Jika seniman berkumpul pasti riuh oleh gonjakan: senda gurau dan canda tawa. Gunjingan berseliweran, nyaris tidak ada omongan pasti. Yang serius jadi bahan tertawaan. Tak peduli yang ngumpul itu penari, penabuh, perupa atau penyair. Raka Kusuma tentu sering hadir dalam obrolan tidak karuan itu, omong-omong tanpa ujung pangkal, tapi acap menjadi sumber inspirasi untuk menulis cerita atau syair.
Suatu hari Raka hadir di antara sobatnya kaum penyair di sebuah warung kopi dan tipat santok, juga menjual daluman berteman gula aren dan santan. Seorang penyajak berujar, “Kalau kita teratur makan tipat santok, lalu menyeruput kopi, berimbuh daluman, itu bisa menjadi obat kuat.”
Yang hadir terperanjat, menegakkan badan, menghentikan suapan, bahu terangkat, mata mendelik, pendengaran ditajamkan, walau sendok sudah di depan mulut, tipat siap masuk.
“Ah, yang bener saja. Memangnya bisa?” tanya seorang penyair.
“Sungguh, bisa…. obat kuat makan.”
Tawa pun berderai, ada yang misuh-misuh terkecoh, tapi Raka tidak. Dia tetap santai mengunyah sayur tipat santok. Tersenyum pun tidak, apalagi tertawa, ogah. Baginya itu sepotong kelucuan, lewat begitu saja, tak perlu disambut derai tawa.
Raka Kusuma dikenal tak pernah tersenyum, tertawa apalagi. Baginya seakan dua hal utama yang membahagiakan banyak orang itu urusan pribadi, tak usah diumbar. Mungkin itu sebabnya ia tak banyak omong, jadi sosok santun, pendiam, jauh dari perilaku berapi-api kendati rekan-rekan sesama pengarang mempersoalkan dan menggugat karya-karyanya. Ia tetap kalem, mencoba terus teduh, tak mencak-mencak karena karyanya diobok-obok rekan pesaing, sahabat berseterunya menulis puisi.
Banyak yang berniat sungguh-sungguh menulis puisi dan cerpen datang menimba pengalaman pada Raka, diterima dengan tenang dan teduh. Ia memang seorang guru, menafkahi keluarga dari gaji guru sekolah dasar. Sebagai guru puisi ia memberi arahan, ajakan, tidak perintah. Ia menyampaikan kesan, bukan penilaian. Wajar banyak yang berpendapat, Raka Kusuma itu guru sejati, tak hanya mengajar, lebih terasa mendidik dan menuntun. Ia sungguh-sungguh guru, bukan sekadar guru. Ia lebih guru dari guru, bukan cuma guru yang punya kelebihan.
Lahir dan dibesarkan di Klungkung, menggenapkan hidup di Karangasem, menjadikan bahasa Bali Raka prima dan bermutu. Misalnya, “lakar kija” (hendak ke mana) ditulis lengkap dan benar, tidak “kar kijo” seperti pengucapan di Badung, Denpasar atau Gianyar. Maka beruntunglah Raka, terbiasa menggunakan bahasa Bali langgam Klungkung dan irama Karangasem, yang lengkap, baik dan benar. Jika kita hendak menggunakan bahasa Bali dengan tertib, disiplin, dan teratur, sepantasnya membaca puisi dan cerpen Raka Kusuma.
Dalam penulisan cerpen, ia punya banyak pengikut, terutama dalam teknis penulisan di awal kisah dan tempo bercerita. Dalam cerpen berbahasa Bali yang berkiblat pada gaya Raka akan mudah kita temui cara bertutur yang pelan, mencoba ritmik, teratur, dan rapi. Ini kita kenal sebagai gaya bercerita yang belad, bahasa Bali yang berarti pelan, lamban, lambat. Kebanyakan cerita Bali memang mengalir belad, tenang-tenang saja, segawat apa pun yang diceritakan, tak pernah tergopoh-gopoh, ibarat gaya bertutur dongeng zaman lampau: tak perlu menggebu-gebu. Semakin belad jika disertai kilas balik. Tambah banyak kilas balik, semakin belad cerita itu.
Ini gaya bertutur khas Raka Kusuma yang digugat sahabatnya, karena dianggap tak membawa pembaharuan dalam bercerita, kuno, kolot, kentara jelas dalam kumpulan cerpennya Bégal (2012), yang memperoleh penghargaan Widya Pataka dari Pemprov Bali. Namun, Raka cuma manggut-manggut. Si sahabat tak puas cuma menerima tanggapan angguk-angguk, ia menyerang sengit, betapa Raka mewariskan gaya bertutur lamban dalam bercerita. Padahal cerpen berbahasa Bali bisa diramu menjadi dinamik, hidup, bersemangat, sehingga tampil cerdas dan penuh vitalitas. Gaya belad alon-alon ini terbawa-bawa kalau Raka menulis cerpen berbahasa Indonesia. Raka cuma menjawab lirih, “Ampunang anaké kéntenanga tiyang.” (Jangan dong saya diperlakukan seperti itu). Ia mengucapkan itu dengan melengos, mata berkedip-kedip perlahan.
Si penggugat tertawa kecil mendengar tanggapan memelas itu. Raka diam saja, tak merengut, tersenyum tidak, sewot juga tidak. Entahlah, ia kemudian berterus terang, jika menulis cerpen berbahasa Indonesia, ia tak cukup percaya diri bersaing dengan pengarang-pengarang lain. Di hari-hari lain, Raka justru menunggu kedatangan si sahabat, atau bertandang menemuinya. “Tiyang kangen sareng kritik ragané,” (Saya kangen sama kritikmu) sembari membawa oleh-oleh buku.
Ia sering memberi hadiah buku kepada siapa saja. Tak cuma buku karangannya, juga buku-buku penulis lain, khusus dibeli untuk dibagikan. Kepada seorang teman ia bertandang usai belanja di toko buku, menunjukkan kalau ia membeli beberapa buku terbitan terbaru. “Yén ragane kayun, durusang ambil.” (Kalau kamu mau, silakan ambil). Ia sampaikan itu dengan kalem, seakan memberi hadiah buku menjadi cita-cita hidupnya.
Karena kalem, Raka jadi sosok paling santun di antara pengarang Bali. Namun, ia selalu serius, selalu siap, dan suntuk kalau diajak berdebat. Ketika sekelompok orang hendak mengumpulkan dan berencana menerbitkan antologi cerpen terpilih berbahasa Bali untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Raka langsung menyodorkan catatan rinci nama-nama pengarang dan karyanya yang pantas dipertimbangkan. Siapa pun yang berniat mengetahui dan mendalami perkembangan sastra Bali modern memang harus mendatangi Raka. Ia pintu gerbang sastra Bali modern.
Pintu gerbang itu tertutup sudah kini. Raka Kusuma, lahir 21 November 1957, berpulang 5 Agustus 2023. Para sahabat dan kerabat yang mengantarkan keberangkatannya kembali ke asal, ketika ia diperabukan di krematorium Desa Sulang nan rindang, 8 Agustus 2023, sangat terkesan akan perannya sebagai perawat sastra.
Hati-hati di jalan pulang, Raka, lelaki langsing sepanjang hidup (teman-teman tak pernah melihat Raka gemuk), dengan rambut sosoh selalu tersisir rapi. Maafkan kami yang lancang mengajakmu bergurau ngobrol ngalor-ngidul, berolok-olok kangin-kauh, untuk melupakan himpitan beban ekonomi sebagai pengarang dan penekun sastra. Semoga kita bertemu lagi, bisa tetap riuh magonjakan, lucu-lucuan. [T]
- BACAesai dan cerpen dari penulisGDE ARYANTHA SOETHAMA