MULUT adalah gerbang kesehatan dan kesakitan. Melalui mulut, berbagai makanan yang penuh nutrisi masuk untuk diolah menjadi sumber tenaga. Demikian pula sebaliknya, melalui mulut pula berbagai kuman dan virus masuk sehingga menjadi sumber penyakit yang menyebabkan manusia menderita.
Berangkat dari kesadaran dwifungsi mulut itulah para tetua Bali yang suntuk mempelajari tubuh kemudian mengembangkan berbagai sistem pengetahuan tentang makanan. Sistem pengetahuan tentang cara makan dan makanan itu menyusup dalam berbagai warisan lontar Bali. Tak jarang, dalam karya-karya sastra yang bertema kadyatmikan, etik tentang makanan menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Pantangan Mandi sebelum Makan
Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Geguritan Loda yang diduga karya I Gusti Ngurah Made Agung. Meski mengulas tentang fungsi mistis aksara dan wangsit kadyatmikan yang disebut sapta weci, karya sastra ini pada bagian akhir juga memuat dimensi tentang etika makan. Hal itu dapat dilihat pada petikan bawah ini.
Yadin soroh matoh-tohan, yan twah siddha masih punggĕl-punggĕlin, ĕda ngamah yan tonden manjus, masih ulahang pisan, bratayang pilihin i camah campur, nda nginĕm ne mamunyahin. (Geguritan Loda, Pupuh Pangkur I: 3).
Petikan di atas selain menyarankan agar seseorang mengontrol diri ketika berjudi, juga menyarankan agar pembacanya tidak makan sebelum mandi termasuk memilih makanan yang kotor dan bersih serta memabukkan. Kenapa mandi sebelum makan? Jawabannya tidak sulit. Tentu agar tubuh manusia bersih dan higienis.
Di luar alasan kehigienisan, genetika pemikiran tidak boleh makan sebelum mandi ini tampaknya bersumber dari pustaka Adi Parwa. Dalam karya sastra itu dijelaskan bahwa sebelum Garuda memberikan tirta amerta kepada para ular untuk menebus perbudakan ibunya, putra dewi Winata itu menyuruh kawanan ular untuk mandi terlebih dahulu. Meski akhirnya para ular hanya mendapat percik tirta amerta yang menetes di ujung ilalang, fragmen ini ternyata dijadikan laku etik dalam karya-karya sastra yang lebih muda.
Hal yang senada juga disampaikan dalam pustaka Aji Brata. Pantangan untuk mandi atau setidaknya mencuci wajah sebelum makan dalam pustaka itu disebut dengan brata asuci laksana.
bratā aśuci lakşańā, nga, tan pamangan yan durung ararawup, alĕlĕnga. Pha, apĕkik rĕngan, sapari polahing ngabrātā, lĕwasing rambut, asĕdhĕping pāngucap, mwang rūpā (Lontar Brata, 16a).
Terjemahan.
Brata Asuci Laksana artinya tidak makan apabila belum mencuci wajah, dan meminyaki rambut. Pahalanya, wajah menjadi rupawan dalam melaksanakan berbagai brata, rambut halus, dan ucapan serta wajah yang manis.
Menyimak penjelasan pustaka lontar Aji Brata di atas, kita mendapatkan pesan untuk senantiasa menjaga kehigienisan diri sebelum makan. Tidak hanya mencuci wajah, persiapan sebelum makan di atas juga dilengkapi dengan meminyaki rambut. Pustaka itu menjanjikan pahala berupa wajah yang rupawan, rambut halus, dan ucapan serta wajah yang manis bagi orang yang melakukan brata asuci laksana. Intinya, makanan yang dimaknai sama dengan amerta yang suci, juga mesti disambut dengan kesucian diri.
Sikap Ketika Makan
Kehigienisan yang ditekankan dua pustaka di atas dilengkapi dengan uraian etika makan yang ngamertanin dalam lontar Suptaprana. Pustaka tersebut menyatakan bahwa seseorang yang ingin mendapatkan amerta “manfaat” dan bukan wisya “penyakit” dari makanan yang masuk ke dalam tubuhnya, mereka disarankan menghadap ke arah timur dengan sikap bersila ketika makan.
Setelah selesai makan, orang tersebut juga tidak diperkenankan langsung mencuci tangan di wadah makanan yang digunakan karena hal itu sama dengan mengusir Sang Hyang Amerta (nundung amertha). Tangan pun tidak boleh langsung dibersihkan, melainkan mesti dioleskan dulu ke telapak kaki sebagai usaha untuk angunci merta ‘mengunci amretha’. Setelah itu, barulah tangan bisa dicuci. Yang terakhir ini penting dipertimbangkan dalam konteks kekinian.
Di luar sikap bersila yang menghadap ke timur, pustaka Suptaprana juga menyatakan sejumlah sikap yang tidak boleh dilakukan ketika makan. Pertama, tidak boleh aboret yang artinya makan sambil berjalan. Kedua, tidak boleh anugtih yang artinya makan sambil melentangkan kaki dan melilitkannya. Ketiga, tidak boleh angloklok yang artinya makan sambil jongkok. Keempat, tidak boleh nglaler yang artinya makan sambil berdiri. Kelima, tidak boleh ngamah yang artinya makan sambil tidur. Sekali lagi, semua pantangan tersebut dilakukan agar makanan yang masuk ke tubuh kita dapat memberi daya hidup alias ngamertanin.
Itulah berbagai sikap yang tidak dianjurkan ketika makan. Berbagai istilah tentang makanan yang berbeda di atas ternyata membungkus fitur makna yang tidak sama. Hanya orang yang bersila dengan menghadap ke arah timur saja yang diyakini akan mendapatkan anugerah amerta.
Hari Kelahiran dan Pantangan Makanan
Tidak hanya berhubungan dengan larangan atas sikap-sikap tertentu, pustaka Pawetuan Jadma Ala Ayu[i] juga menguraikan relasi antara hari lahir dan jenis makanan yang dianjurkan untuk tidak dikonsumsi. Singkatnya, setiap hari tertentu memiliki pantangan makanannya masing-masing. Dampak buruk yang terjadi apabila hal tersebut dilanggar adalah munculnya berbagai penyakit dan memperparah penyakit yang sebelumnya diderita seseorang.
Apabila seseorang lahir pada hari Minggu, ia tidak boleh memakan ikan julit dan hiu yang hidup di laut. Sementara itu, sayur yang pantang dimakan adalah blego dan labu. Apabila itu dilanggar, sejumlah penyakit akan semakin parah. Penyakit itu adalah panas tinggi, gelisah, lesu, sakit mata, sakit kepala seperti lempuyengan, sakit kepala yang keras, pinggang kaku hingga kaki, dan tak akan sembuh-sembuh (Nuju radete mdhal, tong dadi mangan be julit, miwah kakya ring sgarā, jangane blego walu, yanning to ya purugang, manguwuhin, sakitthe tka nglabihhang. Stata kabus marapah ngibuk uwon mata sakkit, edan krasa lempuyengan, stata mnadi puruh, bangkyange sakit manajal, kayang batis tong taen ṣeger abulub).
Selanjutnya, jika seseorang lahir pada hari Senin, ia tidak boleh memakan daging kerbau dan babi belang. Apabila hal itu dilanggar, ia akan selalu menderita sakit perut, lumpuh, koreng parang balang, sering gelisah, setiap persendian terasa nyeri (yan dhi somane lĕkad, ditu bratannyane lwih, tong dadi mangan be kbo, miwah celeng blang iku, yan ṭo bakat puwuk, manguwuhin, stata nyakitthang basang. Rumpuh koreng parang balang ngibuk ngemu hmu sai, sawa bukune malwang).
Demikian pula, apabila seseorang lahir pada hari Selasa, ia tidak boleh memakan ikan layur dan daging anjing. Apabila itu dilanggar maka pinggang dan perutnya akan selalu sakit, sakit kepala, rumpuh, koreng, disertai batuk yang semakin parah, disentri, anyang-anyangan, dan diserang oleh penyakit tiwang (ring dina anggara mtu, ĕbe layurre impasang, miwah cicing, hdha pisan mamuwukang. Katuju bakat purugang, bangkyange satata sakit, miwah nyakitthang basang, langu miwah sakit rumpuh, koreng maduluran dhĕkah, mangarigis, mising mutah lalangĕddhan. Miwah yan ba anyang-anyangan, tuju bngenge tan mari, mula twah galakkin ṭiwang).
Jika seseorang lahir pada hari Rabu, ia tidak boleh mamakan burung dara dan babi. Apalagi daging anjing, patut hindari sekali. Apabila itu dilanggar akan tertimpa demam dan lemas, kaku, sakit tangan sebelah, perut kembung, sesak nafas, dan tidak nafsu makan (yaning ndhi budane mtu, kdhis dharane impasang, miwah bawi, mangan be asu da pisan. Yaning nto ne kapuwukang, sakitthe tka matindhih, purung parang ngbus won, jangkĕl kepek cakĕt luyu, stata baṣangnge bĕngka, ngədhek ati, miwah tong lagĕs madahar).
Tak jauh berbeda dengan hari sebelumnya, apabila seseorang lahir pada hari Kamis, ia tidak boleh makan daging sapi dan ikan hiu serta sudang. Apabila itu dilanggar, ia akan terkena banyak penyakit (komplikasi) yang semakin parah. Penyakit itu seperti sakit perut, mencret, muntah, lempuyengan, gelisah dan sesak, serta sakit di seluruh tubuh dan tak henti-hentinya bersedih, sering terluka, sakit terlihat sehat (ring dina wraspati lĕkad, tong dadi mangan be sampi, miwah be kakya lan sudang, pradene pacang kapurug, dadi sakitnyane katah, manguwuhin, to marĕn nyakitthang basang, mising mutah lĕmpuyĕngan, buduh ibuk ĕnĕk ati, mwah tur nyakitṭang awak, miwah kwan mangantun, sbĕt manah twara pgat, śringan kanin, sakit katpuk abĕh).
Jika seseorang lahir pada Jumat, ia tidak boleh memakan daging kambing, ayam berwarna kelabu, belut dan sejenisnya. Apabila itu dilanggar maka seluruh tubuh akan sakit, hati buyar, panas gelisah lempuyengan, dan sakit perut serta terkena pamali, koreng, parang tiada henti, gondok gontak, perut kembung, punggung terasa sakit hingga ke pangkal paha. (yanning di sukrane lĕkad, tan wanang mangan be kambing, ayam kalawu lindhung kadangnya, yanning ṭo pacang kapurug, dhadi nyakitthang awak, buyan ati, kbus inguk lĕmpuyĕngan. miwah nyakitṭang basang, ludin dhamənnin pamali, koreng parang twara pgat, gondhong gonṭek, bĕngka bĕngkul, pundhukke twara tunaan, banya sakit, mnakĕd kaśikśikkan).
Terakhir, apabila seseorang lahir pada hari Sabtu, ia tidak boleh memakan ular, daging sapi, anjing, dan sisa persembahan dari upacara pangabenan. Sebab sangat pingit. (Di caniscarane lakad, tan wĕnang mangan lalipi, hbe sampine īmpasṣang, maduluran ulam asu, miwah byana pangabennan, dahĕt pingit, cara tingkah papingitan).
Demikianlah hubungan antara hari kelahiran dengan jenis makanan yang sebaiknya dihindari seseorang berdasarkan pustaka lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu. Dalam konteks kekinian, uraian pustaka tersebut sangat mirip dengan konsep arlergi. Setiap individu sesungguhnya memiliki kecenderungan arlergi terhadap makanan tertentu sehingga ada jenis makanan yang perlu dikurangi dan dihindari. Apabila pantangan tersebut dilanggar maka ia berpotensi menderita jenis penyakit tertentu, bahkan menstimulus penyakit lain yang lebih kronis atau sulit diobati.
Sekali lagi, mulut adalah gerbang kesakitan dan kesehatan. Oleh sebab itu, berbagai etik dan pantangan makanan penting dipertimbangkan agar kelahiran menjadi manusia di dunia tidak sia-sia. Dalam bahasa Ida Padanda Made Sidemen, pangresek jagat.
[i] [i] Naskah ini milik Jero Mangku dari Banjar Kelusa, Payangan. Terima kasih diucapkan kepada Gede Nyana Kusuma dan para Penyuluh Bahasa Bali, Kecamatan Payangan yang telah membantu Pusat Kajian Lontar untuk melakukan digitalisasi di Kecamatan Payangan.
- Klik untukBACAartikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA