, lalu mendekatiku dengan iba.

Dia menarikku. Mengantarkan pada satu tempat yang agak sepi. Aku diam saja dan mengikuti ajakannya untuk duduk di sebuah kursi yang dia bersihkan dengan tangannya. Beberapa detik menyela, kami diam saja.

“Aku rasa aku paham perasaanmu. Aku juga pernah mengalami hal ini,” katanya membuka obrolan kami.

Aku masih tak habis pikir mengapa kemarahanku hilang dan seolah-olah semua masalah yang kita bicarakan hangus tak meninggalkan asap. Tetapi aku hanya diam, tak tahu apa yang harus kujawab dari kata-kata yang tak habis-habis kudengar sejak pagi tadi.

Tiba-tiba saja ketika kami terdiam dan mataku tertuju pada pintu kamar kita, kau keluar dengan kepala yang menunduk. Kau langsung pergi ke dapur yang dijadikan tempat ngobrol malam ini oleh ibu-ibu tetangga kita. Tanganmu kau tumpuk lurus rapi sambil membungkuk permisi pada orang-orang yang sibuk bermain kartu di depan kamar.

“Luh, kopi tiga tanpa gula, teh satu tidak terlalu panas, sama air putih satu, ya!” sela salah seorang pemain kartu itu padamu. Sepertinya mereka tahu kau akan langsung menuju dapur.

“Ibumu bagaimana keadaannya? Aku tak berani bertanya padanya tadi,” lanjutnya mengisi keheningan kami.

Tapi mulutku tak dapat menjawab pertanyaannya. Pikiranku kini gundah, antara harus marah, bersedih, atau berduka.

Tiba-tiba tangan kurus menyentuhku dari samping ketika aku hanya melongo dengan tatapan kosong dan pikiran yang sibuk tak berujung. Aku menatap ke arah tangan itu. Ternyata ibu yang menyuruhku mengajak teman kita makan. Tapi ia menolak dengan alasan masih ingin ngobrol denganku.

Pada ibu, aku bisa memuntahkan barang beberapa kata-kata untuk mengikuti kehendak teman kita. Lalu ibu pergi dengan langkah tertatih dan tangan kanan yang mengelus kedua mata tuanya bergantian.

Tanpa rasa malu, teman kita meneteskan air mata juga. Dia menutup kedua matanya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya merah dan air matanya mengalir begitu deras. Aku semakin bingung antara harus marah karena obrolan kita tadi dan menenangkan teman kita yang kini tersedu.

Kau tahu, air matanya itu membuat tanganku lemas dan bergerak mengelus punggunggnya meski aku masih menyimpan ragu untuk itu. Tangisannya kian mereda setelah berkali-kali tanganku mondar-mandir di atas punggungnya. Giliran tangannya yang lemas terkapar di atas paha.

“Bar, Luh membuatkan kalian kopi, minumlah,” ucap ibu yang selalu terasa tiba-tiba karena aku terlalu sibuk dengan pikiran kusutku.

“Makasi, Bu, maaf merepotkan malam-malam,” ucapnya dengan santun.

“Tidak apa, minumlah! Nanti menginap saja di sini kalau tidak berani pulang.”

Betapa lancangnya ibu ingin mengajak orang ini menginap di rumah kita. Ibu tidak tahu apa-apa, sementara sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menjelaskannya. Untung dia menolak tawaran tersebut dengan alasan yang tak ingin kuingat.

“Tunggu sebentar, aku mau ke kamar!”

Aku bangkit dari kursi yang membuatku diam itu lalu segera ke kamar untuk mengambil sebungkus rokok yang lupa kubawa waktu dipanggil ibu.

“Mau rokok?” tawarku padanya meskipun aku tahu dia bukanlah seorang perokok.

Dia menolak dengan menggelengkan kepala. Kami kembali pada sunyi. Yang terdengar hanyalah sorak-sorai para pemain kartu yang sesekali memecah hening.

Sementara aku menyulut rokok, kuintip dia dengan sebuah lirikan pada tangannya yang menanggalkan air di balik kaca matanya.

“Bar, aku ingin minta maaf,” ucapnya lirih.

Lirikanku seketika menjadi tatapan yang tegas dengan penuh penasaran.

“Aku tak tahu harus berbuat apa. Ketika itu Luh memang di depan mataku. Yang melakukan semua itu memang temanku. Teman baikku! Di rumah kontrakanku pula! Tapi apa yang bisa kuperbuat ketika Luh datang dengan sempoyongan di tangan temanku itu. Luh mengaku seorang janda, Bar!” lanjutnya.

Kali ini kuharap dia berhati-hati berbicara agar aku tak terpancing oleh kemarahan yang masih tersimpan. Malam ini bukanlah malam yang tepat untuk minta maaf. Kesedihan, kemarahan masih berbaur bagai sahabat yang siap memainkanku seperti dalang yang memainkan wayangnya.

“Kali ini kalian harus makan. Nasi goreng baru saja matang. Ini untuk warga yang menginap dan bermain di rumah, jadi kalian juga harus ikut makan,” ucapan bibiku sambil menyodorkan dua piring nasi goreng.

Lagi-lagi pembicaraan kami terpotong dan tambah beku ketika kau yang membawakan kami air mineral dengan wajah yang nyaris tak terlihat karena menunduk. Kau menaruh beberapa air mineral kemasan di samping kami, lalu pergi tanpa sepatah kata.

“Makanlah dulu. Ini bukan tawaran, tapi suruhan!” ucapku dengan nada yang hampir terputus-putus.

“Bar, Luh tak menolaknya, tak juga melawan. Aku tak berharap hal ini terjadi, terlebih di tengah-tengah kalut keadaan ini. Aku benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Aku segan melarang mereka berdua di kamar hingga akhirnya kini Luh mengandung anak ketiganya. Maafkan aku, Bar.”

Mataku menetesi air yang masih tersisa. Aku memang bukan lelaki yang bisa berkelahi, pilihanku biasanya hanya menyimpan masalah dan mengabadikannya sebagai dendam. Aku tak menjawab apa pun.

“Aku tak ingin pertemanan kita putus! Kurasa kau tahu, Bar. Luh waktu itu ke tempatku untuk meminjam uang. Tapi dia malah datang dengan teman baikku. Kita bertiga telah berteman semenjak kuliah. Aku tak mungkin menikammu dari belakang. Percayalah padaku, Bar! Dan kedatanganku kini adalah untuk belasungkawa pada ayahmu yang terbujur di Bale Dangin, juga pesan singkatmu yang menuduhku seenaknya. Sekarang aku harus pulang. Aku paham keadaanmu!”

Ia beranjak dari tempat duduk, kini gilirannya memegang pundakku. Ia pamitan pada ibu, namun tidak padamu. Ia berlalu di balik pagar rumah meninggalkan nasi yang dibawakan bibi. [T]

  • Catatan: Cerpen ini diambil dari buku kumpulan cerpen “Kado Kematian untuk Pacarmu” karya Agus Wiratama (Mahima, 2019)
Berbekal Nasi Kuning ke Kahyangan | Cerita Hari Kuningan Gde Aryantha Soethama
Fête De La Musique | Cerpen Santos Philipus
Undangan Pernikahan | Cerpen AA Ayu Rahatri Ningrat
Tags: Cerpen
Previous Post

Puisi-puisi Pranita Dewi | Bedawang Nala

Next Post

Gaya Lukisan I Gusti Made Deblog dan Jalan Panjang Penetapan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda 2023

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post
Gaya Lukisan I Gusti Made Deblog dan Jalan Panjang Penetapan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda 2023

Gaya Lukisan I Gusti Made Deblog dan Jalan Panjang Penetapan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda 2023

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025

MATAHARI menggantung tenang di langit Ubud ketika jarum jam perlahan menyentuh angka 12.30. Hari itu, Minggu, 1 Juni 2025, Rumah...

by Dede Putra Wiguna
June 4, 2025
Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng
Kuliner

Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng

SORE menjelang malam di Pasar Senggol, di Pelabuhan Tua Buleleng, selalu tercium satu aroma khas yang menguar: adonan tipis berbahan...

by Putu Gangga Pradipta
June 4, 2025
Film “Story” dan “AI’r”: Tekhnologi dan Lain-lain | Catatan dari Layar Kolektif Bali Utara
Panggung

Film “Story” dan “AI’r”: Tekhnologi dan Lain-lain | Catatan dari Layar Kolektif Bali Utara

ADA enam flm pendek produksi devisi film Mahima Institute Indonesia (Komunitas Mahima) diputar di Kedai Kopi Dekakiang dengan tema “BERTUMBUH”,...

by Sonhaji Abdullah
June 4, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co