SEBAGAI seorang teman sekaligus editor yang sering mengedit tulisan-tulisannya di tatkala.co, saya selalu menunggu esai-esai politiknya—yang kadang padat, dalam, kritis, meski tak sedikit juga yang ketengan—yang belakangan rajin dia tulis—bahkan sekarang dia punya kolom pribadi dengan nama yang gagah: TATPOLITIKA.
Jika Pimred tatkala.co, bos saya, Made Adnyana Ole, menyuruh saya untuk mengedit dan mengunggah tulisan Bli Teddy–ya, begitu saya memanggilnya—mata saya selalu berbinar dengan rasa penasaran yang membuncah. “Apalagi yang ditulis Teddy, ya?” Tanya saya pada diri sendiri setiap kali menerima kiriman tulisan barunya dari Pak Ole.
Kadang saya senang, selain karena tata bahasa tulisannya sudah sesuai EYD (meski kadang belum sesuai KBBI) dan tak melenceng dari logika kalimat—dan ini sangat membantu kerja saya sebagai editor—isi tulisannya juga padat, kritis, mengalir, enak dibaca. Tetapi, kadang saya juga agak kecewa, alih-alih menulis tentang amatan politik yang padat dan dalam dari isu politik yang sedang ramai, dia malah genit seperti intelektual muda snop—yang seolah baru mengenal buku bacaan kemarin sore.
Belakangan, alih-alih menulis tentang di balik rencana koalisi PSI-Prabowo Subianto atau benarkah Airlangga Hartarto dibidik karena tak mendukung calon presiden pilihan Jokowi atau untuk apa aktivis 1998 mendukung Prabowo, misalnya, dia malah menulis tentang konsep kekuasaan Indonesia yang lebih condong ke timur dan memberi imbauan kepada generasi muda untuk menjadi penentu Pemilu 2024 atau sekadar (cukup) puas dengan hanya menjadi komoditas politik. (Seolah golput haram bagi Teddy.)
Tetapi, meski demikian, sebelum lebih jauh dan menimbulkan kesalahpahaman, harus segera saya tegaskan bahwa saya menulis ini—anggap saja surat terbuka—tanpa tendensi apa-apa selain ingin bertanya kepadanya apakah tulisannya yang berjudul Jalan (Mantan) Prajurit Menuju Istana (tatkala.co, 26 Juni 2023) masih ada lanjutannya atau tidak.
(Dalam esai tersebut dia menguraikan perjalanan Prabowo Subianto—dengan singkat—menuju Istana Kepresidenan dari sejak nyalon jadi wakil Megawati sampai riak-riak optimisme Prabowo menjelang 2024.)
Pasalnya, sejak membaca dan mengedit tulisan tersebut, saya kira akan ada lagi tulisan tentang gerakan Prabowo selanjutnya. Tapi, sampai tangan saya gatal dan menulis tulisan yang sedang Anda baca saat ini, tanda-tanda itu belum tampak.
Saya tidak tahu, apakah Teddy sedang mempersiapkan tulisan tentang gerakan Prabowo atau memang dia tidak lagi tertarik menuliskannya atau yang lebih parah: dia kehabisan bahan bakar. Tapi, untuk yang terakhir rasanya mustahil sebab dia tinggal di Jakarta—tempat di mana tembok bisa berbicara dan informasi lebih cepat daripada waktu. Dan, sebagai pemuda yang suka mengamati politik, mustahil dia tidak membaca berita.
Sedangkan, untuk kemungkinan kedua, rasanya juga tidak mungkin dia tidak tertarik sebab Prabowo sedang gencar-gencarnya melakukan gerakan politik. Dari mulai melakukan kunjungan ke markas PSI, mendapat dukungan dari mantan aktivis ’98, sampai kedatangan (atau mengundang?) para komika dan influencer—Tretan Muslim, Coki Pardede, Bintang Emon, Deryansha, Gritte Agatha, Young Lex, Bobon Santoso, Celloszxz, Boris Bokir, Tretan Muslim, Rivaldo Santosa, dan Praz Teguh—di Kantor Kemhan, Kamis (3/8/2023). Maka, dugaan saya, Teddy sedang mempersiapkan tulisan tentang gerakan Prabowo selanjutnya. Semoga.
Tetapi, sambil menunggu Teddy menyelesaikan tulisannya, sebentar saya hendak mengambil alih tugasnya sebagai pemuda pengamat politik. Sebentar saja, Bli. Itung-itung sambil ngisi kolom saya yang sudah lama terbengkalai. Boleh, kan?
***
Oke. Seperti yang sudah disampaikan Teddy dalam esainya Jalan (Mantan) Prajurit Menuju Istana, ambisi Prabowo untuk menjadi RI 1 memang masih menyala—bahkan semakin berkobar sejak Bapak Pembangunan II, sang Pemimpin Besar Revolusi Mental Presiden Joko Widodo, dengan malu-malu tampak mendukungnya.
Sebagai calon presiden, sejauh ini gerakan Prabowo bisa dibilang lancar jaya. Bukan saja survei elektabilitasnya yang semakin jauh meninggalkan dua rivalnya, Ganjar dan Anis, tapi juga kelompok—partai maupun non-partai—yang berbondong-bondong mendukungnya. Soal yang terakhir ini, banyak pihak menduga karena gestur telunjuk Jokowi menunjuk ke arah Prabowo Subianto sebagai penggantinya. Hal ini dapat dilihat dari sikap Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang tiba-tiba lentur terhadap mantan jendral tersebut.
Dalam majalah Tempo edisi 6 Agustus 2023, Francisca Christy Rosana menulis, sejak pertengahan Juni lalu elite PSI secara diam-diam telah menjalin komunikasi dengan Prabowo. Sekretaris Dewan Pembina PSI Raja Juli Antoni yang mengawalinya. Kepada sejumlah kolega dekatnya di lingkup internal partai, Raja mengatakan memperoleh interuksi dari Presiden Joko Widodo untuk membuka komunikasi politik dengan Prabowo.
Perintah Jokowi disampaikan kepada Raja dalam pertemuan empat mata di Istana Negara pada 15 Juli lalu. Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang itu semula melaporkan dukungan PSI untuk Kaesang Pangarep, putra Jokowi, sebagai calon Wakil Kota Depok, Jawa Barat. Di pengujung pertemuan, Jokowi menegaskan dukungannya untuk pemilihan presiden 2024, yaitu kepada Prabowo, dan meminta PSI, partai loyalisnya, untuk mulai mendekati calon presiden yang diusung koalisi Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa itu (Tempo, Minggu (6/82023).
Sejak saat itulah, sikap PSI terhadap Prabowo seperti remaja yang sedang kasmaran, apalagi setelah Menteri Pertahanan itu berkunjung ke markas mereka di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (3/8/2023).
Melihat kenyataan ini, PSI seolah lupa bahwa dalam pemilihan presiden 2019 mereka gencar mengkritik Prabowo, rival Jokowi saat itu. Mereka bahkan pernah menganggap Prabowo sebagai peserta pemilu terburuk karena mempermasalahkan hasil perhitungan pemilihan presiden. Toh, pada Rabu sore itu, pada kenyataannya, PSI terlihat berupaya menyenangkan hati Prabowo dengan memutar film yang menampilkan kolase foto kebersamaan antara Jokowi dan Prabowo sebagai acara pembukaan pertemuan.
Sebaliknya, Prabowo, menurut sejumlah pengurus PSI, juga berupaya menyenangkan sahibulbait yang pernah menjadi musuhnya. Bahkan, di depan pengurus PSI, ia menyapa Ade Armando—politikus PSI sekaligus pegiat media sosial yang berseberangan dengan Prabowo sejak 2014—secara khusus. “Itu Bung Ade Armando, kan? Saya suka dengan video Anda karena sangat rasional,” ujar Prabowo seperti ditirukan Ade Armando saat dihubungi Tempo, Jumat, 4 Agustus lalu.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah, ke mana PSI akan berlabuh? Pasalnya, pada Oktober 2022, PSI mendeklarasikan dukungan untuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Tapi, kemungkinan PSI berbalik arah karena Jokowi belakangan terlihat condong memilih Prabowo ketimbang Ganjar. (Kalau soal ini saya sepakat sama Teddy, PSI memang “Jokowisme” sejati.)
Bukan hanya PSI yang berubah haluan (meski belum pasti), beberapa mantan aktivis 1990-an tampaknya juga sedang pura-pura—atau sengaja—amnesia. Seperti Budiman Sudjatmiko, misalnya. Sebagai aktivis ’90-an yang melawan kekuasaan Orde Baru, rupanya politikus PDI Perjuangan itu gampang berubah pandangan dalam melihat masa lalu.
Budiman seolah lupa, ketika mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019, dia terang-terangan menyerang Prabowo, pesaing Jokowi yang pada saat aktif di militer terlibat penculikan aktivis tahun 1997-1998.
Tapi, itukan dulu, saat Jokowi masih menjadi lawan Prabowo. Sekarang sudah beda cerita, Budiman sudah melupakan pernyataan-pernyataan negarifnya tentang Prabowo saat Jokowi lebih condong mendukung pensiunan jendral bintang tiga tersebut. Ini sama halnya pada saat Prabowo nyalon menjadi wakil Megawati tahun 2009, tak ada suara sumbang Budiman Sudjatmiko.
Kini, terang benderang mantan aktivis yang pernah ditangkap karena dituding menjadi dalang kerusuhan pengambilalihan kantor PDI pada 27 Juli 1996 itu mendukung Prabowo Subianto—bahkan ia menyatakan tak perlu lagi mempersoalkan pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan Prabowo di masa lalu. Fantastis!
Sampai di sini, saya kira Teddy juga sepakat jika saya mengatakan bahwa Budiman—atau aktivis 1998 lain yang mendukung Prabowo—pastilah bukan orang yang lupa pada sejarah. Dukungan yang mereka berikan lebih menunjukkan sikap pragmatisme politik, bukan berdasarkan pada nilai-nilai. Padahal, mau bagaimanapun, pelanggaran HAM berat adalah cacat besar yang tak boleh dilupakan. Tetapi, menurut awam saya, berkat dukungan politik Budiman dkk untuk Prabowo, seolah ingatakan kita—pemilih generasi muda—justru dijauhkan dari kejahatan-kejahatan Orde Baru. Bukan begitu, Bli?
***
Terlepas dari lucu dan tidak tahu malunya sikap politisi kita, hasil segi tiga nama calon presiden oleh Lingkaran Survei Indonesia Denny J.A. akhir Juni lalu, menunjukkan Prabowo unggul dengan elektabilitas 34,3 persen. Sedangkan Ganjar memiliki tingkat keterpilihan 32,7 persen. Survei tertutup dari salah satu lembaga yang menjadi acuan PSI juga memperlihatkan elektabilitas Prabowo lebih tinggi sekitar 10 persen ketimbang Ganjar (Tempo, Minggu (6/8/2023)).
Sampai sejauh ini, selain kelompok non-partai, Prabowo juga sudah mendapat dukungan dari kelompok partai, seperti Gerindra, PKB, PBB, dan Gelora. Mengenai sikap PBB dalam pemilihan presiden 2024 berbeda dengan pemilihan 2019.
Pada 2019, PBB mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf. Sejak 2019 itulah PBB disebut-sebut dekat dengan Jokowi—bahkan partai ini pernah ikut menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden dan presiden tiga periode. Kini, dengan mendukung Prabowo, PBB berhadap bakal mendapat efek ekos jas.
Tak hanya PBB, Gerindra juga sudah berupaya menggaet dukungan partai yang baru mengikuti pemilu, yaitu Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora)—partai yang didirikan mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah dan Anis Matta. Dan hasilnya tak sia-sia, setelah sebulan intens bertemu, 38 pemimpin provinsi Gelora mendukung Prabowo.
Sedangkan Partai Amanat Nasiona, yang lebih awal mendekati koalisi Prabowo, kini mengulur deklarasinya. Sejumlah politikus PAN menyatakan—dan ini yang lucu, Bli Teddy—partai mereka menunggu instruksi dari Jokowi untuk melabuhkan jangkarnya. Jokowi meminta Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tak buru-buru membuat deklarasi. Walau begitu, PAN sedang mengkaji berbagai kemungkinan, termasuk mendukung Prabowo Subianto.
Dan, oh ya Tuhan, saya hampir melupakan Pengurus Pusat Pro Jokowi (Projo). Pada Kamis, 6 Juli lalu, Projo bertemu dengan relawan Prabowo. Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, seusai pertemuan mengklaim banyak kesamaan pandangan di antara kelompok relawan Projo dan Prabowo. Dalam Koran Tempo, Rabu (9/8/2023), sejak itu, sinyal bahwa dukungan Projo mengarah kepada Prabowo menguat.
Pada Selasa (8/8/2023), Bli Teddy, Projo menerima kunjungan dari gabungan relawan pendukung Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno di kawasan Pancoran, Jakarta. Dan sejumlah kalangan, Bli Teddy, menilai pertemuan Projo dan kelompok relawan Sandiaga banyak dispekulasikan sebagai dorongan Projo agar Sandiaga kembali mendampingi Prabowo dalam pilpres 2024—semacam nostalgia Pemilu 2019. Namun, saat ini PPP—partai bernaung Sandiaga Uno—diketahui sudah berkoalisi dengan PDIP, yang mengusung Ganjar sebagai capres pada Pemilu 2024.
Hah, rasanya saya sampai kehabisan napas. Okelah, sampai di sini dulu saya mengambil alih tugasnya Teddy sebagai pemuda pengamat politik. Kita tunggu saja tulisannya tentang manuver-manuver politik politik menjelang 2024. Yang jelas, seperti yang dikatakan Teddy dalam esainya, jangan lupa, ini adalah politik. Segalanya dinamis, petanya setiap detik bisa saja berganti, termasuk kekuatan politik dari Prabowo Subianto dalam konstelasi Pilpres 2024 mendatang.
Atau seperti kata pengamat politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudin, selama janur kuning belum melengkung, maka semua kalangan dan kelompok masih bebas bermanuver. Begitu.[T]