DIBESARKAN pada tradisi literasi yang sama ketatnya dengan didikan agama, telah sejak lama aku mengenyam kontradiksi. Batasku sebagai anak dan manusia yang ingin tahu makna keberadaannya di dunia, menjadikanku kenyang didera oleh nilai-nilai yang berbeda. Tidak lain, karena apa yang kutemukan di buku berbeda dengan lidah dan tangan orang tuaku, terutama Bapak. Aneh, padahal pustaka-pustaka itu siapa lagi yang sediakan selain Bapak. Salah satu nilai yang coba diwariskan Bapak namun sarat kontradiksi adalah moral dan ideologi yang bekerja di dalamnya.
Dalam pembelaan Bapak, 1965 adalah dosa daripada manusia komunis durjana. Retorika ini diulang oleh orang-orang di sekitarku saat itu, yang kebetulan sering menggenggam kitab suci.[1] Sekarang aku tahu, mengapa Bapak bisa bilang begitu. Terlepas dari Bapak yang menghabiskan dewasa mudanya dengan berjualan buku, Bapak rupanya turut menelan ketakutan yang lahir dari belajar beragama dengan tekun. Begitulah aku diwariskan olehnya kontradiksi.
Foto: CushCush Gallery (2023)
“Perjuangan manusia melawan kuasa adalah perjuangan ingatan melawan lupa,” sabda Milan Kundera dalam Kitab Lupa dan Gelak Tawa[2] ini mengingatkan kita bahwa sejarah yang ditulis oleh orang berdaya adalah sejarah yang berusaha menghapus ingatan-ingatan genap tentang kejadian. Agar kuasa dapat langgeng, kisah harus ditemurunkan secara harfiah melalui tahta.[3] Hanya satu kisah, dan tidak lain.
Maka, sepanjang usia dewasa muda, aku dihadapkan pada usaha membatalkan ingatan (unlearn) atas apa yang Bapak wariskan. Banyak respon dan tulisan telah digarap dan telah aku baca soal 1965. Our Sea is Always Hungry (Leyla Stevens, 2018) yang ditampilkan di Cush Cush Gallery, Agustus 2023, bukanlah pengecualian. Namun, aku tergugah untuk merenungkan kembali makna batas ketika dalam esai ini aku berniat membahasnya.
Leyla Stevens melalui karya audio-visualnya menampilkan berbagai b-roll footage dengan stilasi pasca produksi. Dibarengi dengan narasi dialog yang menyayat hati serta puitis, Our Sea is Always Hungry secara harfiah menggambarkan tarik menarik antar batas. Dibuka dengan gambar dan kisah soal garis laut yang memisahkan dua karang geologis, yang kemudian disebut oleh ilmuwan kolonial sebagai Garis Wallace, memberi batas soal apa yang tumbuh dan berkembang di antara dua karang tersebut. Karya ini dibuka dengan kisah yang tidak memusatkan manusia, kemudian ditarik pada kisah manusia serta traumanya yang turun temurun.[4]
Suara perempuan dalam narasi ingin menggugat bahwa kekerasan yang terjadi di tanah atas dua garis itu adalah lebih purba wujudnya. Ia menggugat kolonialisme sembari mengingatkan bahwa huru-hara ini bermula dari tujuh mayat di lubang, yang kemudian ditarik batas bahasannya oleh suara laki-laki bahwa ini semua bermula di 1963. Kemudian dialog itu mempertanyakan kembali batas-batas antara adab dan biadab, dengan kisah horor tentang bagaimana ‘para jagal’ selalu memutuskan mabuk tuak setelah menghabisi tersangka—seolah merayakan matinya orang-orang dengan parang dan tangannya sendiri. Salah satu—lalu mengenali dirinya sebagai seorang petani—berhasil lolos dari penjagalan, lalu memutuskan untuk menarik diri dari peradaban karenanya.
Foto: CushCush Gallery (2023)
Hari-hari si petani kemudian dibayangi oleh Wong Samar, sembari menyandang rasa bersalah karena sintas. Wong Samar sebagai wujud rasa bersalah ini kadang gaib kadang zahir, sementara si petani juga memutuskan untuk timbul tenggelam dalam tlatah peradaban. Ingatannya kemudian menjadi sesuatu yang tak atau kasat karenanya.
Agenda yang dibawa oleh Leyla Stevens dalam karya ini adalah gamblang lapisannya. Ingatan—atau bolehlah kita sebut sejarah—alternatif yang mengangkat tragedi sebagai bencana ke-manusia-an menghablur karena ditampilkan sebagai sebuah karya seni dalam sebuah perbincangan yang tabu dan luar biasa terhegemoni. Karya ini memetakan batas-batas akan banyak hal. Lebih penting lagi, karya ini kemudian menjelma material afektif—sederhananya, menjelma monumen di mana orang-orang dapat mencantolkan seluruh empati dan emosi karena wacananya.
Perbatasan, kata ilmuwan-ilmuwan mestiza[5], adalah ruang kemenjadian. Interioritas (kesadaran sebagai subyek) ‘aku’ bersinggungan dengan interioritas ‘kamu’. Persinggungan antara interioritas ini menjelma eksterioritas (kesadaran sebagai subyek-di-dunia, atau dasein dalam penalaran Martin Heidegger[6]) yang melahirkan swabudaya (self-culture)[7]. Eksterioritas ini terjadi pada keruangan fisik atau sosio-spasial yang performatif/berwujud laku, menjelma monumen atau laku—atau material afektif. Dalam karya ini, Our Sea is Always Hungry kemudian menjadi cantolan akan keruangan performatifnya dalam pameran seni.
Perlu dipahami bahwa batas adalah hasil nalar modern, yang melihat kedua kutub sebagai ekstrem yang saling bertumbukan. Modernisme yang sama, telah melahirkan kekerasan oleh negara dan akhir dari kolonialisme era lama. Maka, obat penawar berupa setelah/pasca-modernisme ini berangsur menawarkan cara pandang dunia dalam spektrum, sebagaimana layaknya bentuk bola bumi dan semesta-semesta ini.
Dalam kaitannya dengan ingatan, cara pandang baru mengenai batas ini menawarkan cara menggugat dengan melihat ingatan atau sejarah sebagai akibat yang terlampau personal. Secara visual, ia pun menghablur batas antara kekerasan dan dampaknya pada stilasi dwirona (duotone) di akhir footage. Trauma kemudian membicarakan segalanya, hingga pada dampak penalarannya yang dapat ditafsir magis atau psikosis di akhir kisah.
Samar-samar, aku adalah orang yang mungkin paling tidak mengenal ‘batas’. Bukan saja karena aku ‘kurang ajar’ dalam mata orang-orang tua—ibu menjulukiku sebagai Bima karenanya—namun juga karena aku tidak pernah tuntas mengenali ‘batas’. Aku ‘tinggal’ di delapan kota dalam 27 tahun hidup, sehingga tidak pernah benar-benar menyerap identitas sebagai orang Jakarta, atau Makassar, atau Ngawi, atau Jogja.
Kemudian, aku menawarkan diriku untuk melihatku sebagai warga seluruh alam dan dengan berani melampaui batas. Aku menalar kembali ingatan-ingatan yang kuperoleh dan kubatalkan. Melalui laparnya laut yang baka[8], Leyla Stevens menawarkan cermin kepadaku: untuk menyerahkan diriku pada spektrum dan terus hidup karena setiap kepala adalah monumen. Luka dan ketidak ajegan yang hablur adalah pondasinya. Barangkali.
[1] Kaitan antara fundamentalisme agama dan ketakutannya akan komunisme ini rupanya fenomena yang global belaka. Jika ingin tahu lebih lanjut, kamu bisa baca Bennett, Jeffrey S. “The Blue Army and the Red Scare: Politics, Religion, and Cold War Paranoia.” Politics, Religion & Ideology 16.2-3 (2015): 263-281.
[2] Kundera, Milan.1979. Kniha smíchu a zapomnění atau The Book of Laughter and Forgetting.
[3] Ini salah satu taktik Machiavellian yang tertuang dalam Il Principe (1532)
[4] Catatan kaki bagian ini sebaiknya dibaca setelah seluruh esai. Pada bagian ini, aku jadi bertanya: apakah anthropocentrism (keberpusatan manusia) juga menyangkut persoalan ingatan? Apakah ingatan dan kesejarahan adalah tabiat yang khusus manusiawi atau melampauinya? Bagaimana dengan ingatan yang tercerabut karena benturan dan politik ingatan, sehingga kemudian harus meletakkan ingatan tersebut melalui titimangsa di luar manusia—seperti dalam karya ini, laut dan pohon, misalnya?
[5] Anzaldúa, Gloria (1987), Borderlands/La Frontera: The New Mestiza. San Francisco: Spinsters/Aunt Lute. Atau kamu bisa baca salah satu tinjauannya—beserta perbincangan batas (border talk) di sini https://www.eurozine.com/border-talk-hybridity-and-performativity/
[6] Jika kamu punya waktu terlampau luang, kamu bisa membaca Sein und Zeit/Being and Time (1927) oleh Martin Heidegger. Jika punya sedikit banyak waktu luang, kamu bisa membaca Heidegger dan Mistik Keseharian (2016) oleh F. Budi Hardiman atau Heidegger: A Graphic Guide oleh Jeff Collins dan Howard Selina.
[7] Channing, William Ellery. Self-culture: An address introductory to the Franklin lectures, delivered at Boston, September, 1838. Vol. 9. No. 6. Dutton and Wentworth, printers, 1838.
[8] Our Sea is Always Hungry (Leyla Stevens, 2018) adalah karya single-channel video, stereo sound, berdurasi 13 menit 16 detik yang mengeksplorasi bahasa visual dokumenter dan fiksi. Penyelidikan soal 1965 yang membekas dan diklaim terlupakan di Bali menjadi tajuk karya berikut. Karya ini dipamerkan dalam Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut (CushCush Gallery, 2023). Catatan kaki ini diletakkan di akhir agar pembaca tidak ‘tercemari’ oleh ketokohan (author-ity) Leyla Stevens sebagai seniman, atau esai ini sebagai salah satu respon.