SEBELUM Sri Aji Jaya Kesunu dinobatkan menjadi raja, keadaan Pulau Bali tidak henti-hentinya diterjang musibah. Raja berumur pendek, segala penyakit merebak, bencana alam dan kemanusiaan terjadi tanpa henti. Merenungi keadaan ini, sang raja lalu melakukan tapa brata untuk memohon petunjuk para dewa mengenai musibah yang menimpa negerinya.
Dengan modal keteguhan dan pengendalian diri yang tanpa syarat, satu dewi ternyata terketuk hatinya untuk turun ke dunia sehingga Sri Aji Jaya Kasunu tahu penyebab sekaligus jalan keluar dari labirin masalah yang tak pernah usai menimpa dirinya dan seluruh rakyatnya.
Dewi itu bergelar Gori atau nama lain dari Durgadewi, permaisuri Siwa. Berdasarkan informasi yang beliau sampaikan dalam pertemuan rahasia dengan Sri Aji Jaya Kasunu, dapat diketahui bahwa penyebab kekacauan Pulau Bali diakibatkan oleh keadaan tempat suci yang rusak tak terurus, beberapa upacara yang dilakukan salah, bahkan ada upacara yang sama sekali tidak lagi dilakukan.
Hal itulah yang menjadi sumber malapetaka yang menimpa kerajaan Bali. Karena masalahnya berakar pada tataran spiritual maka solusi yang ditawarkan untuk meretas bencana itu juga berhubungan dengan dunia rohani.
Dewi Gori menyarankan kepada Sri Aji Jaya Kesunu untuk melakukan upacara pada sasih Kapat, Panca Wali Krama, Eka Dasa Ludra, nangluk mrana di laut, dan yang terpenting melakukan upacara Galungan.
Mendapatkan pawisik tersebut, Sri Aji Jaya Kasunu lalu menggelar berbagai upacara—khususnya Galungan—sehingga stabilitas kerajaan Bali berangsur-angsur pulih kembali. Sejak saat itu pula, pasca Sri Aji Jaya Kesunu menjadi raja, hari Galungan dilaksanakan saban enam bulan sekali secara terus-menerus sampai saat ini.
Kisah mitologis yang diambil dari sumber pustaka berjudul Sri Aji Jaya Kesunu inilah yang dijadikan dasar literasi untuk melaksanakan hari suci Galungan di Bali.
Melalui narasi bermotif bencana yang pada titik krusialnya bisa mengancam jiwa, maka teks ini memiliki kekuatan yang relatif tinggi untuk menggerakkan gagasannya menjadi norma di masyarakat. Terlebih dengan tokoh sentral seorang raja.
Sasarannya jelas, agar setiap penguasa yang sedang memutar jantra pemerintahannya di Bali Pulina ikut menjaga kedamaian Bali melalui pelaksanaan hari suci Galungan. Di lapisan masyarakat tertentu, ketakutan memang menggerakkan langkah seseorang lebih cepat, tinimbang kesadaran.
Sejatinya tidak ada masalah dengan ketakutan. Sebab, ketakutan juga bisa diolah menjadi proses awal membuka dwara kesadaran. Sama seperti cerita Lubdaka yang akhirnya naik ke “pohon kesadaran” dengan melakukan pemujaan kepada Siwa karena takut pada gelap, binatang buas, dan kematian.
Visi kesadaran apa yang hendak dibangun oleh teks Sri Aji Jaya Kesunu melalui pelaksanaan hari suci Galungan?
Berdasarkan sumber lain seperti Sundarigama yang membahas mengenai Galungan-Kuningan, kita mendapatkan penjelasan bahwa ada relasi inharmoni yang potensial terjadi antara manusia dengan waktu [Kala] dan ruang [Bhuta] ketika rentetan hari suci Galungan tidak dilakukan. Manifestasi dari waktu berdasarkan pustaka tersebut adalah Sang Hyang Kala Tiga yang bisa bertransformasi menjadi ruang yaitu Bhuta Galungan.
Transformasi waktu ke dalam ruang secara filosofis-simbolis juga disebutkan dalam pustaka Kala Tattwa. Setelah Kala bertemu dengan ayahnya yaitu Siwa, maka Kala pun diberikan anugerah untuk mewujud ke dalam semua ruang, termasuk mematikan dan menghidupkannya.
Oleh karena itu, waktu dan ruang yang mewujud dalam tanah, air, api, angin, dan udara. Keseluruhan elemen semesta itu dalam wujud rudranya yang berbahaya dapat mengancam manusia melalui berbagai bencana seperti gempa, banjir, sunami, dan seterusnya.
Lalu kepada siapa kita mencari perlindungan agar bisa bersahabat dengan waktu dan ruang yang berpotensi destruktif itu? Sama seperti seorang anak kecil yang sedang mengalami bahaya, kata yang keluar secara otomatis pasti ibunya.
Pustaka Sri Aji Jaya Kesunu menyebutkan bahwa Ibu Gori atau Durgalah yang memberikan pertolongan ketika berbagai bencana terjadi di Bali. Karya-karya sastra lain juga mengonfirmasi kemurahan hati Ibu Durga kepada anak manusia yang betul-betul mengalami penderitaan.
Geguritan Megantaka sebagai salah satu karya sastra berspirit Panji mengisahkan pertolongan Ibu Durga kepada Dewi Ambarasari yang hampir saja mati akibat pembuangan di suatu pulau oleh pihak kerajaan karena ia lahir sebagai anak kembar siam.
Kisah yang serupa juga muncul dalam karya sastra Kidung Sri Tanjung. Ibu Durga memberikan anugerah kepada Sri Tanjung berupa kehidupan kedua setelah ia mengalami siksaan dari Raja Sulakrama, ibu mertua, dan suaminya.
Dalam karya sastra Kakawin Purusadasanta (Sutasoma), pertolongan dilimpahkan kepada Sutasoma sebelum ia naik ke Gunung Himawan melalui pemberian mantra Mahahrĕdaya Darani. Dengan salah satu sangu anugerah Dewi Durga itulah ia berhasil menaklukkan Kala [baca waktu] yang telah berwujud menjadi naga [baca ruang].
Tidak hanya pertolongan kepada manusia, beliau juga membantu para dewa dari serangan raksasa Mahesa Sura Mardini. Raksasa lalim yang berubah wujud menjadi kerbau itu tidak mampu dikalahkan oleh para dewa, kecuali Durga. Maka dengan usaha yang hebat, raksasa itu berhasil dipenggal kepalanya.
Pelaksanaan Panampahan sebagai rangkaian Galungan diduga berhubungan kuat dengan cerita Durga Mahisa Sura Mardini ini karena di beberapa tempat di Bali seperti di daerah Seririt-Singaraja yang dipotong adalah kerbau. Hal tersebut semakin menguatkan bahwa rangkaian hari suci Galungan-Kuningan sesungguhnya salah satu bagian dari pemujaan kepada Durga.
Kenapa memuja Durga? Dalam pustaka Siwagama, Durga disebutkan pernah dikutuk oleh Siwa akibat perbuatan beliau yang ingin membunuh Kumara. Itu sebabnya, Durga kemudian turun ke dunia dan menyusup ke dalam seluruh kuburan. Tidak tahan dengan kesepian atas kepergian saktinya, Siwa lalu mengutuk diri menjadi Kalarudra.
Siwa dalam wujud menakutkan itu kemudian mencari Durga ke penjuru dunia. Hingga akhirnya Kalarudra bertemu dengan Panca Durga di satu kuburan. Setelah Kalarudra menghormat kepada Panca Durga, benih rindu Siwa dan Durga yang tak tertahankan akhirnya menyebabkan beliau berdua melakukan sanggama semesta.
Pertemuan dalam wujud bhairawa dan bhairawi inilah yang melahirkan Kalika, Kaliku, Yaksa, Yaksi, Dengen, Babai, Jin, Setan, Bergala, Bergali, dan yang lainnya. Ketika berada di Bale Agung, Bhatari Durga berubah menjadi Kalika Maya, sedangkan Bhatara Kala Rudra berubah menjadi Sang Jutisarana. Pertemuan beliau di tempat itu pula yang melahirkan Sang Hyang Kala Tiga diiringi oleh Sang Bhutaraja, Sang Kali Putih, Bhuta Walangket, Bhuta Sancaya, dan seterusnya.
Berdasarkan penjelasan pustaka Siwagama di atas, sangat masuk akal apabila Durga menawarkan solusi berupa pelaksanaan hari suci Galungan kepada Sri Aji Jaya Kesunu yang tengah tertindih musibah. Sebab, saat siklus waktu Galungan, salah satu putra beliau yaitu Sang Hyang Kala Tiga, dengan kesaktiannya ingin mendapatkan sesajen di dunia. Secara alamiah, seorang ibulah yang paling tahu bagaimana cara menaklukkan hati putranya dalam suasana kecewa, marah, bahkan murka.
Memang Dewi Durga bukan hanya ibu bagi Sang Hyang Kala Tiga yang disucikan (somya) saat Galungan dan Kuningan. Kakawin Bharata Yuddha menyebut Durga sebagai renaning rat “ibu alam semesta”. Sebagai ibu alam semesta, beliau kental dengan spirit perjuangan dan pertolongan seperti yang dicerminkan dalam sejumlah karya sastra di atas.
Hal ini semestinya menjadi inspirasi bagi kita semua untuk meningkatkan rasa cinta kasih terhadap kemanusiaan melalui hari suci Galungan-Kuningan. Budaya ngejot baik dalam bentuk makanan untuk tubuh dan pengetahuan sebagai makanan jiwa mesti terus menerus dilakukan pra dan pasca hari suci tersebut.
Melalui Galungan-Kuningan kita puja Ibu Durga dengan berbagai sesaji, dalam kehidupan sehari-hari kita puja beliau dengan meneruskan spirit cinta kasih dan pertolongan kepada sesama manusia!
Semoga dengan Galungan kita mendapatkan galang ing idep ‘batin yang terang’ dan melalui kuningan kita mendapat jatining hening ‘keheningan sejati’. Astu siddhi.[T]