TANAH MERUPAKAN simbol sosial dalam masyarakat, di mana penguasaan sebidang tanah melambangkan pula nilai kehormatan, kebanggaan, dan keberhasilan pribadi, sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah yang dimilikinya menjadi sebuah sumber kehidupan, symbol identitas, hak kehormatan dan martabat pendukungnya (Boedi Harsono, 2003).
Berkembangnya perekonomian rakyat dan perekonomian nasional seiring dengan semakin bertambahnya keperluan akan kepastian hukum di bidang pertanahan. Tanah tidak saja berfungsi sosial, dewasa ini juga menjadi komoditas perekonomian, seperti jual beli tanah, sewa tanah, maupun sebagai jaminan kredit di bank.
Dalam kehidupan sehari-hari, sertifikat tanah sering kali menjadi persengketaan, bahkan sampai ke sidang pengadilan. Berbagai faktor penyebab adanya konflik pertanahan, yaitu tapal batas yang sering berubah, pembagian waris yang tidak merata, tidak adanya kepastian hak atas tanah, sertifikat ganda, maupun dikarenakan kebutuhan tanah yang semakin masif.
Hal tersebut timbul karena tanah memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat berupaya untuk memperoleh tanah dengan berbagai cara, bahkan dengan menyerobot tanah milik orang lain.
Di dunia, pengakuan kepemilikan tanah yang dikonkretkan dengan sertifikat telah lama terjadi. Sebagai contoh, di Inggris, sertifikat merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam Undang Undang Pendaftaran Tanah (Land Registrations Act 1925). Demikian juga di Indonesia.
Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah berfungsi sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kementerian ATR/BPN yang mempunyai kewenangan pendaftaran tanah telah berupaya untuk percepatan pendaftaran tanah dengan berbagai program/proyek dengan segala keterbatasannya. Program/proyek yang telah ada sebelumnya seperti percepatan pendaftaran tanah melalui Proyek Administrasi Pertanahan (PAP), Land Management and Policy Development Project (LMPDP) atau proyek ajudikasi, Larasita, dan Program Nasional Agraria (Prona) belum dapat mencapai target pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Pentingnya sertifikasi terhadap hak-hak atas tanah memiliki beberapa alasan. Pertama, sertifikat memberikan kepastian hukum pemilikan tanah bagi orang yang namanya tercantum dalam sertifikat. Penerbitan sertifikat dapat mencegah sengketa tanah. Pemilikan sertifikat akan merasa tenang dan tenteram karena pemiliknya akan merasa terlindungi dari upaya apapun.
Kedua, pemberian sertifikat dimaksudkan untuk mencegah sengketa kepemilikan tanah. Ketiga, dengan pemilikan sertifikat, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Di samping itu, sertifikat dapat mempunyai nilai ekonomis yang tinggi apabila dijadikan sebagai jaminan utang dengan hak tanggungan atas tanah.
Dari uraian di atas maka jelas bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat. Itu berarti bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu, data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam buku sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.
Sengketa pertanahan di Indonesia bukan hal baru dan masih terjadi sampai saat ini. Pada awalnya sengketa pertanahan hanya terjadi antara pihak perorangan, tetapi saat ini sengketa pertanahan sudah terjadi di semua sektor kehidupan masyarakat, seperti sektor kehutanan, infrastruktur, pertambangan, bahkan sampai kepada masyarakat pesisir yang terkadang berujung bentrok fisik.
Tidak dapat dimungkiri di mana ada sengketa, ada pula konflik yang mengiringinya. Untuk itu, sebagai upaya mengatasi sengketa, dan agar tanah tidak saja menjadi aset, tetapi pemerintah memberikan akses ekonomi kepada masyarakat atas tanah (maksud diadakan reforma agraria plus).
Salah satu kebijakan pelaksanaan reforma agraria adalah dengan memberikan program penyertifikatan tanah massal, salah satunya dengan meluncurkan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Program yang terbaru saat ini adalah Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) yang diselenggarakan Kementerian ATR/ Ka. BPN dengan menargetkan 126 juta bidang tanah di Indonesia terdaftar dan tersertifikasi keseluruhan pada tahun 2025.
Kemudian dijabarkan dalam target-target 5 juta bidang pada tahun 2017, 7 juta bidang pada tahun 2018, 9 juta bidang pada tahun 2019 dan 10 juta setiap tahunnya sampai dengan tahun 2025. Karena jika pendaftaran tanah dilakukan rutinitas seperti biasanya setahun kurang lebih 500 ribu bidang, membutuhkan waktu 160 tahun untuk tanah terdaftar seluruh Indonesia (Purbaya, 2017).
Target-target PTSL ini bukanlah pekerjaan mudah, banyak pihak beranggapan hanya ambisi, pencitraan, dan kepentingan politik sesaat, karena anggapan ini merujuk pada hasil pendaftaran tanah selama ini kurang dari 50 persen tanah yang sudah terdaftar.
Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum program PTSL, serta untuk mengurangi sengketa, Kementerian ATR/BPN menyempurnakan berbagai perangkat peraturan/dasar hukum tertulis, yang lengkap dan jelas, sumber daya manusia ditingkatkan, sarana dan prasarana diperbanyak kualitas dan kuantitasnya, segi pembiayaan diperluas, adanya koordinasi antar lembaga di luar BPN.
Secara normatif telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai sarana memberi kemudahan dan percepatan dalam pendaftaran tanah seluruh Indonesia. Perangkat hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas dalam pelaksanaan PTSL telah tertuang dalam beragam regulasi, petunjuk teknis, surat edaran sebagai sarana kemudahan dalam pelaksanaan PTSL.
Kegiatan PTSL sangat menuntut adanya jaminan kepastian hukum. Salah satu persoalan penting terkait dengan kepastian hukum tersebut adalah asas publisitas yang mempunyai perbedaan pengaturan antara peraturan pemerintah dengan peraturan menteri yang dirasa dapat menimbulkan pertentangan/kontradiksi antar peraturan.
Untuk mengatasi pertentangan ini setidak-tidaknya dilakukan: Pertama, sinkronisasi/ harmonisasi antara Peraturan Pemerintah dengan peraturan menteri supaya memenuhi syarat formal kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah, peraturan menteri juga harus tetap, tidak terlalu sering diubah yang terkesan terburu-buru tanpa konsep yang jelas.
Perubahan pengaturan PTSL telah mengalami perubahan 4 kali, seperti Permen ATR/Ka. BPN N0. 35 Tahun 2016 diubah dengan Permen ATR/Ka. BPN N0. 1 Tahun 2017 dan di sempurnakan dengan Permen ATR/Ka. BPN N0. 12 Tahun 2017. Dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2018 yang menghendaki perubahan pengaturan mengenai PTSL, maka pengaturan PTSL diubah dengan Permen ATR/ Ka. BPN N0. 6 Tahun 2018.
Kedua, pengaturan mengenai PTSL semestinya diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UUPA nomor 5 tahun 1960, sehingga mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan menteri dan/atau merevisi secara parsial untuk mendukung percepatan PTSL atau mengganti dengan PP yang baru sesuai dengan kondisi zaman saat ini.
Meskipun berbagai regulasi sebagai payung hukum PTSL telah diterbitkan dan kerjasama atau koordinasi antar instansi telah dibangun serta berbagai kemudahan/terobosan telah dibuat, namun dalam tataran implementasi, masih terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan PTSL yang berorientasi target kuantitas yang memungkinkan mengabaikan kualitas
Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dimulai oleh Badan Publik Republik Indonesia dan dilaksanakan oleh Kementerian ATR BPN RI. Melalui program PTSL, hingga saat ini Kementerian ATR/BPN telah menyelesaikan sekitar 102,3 juta bidang atau sekitar 80 persen dari seluruh tanah yang harus disertifikasi di Indonesia yang dampaknya secara ekonomi masyarakat bisa dengan menggunakan sertifikat itu sebagai hak tanggungan ada uang yang beredar di masyarakat sampai sekarang ada sekitar Rp5,219 triliun dari dampak dari membagikan sertifikat hak atas tanah. (Hadi Tjahjanto, Antara, 2023)
Dengan program PTSL, pemerintah menginginkan semua petak tanah rakyat terukur serta mempunyai kepastian hukum yang berbentuk sertifikat tanah. Saat ini pemerintah sudah melakukan PTSL sebanyak 5,2 juta bidang tanah, di tahun 2018 target pemerintah yaitu 7 juta bidang tanah.
Di PTSL, sebelum diterbitkannya sebuah sertifikat, status yuridis dari tanah biasa dikelompokkan dari K1, K2, K3, serta K4 artinya tanah itu berstatus clean dan clear dan bisa dibuatkan sertifikat.
K2 berarti status dari tanah itu sengketa sehingga hanya dicatat di buku tanah dan K3 berarti status subyek tanah tidak terpenuhi syaratnya sehingga dicatat di daftar tanah. K4 artinya tanah itu telah mempunyai sertifikat tapi masih diperlukan perbaikan dari informasi peta. Hanya kelompok K1 saja yang dapat dibuatkan sertifikatnya. Bila K2, K3, dan K4 sudah dapat terpenuhi syaratnya, sertifikatnya bisa diberikan (Soemardjono, 2023). Hal ini mesti dilakukan agar produk PTSL memberikan jaminan kepastian hukum perolehan tanah yang dimohonkan oleh masyarakat.
Pemerintah menargetkan seluruh masyarakat bisa memiliki sertifikat tanah pada tahun 2024. Dari seluruh wilayah Indonesia, pemerintah menyebut pekerjaan rumah paling banyak ada di wilayah timur lantaran masyarakat di wilayah itu jumlahnya tak sepadat di Jawa, Sumatera, atau Sulawesi. Adapun yang digadang-gadang menjadi provinsi lengkap pertama adalah Bali karena dari 2,1 juta bidang tanah yang harus diselesaikan, saat ini sudah mencapai 95 persen atau sekitar 1,9 juta bidang tanah.
Kepemilikan Sertifikat/Penerbitan Sertifikat Tanah dalam rangkaian pelaksanaan PTSL akan berkaitan dengan pembuktian hak yang kemudian diaturlah Pasal 22 Peraturan Menteri/Ka. BPN No. 6 Tahun 2018. Persoalannya, terkait surat pernyataan tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan fisik bidang tanah dengan iktikad baik dalam hal bukti kepemilikan tanah tidak lengkap atau tidak ada sama sekali.
Ketentuan Pasal 22 ini mensyaratkan adanya surat pernyataan tertulis tentang penguasaan fisik bidang tanah dan dengan iktikad baik. Ketentuan ini dapat diartikan sebagai berikut:
a. Penguasaan fisik bidang tanah yang dimaksud adalah selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut serta penguasaan tanahnya tidak diganggu gugat oleh pihak lain sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997.
b. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah harus disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi diketahui oleh RT, RW, dan desa/kelurahan.
c. Unsur iktikad baik dari pernyataan secara fisik menguasai, menggunakan, memanfaatkan, dan memelihara tanah secara turun temurun dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya iktikad baik dimaknai dengan kejujuran, kejujuran pemegang hak dalam perolehan tanahnya, jujur dalam memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Ketentuan iktikad baik merupakan lawan dari iktikad buruk atau ketidakjujuran. Maka daripada itu, untuk meminimalisir terjadinya kasus sengketa tanah, seyogyanya peran dan koordinasi desa/kelurahan tidak diabaikan dalam membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah sebagai bukti formal penguasaan atas tanah dengan iktikad baik harus ada pengakuan dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan.
Kementerian ATR/BPN pada 2022 lalu mendeklarasikan Kota Denpasar sebagai kota lengkap pertama yang akhirnya disusul Madiun, Bontang, Tegal, dan Surakarta. Tahun ini, Kementerian ATR/BPN RI kembali mendeklarasikan bahwa kabupaten lengkap yang pertama ditargetkan, yaitu Kabupaten Badung, Bali (Antara, 2023). Pemerintah meyakini kabupaten lainnya akan menyusul dan Bali menjadi provinsi lengkap pada akhir 2023 ini.
Dengan sertifikasi lengkap, keuntungannya maka seluruh rakyat memiliki hak atas tanah dengan bentuk sertifikat, sudah tidak ada lagi konflik tumpang tindih, dan mafia tanah tidak memiliki ruang gerak dan investor akan tenang karena seluruh tanah memiliki kepastian hukum. Intinya, menurut penulis, dengan demikian, sertifikat sebagai akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam arti bahwa hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertifikat itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.
Akan tetapi, mengapa sertifikat sebagai alat bukti yang kuat tidak sebagai alat bukti yang mutlak? Hal ini dikarenakan sistem hukum pertanahan di Indonesia menganut sistem publikasi negatif yang dipakai oleh pemerintah dalam mengandung unsure positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti yang hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Tanpa adanya sertifikat, posisi kepemilikan tanah oleh masyarakat di depan hukum sangat lemah sehingga masyarakat umumnya menghindari penyelesaian sengketa atau konflik agraria melalui jalur hukum. Mereka lebih memilih jalur mediasi dan negosiasi sebaliknya, jalur pengadilan sangat diminati para pengusaha karena berhadapan dengan masyarakat yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah yang sah.
Akibatnya, dalam beberapa kasus, keputusan pengadilan tidak bisa dieksekusi, bahkan memicu konflik karena rakyat menolak keras. Karenanya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan sertifikasi tanah diharapkan bisa menjadi program strategis dalam rangka mencegah sekaligus menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara pertanahan.
RTRW harus segera dituntaskan agar penguasaan, peruntukan, pemanfaatan tanah jelas dan tidak ada tumpang tindih. Sedangkan, sertifikasi bukan hanya terhadap tanah rakyat saja akan tetapi juga tanah BUMD, BUMN dan juga tanah-tanah pemerintah.
Namun begitu, penulis berharap adanya cukup banyak penerbitan sertifikat tanah melalui PTSL yang sampai ke pengadilan. Oleh karena itu, penerbitan permohonan sertifikasi tanah harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, potensi sengketa, maka data-data yang diajukan permohonan PTSL mesti diverifikasi data yuridis.
Ketelitian dalam mengumpulkan dan menganalisis data yuridis merupakan bagian penting untuk menghasilkan produk PTSL yang menjamin kepastian hukum (Soemardjono, 2022) agar tidak lagi menimbulkan sengketa konflik dan perkara pertanahan, perselisihan di belakang hari.[T]
BACAartikel lain tentang kenotarisan dari penulisI MADE PRIA DHARSANA