TAMBAK-TAMBAK bandeng di Lamongan, Jawa Timur, atau umpan tuna cakalang nelayan di Kendari, Sulawesi Tenggara, atau banyak daerah lainnya di Indonesia yang membudidayakan ikan bandeng—bahkan sampai negara-negara Asia seperti Singapura, Vietnam, Filipina, Thailand, hingga Taiwan—terkait bibit atau nener bandeng (Chanos chanos), semuanya nyaris bergantung pada Kabupaten Buleleng.
Benar. Sudah bukan rahasia lagi kalau kabupaten yang terletak di Pulau Bali bagian utara ini memiliki kekayaan, selain pertanian dan perkebunan, berupa ikan bandeng. Di desa-desa Buleleng bagian barat seperti Patas, Gerokgak, Sanggalangit, Musi, Penyabangan, Banyupoh, sampai Pemuteran, bandeng beranak-pinak dengan penuh kasih sayang. Ya, tak berlebihan memang, di desa-desa tersebut, pembudidaya memperlakukan bandeng sama baiknya dengan merawat anak mereka sendiri.
Hamparan HSRT benih bandeng (nener) pesisir Celukan Bawang, Pengulon, Patas, Gerokgak, Sanggalangit, Musi, Penyabangan dan Banyupoh / Foto: Dok. Kampung Bandeng
Seperti Haidar Hyang Pakwan, misalnya. Pemuda dari Desa Musi, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, itu, menganggap bandeng sebagai harta yang berharga. Sebab, katanya, bandeng adalah penyambung hidup masyarakat Musi dan sekitarnya. “Melalui bandeng, Tuhan telah banyak memberikan kehidupan kepada kami,” ujarnya, kepada tatkala.co di tambak bandeng dan udang UD. Lautan Abadi, Patas, Gerokgak, Selasa (23/08/2023).
Sebagai seorang anak pembudidaya bandeng dan udang di Musi yang sukses, pemuda yang akrab dipanggil Haidar itu, termotivasi untuk meneruskan apa yang telah orang tuanya bangun dan perjuangkan.
Dalam usahanya untuk menjadi pengusaha di bidang perikanan, pemuda kelahiran Cianjur, 17 Februari 2003 itu memutuskan melanjutkan pendidikan ke universitas dan mengambil jurusan akuakultur atau budidaya perairan—ilmu tentang aktivitas pemeliharaan, penangkaran, dan pengembangbiakan biota perairan laut maupun air tawar—di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Sampai saat ini, ia masih berjuang untuk meraih gelar sarjananya.
Menurut cerita Haidar, orang tuanya mulai membangun tambak pada tahun 2003 bersama pamannya dan seorang teman dari Arab. Mitra bisnis tersebut, sebelum beralih ke bandeng, mulai usahanya di bidang budidaya ikan kerapu. “Awalnya ikan kerapu, tapi karena harga ikan kerapu di sekitaran tahun 2010-an itu menurun, bapak mulai berpikir untuk beralih ke yang lain. Nah, pada 2017, bapak memutuskan untuk budidaya bibit ikan bandeng,” terangnya.
Tambak milik UD. Lautan Abadi / Foto: Dok. Haidar
Orang tua Haidar memulai budidaya bandeng dengan cara tradisional (modular)—dengan kolam gali, katanya. Seiring berjalannya waktu, dua tahun setelah memulai, tambak tersebut sudah menggunakan bak atau kolam beton yang dikenal dengan budidaya semi intensif. Bandeng dengan sistem semi intensif jelas lebih menguntungkan. Pasalnya, bandeng dapat dipanen dengan kualitas yang baik dan kuantitas yang lebih banyak.
Perbedaan budidaya secara tradisional dan semi intensif terletak pada pakan yang diberikan dan tempat budidaya. Jika budidaya tradisional memanfaatkan pakan alami berupa tanaman yang tumbuh alami di tambak, budidaya semi intensif menggunakan pakan tambahan berupa pakan pabrik atau buatan.
Sampai saat ini, tambak yang bernama UD. Lautan Abadi itu, telah menyebarkan benih-benih bandengnya ke seluruh Indonesia bahkan sampai ke beberapa negara di Asia.
Bagi orang awam atau orang yang baru saja mau memulai, akan menilai proses budidaya badeng itu rumit, tidak semudah pelihara ikan lele, misalnya. Budidaya bibit bandeng memerlukan proses yang panjang, mulai dari pra-produksi, produksi, sampai pasca produksi.
Haidar menjelaskan, budidaya nener bandeng dimulai dari pemeliharaan induk untuk menghasilkan telur yang berkualitas baik. Pemilihan induk ikan tidak boleh sembarangan. Mulai dari bentuk fisik sampai bobot harus diperhatikan. Fisik indukan, tambahnya, tidak boleh cacat dan bobotnya harus lebih dari 5 kg atau panjang antara 55-60 cm.
Tak hanya itu, pembudidaya juga harus melakukan pembersihan kolam induk dan melakukan pengamatan parameter kualitas air untuk memastikan dan mejaga keseimbangan unsur dalam kolam sesuai dengan standar. Selain perlakuan tersebut, indukan bandeng harus diberi pakan pelet pabrik yang telah dicampur dengan berbagai macam vitamin dan suplemen untuk mendukung kebutuhan nutrisi yang diperlukan.
“Nah, perbandingan indukan antara jantan dan betina dalam satu bak itu satu banding dua. Satu jantan dua betina. Sedangkan umur reproduksi bandeng itu sekitar 3 sampai 5 tahun, meski tak jarang juga ada yang sampai 7 tahun. Dan satu indukan itu bisa menghasilkan 10.000 sampai 1.000.000 telur,” imbuhnya.
Telur bandeng yang bagus akan mengambang di permukaan, sedangkan telur yang jelek sebaliknya, akan tenggelam dan mengendap di dasar. Telur-telur yang bagus akan di tebar di bak-bak budidaya. Benih akan dipelihara kurang lebih 18 sampai 20 hari hingga siap panen.
Bak beton tempat budidaya nener bandeng di UD. Lautan Abadi / Foto: Dok. Haidar
Dari Facebook Menjadi Eksportir
Transaksi jual beli bibit bandeng di daerah Gerokgak, kata Haidar, sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Saat itu, bibit bandeng diambil langsung dari laut, di pinggiran hutan bakau. Baru pada tahun 2005, dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali, saat wilayah Kecamatan Gerokgak ditetapkan sebagai pusat pembenihan bandeng dan kerapu, orang-orang yang tinggal di Patas, Sanggalangit, Musi, Peyabangan dan sekitarnya, berbondong-bondong membangun tambak kerapu dan bandeng.
“Tapi waktu itu skalanya masih lokalan, belum ekspor,” katanya.
Sejak saat itulah, para pembudidaya di wilayah Kecamatan Gerokgak mulai serius berproses demi menghasilkan bibit bandeng yang berkualitas. Dan dalam hal ini, peran pemerintah melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Buleleng dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tak dapat dianggap remeh. Melalui pelatihan-pelatihan budidaya bandeng dan bantuan pakan alami (rotifera) membuat daerah tersebut diakui sebagai penghasil bibit bandeng yang berkualitas.
Ya, itu sudah menjadi rahasia umum di dunia per-bandengan. Nener bandeng dari wilayah Gerokgak memang telah diakui kualitasnya. Bahkan, pada tahun 2019, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim Kecamatan Gerokgak sebagai produsen benih ikan bandeng terbesar di dunia.
Haidar—sebagai anak seorang pengusaha tambak bibit bandeng dan udang vaname—mengaku, mengenai proses produksi dan distribusi, selain belajar dari orang tuannya sendiri, juga belajar dari pengusaha lain, yakni Hengky Putro Raharjo pemilik CV. Putra Bahari Milk Fish Bali (supplier bibit bandeng/nener). Di tambak yang terletak di Desa Patas, Gerokgak, itulah, ia belajar lebih dalam mengenai distribusi bibit bandeng. Haidar memulainya dari lokal sampai internasional (ekspor).
Yang menarik adalah, sejak 2018, Haidar menggunakan Facebook untuk memasarkan dan mendapatkan pembeli—atau buyer dalam bahasa perdagangan internasional. Ia mengaku mengikuti banyak grup perdagangan lokal maupun internasional di media sosial bikinan orang New York itu. Di sana, katanya, tempat berkumpul antara pedagang dan pembeli. “Saya mencari buyer di Facebook—dan itu banyak,” ujarnya.
Nener bandeng / Foto: Dok. Haidar
Bagi Haidar, dalam hal informasi, generasi hari ini sebenarnya lebih diuntungkan daripada generasi lama. Orang tuanya, misalnya, dulu, untuk mendapatkan satu buyer saja susahnya minta ampun. “Jangankan luar negeri, dalam negeri saja susah. Nah, sekarang, kita hanya butuh kuota internet dan mau cari tahu. Udah, sesimpel itu,” katanya.
Haidar percaya bahwa dengan adanya teknologi digital seperti hari ini sebenarnya sangat membantu pembudidaya bibit bandeng dalam memasarkan produksnya. Sebab, jangkauan teknologi digital tidak hanya dalam skala lokal saja, melainkan dunia. Sejak teknologi tersebut mulai ditemukan dan dikembangkan, dunia memang terasa bisa dilipat dan muat dimasukkan ke dalam kantong celana.
Dengan adanya anak muda seperti Haidar yang dapat memanfaatkan media digital sebagai alat promosi, maka hal ini dapat menjadi kabar baik dalam dunia budidaya bibit bandeng. Dan benar, sampai hari ini, selain berhasil mengirim bibit bandeng ke beberapa daerah di Indonesia, Haidar juga telah mengirim bandeng ke Filipina dan Vietnam—sekali lagi, semua itu dimulai dari Facebook.
(Hidup pada zaman teknologi yang memberikan jalan alternatif dan berbagai kemungkinan lain yang nyaris tiada batas, menempuh jalan paling mudah rasanya bukan pilihan yang elok.)
Menurut Haidar, sejauh ini, permintaan benih bandeng terbesar datang dari Filipina. Dari tahun 2017 sampai 2019, misalnya, permintaan bibit bandeng dari Filipina selalu mengalami kenaikan. Negara yang dipimpin oleh Bongbong Marcos itu, rata-rata mengimpor bibit bandeng dari wilayah Kecamatan Gerokgak sebanyak 2 sampai 3 juta ekor nener bandeng. Sedangkan Taiwan berada di posisi ke dua dengan jumlah rata-rata mencapai 1 sampai 2 juta lebih.
Proses pengemasan nener yang akan dikirim ke Filipina / Foto: Dok. Haidar
Mengenai ekspor bibit bandeng hasil budidaya di wilayah Gerokgak, pada Maret 2023, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank meresmikan Desa Devisa Klaster Benih Bandeng di Buleleng.
Program tersebut melibatkan lebih dari 2.000 individu pembudidaya benih bandeng di tujuh desa, yaitu Patas, Gerokgak, Sanggalangit, Musi, Penyabangan, Banyupoh, dan Pemuteran. Sedangkan 2.000 pembudidaya tersebut, menurut Koerniawan Prijambodo, Kepala Kantor Wilayah III LPEI, tergabung dalam Perhimpunan Pembudidaya Perikanan Pantai Buleleng atau disingkat P4B.
Secara keseluruhan, anggota P4B mampu menghasilkan hingga 12 juta benih bandeng per hari. Dan 85 persen dari hasil tersebut telah diekspor ke luar negeri seperti Filipina, Singapura, Malaysia, hingga Taiwan.
Proses pengemasan nener yang akan dikirim ke Filipina / Foto: Dok. Haidar
Menurut Koerniawan, tingginya produktivitas budidaya benih bandeng di Buleleng tak lepas dari kondisi cuaca Bali yang relatif aman dari badai serta dukungan dari Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluh Perikanan (BBRBLPP) Gondol. “Benih bandeng di Buleleng telah menjadi komoditas prioritas dengan total kontribusi devisa sebesar Rp200 miliar pada tahun 2019,” ujarnya.
Sekadar informasi, sebagai Special Mission Vehicle (SMV) Kementerian Keuangan RI, LPEI diberikan mandat untuk mendorong pertumbuhan ekspor nasional melalui penyediaan pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi ekspor.
Dan, sekali lagi, selain peran pemerintah, peran anak muda seperti Haidar juga tidak boleh dilupakan begitu saja. Kesadarannya dalam meneruskan bisnis budidaya bibit bandeng dan penggunaan media sosial sebagai alat promosi memang patut diapresiasi.[T]
- Catatan: Artikel ini ditulis dan disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Kominfosanti) Kabupaten Buleleng.
- BACA artikel LIPUTAN KHUSUS lainnya