Konden beling konden nganten. Ungkapan itu kerap terdengar di kalangan masyarakat. Ungkapan itu terlontar jika mengetahui ada seorang perempuan hamil sebelum resmi menikah.
Kenyataannya, kasus hamil sebelum menikah memang seringkali terdengar. Bahkan seringkali pula kondisi itu dibuat dengan sengaja dan kesadaran penuh. Apakah ini cermin kemajuan apa justru kemunduran?
Universitas Udayana melalui fakultas psikologis pernah melakukan penelitian, apa sih yang memotivasi seorang wanita untuk mau hamil sebelum menikah?
Salah satu penyebab perempuan mau (dengan sadar) hamil sebelum menikah, adalah sosial pressure. Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita menyaksikan kenyataan yang menyudutkan perempuan. Ketika pasangan sudah menikah, dan yang perempuan belum hamil, maka sering yang disalahkan adalah perempuannya atau istri.
Istri sering mendapatkan bully-an dari mertuanya termasuk juga keluarga dan kerabatnya. Salah satu solusi bagi remaja untuk mencegah sosial presure adalah dengan mengupayakan diri bisa hamil sebelum menikah.
Fenomena hamil sebelum menikah sepertinya menjadi sebuah kebiasaan yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai dokter kandungan, saya melihat fenomena ini sangat sering saya dapatkan. Ada pasangan belum menikah ingin program hamil, dan yang meminta program untuk hamil tidak satu atau dua, tapi beberapa kali dalam praktek yang saya temukan.
Hamil sebelum menikah, kalau dilihat dari sisi ajaran Agama Hindu jelas melanggar ajaran agama atau tidak sesuai dengan ajaran yang diyakini dalam Hindu. Karena sejatinya suputra atau anak baik yang dilahirkan itu berdasarkan dan melalui proses yang sakral, tidak sembarangan dan kalau hamil sebelum menikah berarti kehamilan tersebut belum melewati proses sakralisasi, proses yadnya.
Ada salah satu sastra yang menyebutkan, kenapa proses upacara pernikahan itu penting?
Marilah saya ceritakan sebuah cerita. Ketika Ida Bhatara Siwa dan Dewi Uma ingin memiliki putra, dan untuk mewujudkan itu Ida Batara Siwa meminta tolong kepada Hyang Semara Jaya dan Hyang Semara Ratih. Oleh Batara Siwa, Hyang Semara Jaya dan Semara Ratih diubah menjadi abu, dan abu itu dinamai abu kala gni rudra, dan abu inilah merasuk ke setiap individu.
Agar sel benih yang akan tercipta dari perkawinan itu bersih dari pengaruh negatif, maka hal ini harus disucikan melalui prosesi mekala-kalaan, memberikan persembahan kepada Kala yang ada, dengan tujuan menghilangkan pengaruh buruk dari abu kala gni rudra yang menyusup ke dalam diri.
Secara medis, ketika perempuan hamil sebelum menikah, tentunya tidak akan mendapatkan perhatian semestinya, tidak mendapatkan pemeriksaan dan perawatan medis dari bidan atau dari dokter spesialis, dan juga tidak mendapatkan vitamin serta nutrisi semestinya. Hal itu sudah pasti akan mempengaruhi kesehatan bayi baik didalam kandungan maupun setelah lahir.
Ada pendapat, apa yang dipikirkan, apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan ibu saat hamil direkam oleh si anak dalam kandungan. Tentunya saat perempuan hamil tapi belum menikah, sudah pasti cemas, takut, khawatir dan sebagainya. Dan kondisi psikologis ibunya itu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan serta akan mempengaruhi kehidupannya di kehidupan ke depannya pasca lahir.
Sehingga tidak salah kalau dikatakan bahwa sekolah pertama anak ada dalam kandungan ibunya, dan guru pertama anak itu adalah ibunya.
Salah satu tujuan dari perkawinan adalah melahirkan anak-anak yang suputra, karena dalam keyakinan kita, satu anak suputra bisa mengalahkan 100 kali yadnya, dan hanya anak suputra yang mampu melepaskan orang tua atau leluhur dari keterikatan kelahiran atau penderitaan.
Anak suputra sebagaimana yang kita harapkan bersama akan terwujud tentunya dari kehamilan yang sebelumnya menjalani proses upacara perkawinan, dengan mekala-kalaan. Sejatinya kehamilan itu suci adanya.
Bagaimana anak yang lahir tanpa melalui proses ritual perkawinan sebelumnya? Dikatakan, jika anak yang lahir tidak melalui ritual itu, maka akan lahir anak bukan suputra (lawan suputra) yang disebut dengan kuputra Anak kuputra diibaratkan seperti satu pohon terbakar di hutan akan bisa menyebabkan terbakarnya pohon-pohon lain yang ada di hutan itu.
Dalam lontar pemeda semara dijelaskan bahwa ketika anak yang lahir dari hasil pembuahan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, maka yang lahir itu bukan roh leluhur, tetapi roh yang namanya panca kama ligi.
Panca kama ligi ini adalah roh-roh gentayangan. Akan menjadi rare dia diu, menjadi anak yang tidak bisa dinasehati, selalu melawan orang tua, sakit sakitan, dan tidak bisa berkembang seperti layaknya anak normal.
Juga saat perempuan hamil dan melakukan prosesi natab dalam upacara perkawinan maka itu dikatakan “ngemaduang anak”, karena sejatinya anak di dalam kandungan akan melakukan dan merasakan apa yang ibunya lakukan, maka saat natab pada upacara perkawinan ada bayi dalam kandungan itu pun ikut natab, sehingga ada tiga orang yang natab yaitu bapak, ibu dan anaknya, dan tentunya hal ini berdampak kurang bagus ke depannya.
Fenomena hamil sebelum menikah ternyata menjadi masalah yang punya dampak sosial dan keberlangsungan generasi ke depannya yang harus kita pikirkan. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama, baik generasi muda saat ini, orang tua, para pendidik, tokoh masyarakat dan pengambil kebijakan untuk bersama sama mewujudkan generasi-generasi suputra ke depannya. [T]
BACA artikel lain dari penulis DOKTER CAPUT atau DR. DR. KETUT PUTRA SEDANA, SP.OG